Menganggap MK hanya "Mahkamah Kalkulator" yang bersifat numerik adalah suatu tuduhan tidak berdasar, bahkan merendahkan martabat MK sebagai lembaga pengawal konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) memang bukan mahkamah peradilan biasa, dia 'Special Tribunal'.
Sejak amandemen ketiga UUD 1945 yang menegaskan supremasi konstitusi, MK hadir sebagai pengawal utamanya, "the guardian of the constitution", sekaligus "the ultimate interpreter of the constitution".
Tapi MK juga "the guardian of democracy", karena Indonesia adalah seperti kata Opa & Oma dulu: "democratische rechtstaat", atau kata remaja sekarang "constitutional-democracy state"!
Sebagai pengawal dan penafsir akhir konstitusi, sebagai pengawal demokrasi yang terdiri dari para ahli hukum berpengalaman sekaligus negarawan yang dipilih dari tiga jalur, MK memang bisa saja membuat putusan yang "beyond the law".
Baca Juga: Politik Melawan Putusan Mahkamah Konstitusi
Hans Kelsen, salah satu pemikir penting teori konstitusi dan kelembagaan mahkamah konstitusi, mengakui adanya adanya dimensi politik dalam pertimbangan hukum MK, yang membuat putusannya kerap beririsan antara 'genuine political law' dan 'political act'.
Atau seperti kritik filsuf Habermas terhadap lembaga MK di negaranya (Jerman) bahwa dalam perannya lembaga MK itu juga "a politically inspired 'creation of law'.
Ada miripnya, tapi MK di Indonesia tidak persis seperti itu. Sejak pembentukkannya tahun 2003, eksistensi dan peran MK telah diatur jelas dalam UUD 1945 (hasil amandemen) dan UU No. 24/2003 jo. UU No. 8/2011.
Pasal 24 UUD 1945 menegaskan Mahkamah Agung (MA) dan MK adalah bagian dari "kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".
Sedangkan pasal 24C ayat (1) menyatakan MK "berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final...dst....".
Lalu bagaimana peran MK selama ini ?
Di balik kelemahan beberapa hakimnya di masa lalu dan di balik beberapa putusannya yang dinilai "kontroversial", MK hingga kini membuktikan mampu menjalankan perannya sesuai amanat konstitusi.
Memang para hakim MK dengan semangat 'judicial activism' kerap membuat terobosan dalam putusannya, menghasilkan putusan 'ultra petita', menghasilkan norma baru (padahal itu adalah domain legislatif).
Kecenderungan yang terakhir ini membuat MK seakan menjadi "positive legislator". Padahal kata Kelsen, MK adalah "negative legislator", tugasnya "hanya" menguji (dan membatalkan) UU, bukan membuat norma baru.
"The annulment of a law is legislative function, an act --so to speak-- of negative legislation. A court which is competent to abolish laws --individually or generally-- functions as negative legislator", kata Kelsen.
Baca Juga: Sosok Bambang Widjojanto dan Pemilu Terburuk
Terlepas dari itu, dengan spirit sebagai pengawal sekaligus penafsir tunggal konstitusi, MK juga sudah membuktikan diri sebagai 'the guardian of democracy' yang menjunjung prinsip peradilan yang menegakan keadilan substantif dalam setiap putusannya.
Peran ini jelas terlihat dalam putusan MK menyangkut perselisihan tentang hasil pemilu selama ini. Misalnya putusan MK memerintahkan pemilihan ulang (PSU) di Jawa Timur tahun 2008 dan 2013; juga putusan PSU di Pilkada Kotawaringin Barat 2010.
Pada 2014 MK juga telah berhasil memutuskan 903 perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan 1 perkara hasil pilpres. Konstetasi politik yang begitu sengit sebelumnya terbukti bisa berakhir damai di MK. Semua pihak bisa menerima hasil putusan, baik para kontestan maupun masyarakat luas.
Jadi sudah terbukti MK dalam sengketa Pilkada tidak hanya bertumpu pada hitung-hitungan angka (numerik) belaka; sebaliknya konsisten pada putusan yang mengedepankan keadilan substantif dibandingkan keadilan prosedural.
Demokrasi modern adalah perpaduan antara pengakuan terhadap supremasi hukum dan kekuatan politik kuantitatif ("50% plus satu").
Maka menganggap MK hanyalah "Mahkamah Kalkulator" yang bersifat numerik belaka adalah suatu tuduhan yang tidak berdasar, bahkan merendahkan martabat MK sebagai lembaga pengawal konstitusi, sekaligus pengawal demokrasi.
Tidak menghormati lembaga MK berarti tidak menghormati konstitusi sekaligus tidak mengakui supremasi konstitusi.
Bersikaplah seperti Pak Prabowo Subianto yang menyatakan "percayalah kepada hakim-hakim MK. Apapun putusannya, kita sikapi dengan dewasa, tenang, dan mengutamakan kepentingan dan keutuhan bangsa dan negara" (Kompas, Rabu,12/6'19).
Bahkan kepada pendukungnya Pak Prabowo menambahkan "saya mohon, Sami'na Wa Athona" .
Luar biasa. Kalau konsisten, itu baru negarawan!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews