Politik Melawan Putusan Mahkamah Konstitusi

Kamis, 18 Januari 2018 | 18:48 WIB
0
570
Politik Melawan Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam politik, suatu putusan pengadilan bisa saja menjadi mainan. Bukan hanya sekali, mungkin sudah sering terjadi.

Dalam catatan media, pasti ingat bagaimana ketentuan pidana menjadi masalah terkait bakal calon kepala daerah di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Jauh sebelumnya, putusan MK tentang Pemilu Serentak pun buyar makna. Hal ini karena Komisi II dan Mendagri (sebagai yang mewakili Presiden) bersama-sama menyepakati Presidential Threshold (ambang batas pencalonan Presiden).

Logika serentak yang menyisakan Presidential Threshold membuat masalah. Meskipun, pada hari terakhir ini, MK malah menguatkan ambang batas pencalonan Presiden tersebut.

Kemudian, ada judicial review atas ketentuan "mandiri" oleh Anggota KPU periode 2012-2017, meskipun MK membatalkan kuasa Rapat Dengar Pendapat yang "mengikat" pada peraturan KPU dan Bawaslu. Tetap saja, Komisi II mempermasalahkan putusan MK. Bahkan, para calon anggota KPU/Bawaslu Periode 2018-2022 mendapat serangan keras saat uji kepatutan dan kelayakan.

[irp posts="4433" name="Mengapa Bawaslu dan KPU di Jaman Now" Sering Bertengkar?"]

Kalau kita lihat, sampai saat ini, ruang konsultasi antara penyelenggara pemilu dengan Komisi II masih membuka ruang kuasa politik melawab putusan MK.

Terakhir, putusan MK terkait verifikasi faktual kepada seluruh partai akibat inkonstitusional Pasal 173 ayat (1) dan (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bukannya mematuhi, Komisi II dalam forum kuasanya RDP memaksakan penyelenggara pada pilihan pahit tanpa solusi. Bagaimana mungkin KPU mengakali proses verifikasi faktual, dengan kata lain ikut melawan putusan MK.

Oleh karena itu, sudah saatnya Presiden memanggil seluruh partai koalisi untuk mengatakan sikap politik penyelamatan demokrasi.

Tidak ada alasan untuk bertele-tele dalam pembahasan verifikasi faktual. Toh Presiden memiliki kekuatan yang memaksa para parpol mengontrol anggota DPR yang keblinger akan nafsu politik.

Selain itu, masyarakat juga harus proaktif, lihat sendiri apakah partai memiliki kantor sampai ke tingkat kecamatan. Atau apakah pengurusnya memang ada sampai ketingkat ranting. Dengan laporan masyarakat secara nasional yang tidak membutuhkan waktu lama, maka Presiden bisa memaksa parpol untuk "ngaca" apakah siap mengelola partai atau tidak.

Jangan-jangan pengurus parpol tidak serius mengurusi organisasi. Atau takut ketahuan tidak memiliki pengurus atau anggota, sehingga menolak verfikasi faktual sebelum ketahuan borok politiknya.

Di lain sisi, KPU wajib menjalankan verifikasi faktual dengan segenap sumber daya yang ada. Kalau perlu, KPU bisa meminta bantuan ormas atau lembaga atau masyarakat untuk membantu para verifikator untuk memastikan verifikasi faktual berjalan lancar.

Apabila Pemerintah menolak mengeluarkan dana, artinya pemerintah tidak mampu menjamin "situasi tidak terduga" pada proses pemilu. Dengan bahasa lain, jika kita dalam kondisi mendadak perang (kena serangan oleh militer negara lain), bisa saja pemerintah tidak sanggup memenuhi kebutuhan dana perang.

Mari pantau Komisi II dan lihat keberaniannya membuktikan kemampuan mengelola organisasi. Semoga saja "menolak verifikasi faktual" bukan menjadi bukti ompongnya organisasi partai politik.

***

Andrian Habibi, Pegiat HAM dan Demokrasi di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia