Sosok Bambang Widjojanto dan Pemilu Terburuk

Dalam pengajuan gugatan terhadap kubu Jokowi-Ma’ruf di MK kali ini, melalui kuasa hukumnya Bambang Widjojanto, pihaknya tidak memainkan jumlah angka.

Senin, 27 Mei 2019 | 11:20 WIB
2
1175
Sosok Bambang Widjojanto dan Pemilu Terburuk
Bambang Widjojanto (Foto: Tribunnews.com)

Adagium siapa yang mendalilkan dia harus membuktikan berlaku dalam pranata hukum acara. Termasuk pula dalam sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK). Maka, tidak lucu jika ada pihak yang menuding Pilpres 2019 penuh kecurangan tetapi di pengadilan nanti tidak mampu  membuktikannya secara sah curangnya seperti apa.

Benarkah Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 kali ini penuh kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif seperti tuduhan kubu Capres Cawapres 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno?

Oleh Ketua tim kuasa hukumnya, Bambang Widjojanto yang mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tuduhan Pemilu curang itu masih diperberat lagi dengan label (ia kutip dari pernyataan yang beredar di publik) bahwa “Inilah pemilu terburuk yang pernah terjadi selama Indonesia berdiri...,” katanya.

Bambang Widjojanto mengungkapkan ini dalam jumpa pers di MK (ditayangkan langsung televisi ke seluruh penjuru Tanah Air) segera setelah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menyerahkan berkas pengajuan gugatan sengketa Pilpres ke pihak panitera MK, hanya satu setengah jam sebelum ambang batas waktu terakhir penyerahan  berkas, Jumat (24/5) malam.

Gile bener Bambang Widjojanto! Kalau tudingan selantang itu sampai tidak terbukti di pengadilan Mahkamah Konstitusi? Itu fitnah.

Apalagi empat hari sebelumnya, Senin (20/5) siang, gugatan kecurangan ini sudah ditolak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bambang Widjojanto berkilah, penolakan Bawaslu atas dua berkas laporan BPN ini lebih karena soal prosedural. Sehingga BPN merasa rugi, kata Bambang Widjojanto, karena belum sempat mengutarakan substansi gugatannya.

Penolakan Bawaslu itu, menurut Bambang Widjojanto dalam pernyataan pada pers malam itu, didasarkan atas argumen prosedural. Dan bukannya Bawaslu menolak, akan tetapi tidak menerimanya, itu ada perbedaanya.

“Itu sebabnya kami ingin menjelaskan kembali. Karena di Bawaslu belum diperiksa materi yang diadukan. Itu menyebabkan kerugian kami,” kata Bambang Widjojanto, yang di MK Jumat malam itu didampingi tujuh anggota lain tim Kuasa Hukum kubu 02, termasuk di antaranya mantan Wakil Menkumham, Denny Indrayana.

Dua laporan yang ditolak Bawaslu itu atas nama Ketua BPN Djoko Santoso dan Dian Fatwa, yang ditujukan pada terlapor pasangan Capres Cawapres 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Menurut Bawaslu, bukti yang diserahkan BPN waktu itu tidak memenuhi kriteria karena tiadanya dokumen atau video yang menunjukkan terlapor, yaitu Capres Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin, melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM) seperti dituduhkan pihak Capres Cawapres 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

“Bukti print-out berita online tidak bisa berdiri sendiri. Melainkan harus didukung bukti lain, berupa dokumen surat maupun video yang menunjukkan adanya perbuatan yang dilakukan aparat struktural, baik pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan Umum yang terhubung langsung dengan terlapor, sehingga kualitas bukti memenuhi kriteris dalam peraturan perundang-undangan,” ungkap anggota Bawaslu, Dewi Pettalolo saat membacakan putusan di kantor Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat (Senin, 20 Mei 2019) lalu.

Selain itu, Bawaslu tidak menemukan bukti dalam laporan BPN yang menunjukkan adanya pertemuan perencanaan kecurangan, baik yang dilakukan Joko Widodo maupun Ma’ruf Amin. Hal itu, menurut Bawaslu, penting apabila BPN ingin melaporkan dugaan kecurangan yang sifatnya sistematis.

Dua hari setelah penolakan Bawaslu itu, dalam sidang pleno terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Rekapitulasi hasil Pileg dan Pilpres Rabu (22/5) dinihari pukul 01.46, Komisi yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat ini bahkan sudah menetapkan perolehan suara  para peserta Pemilu Legislatif dan Pilpres. Yang di antaranya menyatakan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin meraih 85.607.362 suara atau 55,50 %. Sedangkan pasangan 02 Prabowo-Sandi meraih 68.650.239 suara atau 44,50 % suara nasional. (Selisih keduanya terpaut 16.957.123 suara atau 11%).

Hal penting yang ditekankan oleh Bambang Widjojanto malam itu adalah, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya telah memutuskan berbagai perkara sengketa pemilihan – khususnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan menggunakan prinsip “terstruktur, sistematik dan massif”.

“Kami mencoba mendorong Mahkamah Konstitusi bukan sekadar ‘mahkamah kalkulator’ yang bersifat numerik. Akan tetapi juga ‘memeriksa betapa kecurangan itu sudah sedemikian dahsyat.’ Itu sebabnya, kata Bambang Widjojanto, di publik ada berbagai pernyataan yang menjelaskan: Inilah pemilu terburuk di Indonesia yang pernah terjadi selama Indonesia berdiri...,”

Berbagai pihak kini memaknai upaya hukum di MK yang diajukan kuasa hukum kubu 02 ini sebagai “serangan terakhir kubu Prabowo-Sandi untuk memenangkan Pilpres”, meskipun secara numerik dan secara konstitusional hasil sidang Pleno KPU, Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebenarnya sudah memenangi Pilpres kali ini.

Bagaimana cara membalikkan kemenangan yang terpaut suara 16 juta lebih yang diupayakan melalui jalur hukum oleh tim pengacara Prabowo-Sandi di MK kali ini?

Tentu upaya Bambang Widjojanto dkk ini akan menyedot perhatian jutaan rakyat Indonesia. Terutama tentunya, bagi 85.607.362 suara pendukung diehard Jokowi yang sebenarnya sudah memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam coblosan 17 April 2019 silam.

Saya pribadi, tertarik mencermati peristiwa hukum yang bersejarah di MK ini lantaran beberapa hal. Antara lain, saya dulu pengagum Bambang Widjojanto – ketika pertama-tama dikenalkan oleh teman saya Budiman Tanuredjo saat Bambang meroket jejak karirnya ketika bergabung menggantikan pengacara kondang, Adnan Buyung Nasional di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi Dewan Pengurus periode 1995-2000. Ketika itu, saya Redaktur Hukum bersama Budiman Tanuredjo di harian Kompas.

Selain kami kenal integritasnya waktu itu, kegigihannya beracara di berbagai perkara yang melintas di YLBHI,  Bambang mengagumkan.  Bambang adalah juga pengacara atau Tim Penasehat Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Khusus Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Ia juga masuk anggota koalisi untuk Pembentukan UU Mahkamah Konstitusi. Pada masanya, Bambang Widjojanto juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.

Baca Juga: Tuntut Keadilan, tapi Pamer Ketidakadilan, Kok Bisa?

Dan sederetan jejak besar pengacara kelahiran Jakarta 18 Oktober 1959 ini, selain pernah memimpin YLBHI, ia juga pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama mendiang Munir. Bambang juga pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan juga Indonesian Corruption Watch (ICW), di samping ia peraih penghargaan Kennedy Human Rights Award.

Tetapi manusia memang tidak ada yang sempurna dan selalu mulus perjalanan karirnya. Titik balik terjadi, ketika pada 23 Januari 2015, Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim Polri terkait kasus keterangan palsu soal penanganan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dan Papua pada tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi. Bambang Widjojanto dikenakan dengan pasal 242 juncto pasal 55 KUHP.

Meskipun menurut sumber Polri, penangkapan ini tidak ada kaitannya dengan penetapan Komjen Pol Budi Gunawan (Calon tunggal Kapolri di era Presiden Joko Widodo pada 2015) sebagai tersangka KPK untuk kasus gratifikasi. Namun asumsi publik yang terbangun atas peristiwa penangkapan Bambang Widjojanto pada 2015 ini, adalah pertarungan “Cicak versus Buaya” seri 2 antara dua kepentingan besar yakni Mabes Polri vs KPK.

Bambang ditangkap oleh Bareskrim, kala mengantar anaknya ke sekolah pada suatu siang, dan ditetapkan sebagai tersangka.

Bambang Widjojanto, waktu itu diduga terlibat dalam pemberian keterangan palsu pada persidangan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jendral Ronny Sompie ketika menangkapnya mengatakan, awalnya pihaknya mendapat laporan masyarakat pada 15 Januari 2015. Bambang dituduh menyuruh para saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. (Kompas.com 19 Januari 2015).

Sebelum menjabat pimpinan KPK, Bambang Widjojanto adalah pengacara sukses yang biasa berperkara dan menang di Mahkamah Konstitusi. Seiring dengan merebaknya Komjen Pol Budi Gunawan yang terseret kasus KPK, Bareskrim Polri lalu membentuk tim menyelidiki laporan masyarakat tentang Bambang Widjojanto itu. Menurut Irjen Ronny Sompie, penyidik menemukan tiga alat bukti bahwa Bambang melakukan tindak pidana tersebut pada 2010. Penetapan Bambang sebagai tersangka dalam kasus  Kotawaringin ini, membuat Presiden Joko Widodo menonaktifkan Bambang Widjojanto sebagai komisioner KPK, demikian pula Abraham Samad yang menjadi tersangka untuk kasus lain.

Bambang Widjojanto mengajukan usul agar dilakukan judicial review terhadap KPK, lantaran kasus yang diangkat atas dirinya tahun 2010 itu, adalah sebelum ia menjabat sebagai komisioner KPK. Kelanjutan kasus kesaksian palsu Bambang Widjojanto tahun 2010 itu pun diambangkan oleh Jaksa Agung Prasetyo, sementara Bambang Widjojanto sudah terlanjur dinonaktifkan dari komisioner KPK oleh Presiden Joko Widodo.

Dan bahkan melalui Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) yang dibuat Jokowi -- mengecualikan keterlibatan DPR -- terpilihlah pimpinan sementara KPK untuk mengisi kevakuman posisi Komisioner KPK Abraham Samad dan wakilnya Bambang Widjojanto serta Busyro Muqoddas yang sudah pensiun akhir tahun sebelumnya. Ketiga pimpinan pengganti yang ditunjuk Jokowi kala itu adalah Johan Budi, Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adjie sebelum dipilih pimpinan-pimpinan KPK yang baru.

Apakah benang kusut peristiwa yang membelit karir Bambang Widjojanto ini akan mempengaruhi pula langkahnya membela BPN Prabowo-Sandi, terhadap sengketa Pilpres yang akan menghadapkannya pada kubu presiden petahana, Joko Widodo dengan Cawapresnya, Ma’ruf Amin kali ini? Secara langsung tentunya tidak. Secara emosional, sebagai manusia tentunya berpengaruh.

Dan tampilnya Bambang Widjojanto sebagai kuasa hukum paslon Capres Cawapres  Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke Mahkamah Konstitusi kali ini, tentunya menarik disimak. Tidak hanya ketangguhan Bambang Widjojanto dalam beracara, akan tetapi juga pernyataan-pernyataan Bambang yang vokal dan kritis terhadap pemerintahan Jokowi.

Capres Cawapres Prabowo-Sandi juga bukan tanpa alasan kuat, memilih menunjuk Bambang Widjojanto sebagai kuasa hukumnya di MK kali ini. Selain memiliki reputasi pernah menjadi jajaran pimpinan KPK, Bambang Widjojanto menurut pimpinan BPN Andre Rosiade (dalam siaran televisi) juga dalam berperkara di MK Bambang Widjojanto sering memenangkannya.

Bagi Mahkamah Konstitusi, “serangan terakhir Prabowo-Sandi” dalam sengketa Pilpres di MK kali ini terhadap kubu 01 Jokowi-Ma’ruf Amin, adalah ujian tersendiri di mata bangsa Indonesia. Integritas kesembilan hakim MK menjadi tumpuan harapan.

Sebab, kubu 02 Prabowo-Sandi juga bukan pihak yang tanpa cela. Dari sejak awal Pilpres, bahkan sebelum kampanye dimulai Oktober pun, Prabowo dan Sandi sudah menggelindingkan tudingan “bakal kecurangan terjadi” pada Pemilu kali ini. Padahal, dimulai kampanye pun belum. Sudah digulirkan, percikan-percikan peristiwa yang menjurus ke kecurangan, semisal keributan soal penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), dengan ilustrasi ribuan KTP elektronik yang tercecer di Sumatera Barat dan juga di Bogor. Nyatanya, justru di Sumbar dan Bogor, adalah daerah “tambang emas” suara Prabowo dan Sandi.

Kubu Prabowo-Sandi, di mata masyarakat politik Indonesia, bahkan dinilai tak segan-segan menuduh kasar Jokowi, dari isyu PKI, sampai isyu keislaman Jokowi. Padahal, justru keluarga Prabowo sendiri banyak yang Kristiani. Juga, cemooh-cemooh kasar kubu 02 saat kampanye bergulir. Dari celoteh pembohong, curang, sampai umpatan “ndhasmu!” (Jw kasar) yang tentu saja tidak pantas ditujukan pada Jokowi, ataupun tindakan yang dilakukan presiden yang dulu pernah menjadi pengusaha mebel di Solo ini.

Baca Juga: Kerusuhan 22 Mei, Murni Gerakan Inkonstitusional

Repotnya, pendukung Jokowi umumnya fanatik. Meski diguncang terpaan cacian, makian dan bahkan cemooh dari kubu 02, toh bergeming. Ketika digelar kampanye akbar terakhir Joko Widodo dan Ma’ruf Amin di Gelora Bung Karno akhir Maret, stadion sepak bola yang berkapasitas 150.000 ini boleh dikata diisi pendukungnya berlipat lebih banyak. Tak hanya mengisi bangku tribun di stadion, dan di lapangan terbuka (festival), akan tetapi juga memadati seputar stadion, di berbagai ruang kosong di stadion, dan di jalanan sekelilingnya. Tidak kalah tumpah ruah dari gelaran kampanye akbar 01 dengan pasukan 212 nya.

Pada hari coblosan 17 April pun pendukung-pendukung Jokowi bergeming. Tak beranjak, meski diguncang cacian curang, cemooh dan semburan pengingkaran pencapaian prestasi Jokowi. Terutama dalam pembangunan infrastrukturnya yang luar biasa cepat dan massif itu.

Hasilnya? Pada dinihari 21 Mei 2019 pun, dalam Sidang Pleno KPU tentang Rekapitulasi hasil Pileg dan Pilpres 2019, Jokowi dan Ma’ruf diumumkan meraih suara terbanyak dengan perbedaan suara yang sangat signifikan. Lebih dari 16,9 juta dan menang di 21 provinsi, sementara Prabowo di 13 provinsi. Jika selisih suara pada Pilpres 2014 Jokowi-Jusuf Kala hanya unggul satu digit dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Maka pada Pilpres 2019 kali ini unggul dua digit.

Itu pula sebabnya, dalam pengajuan gugatan terhadap kubu Jokowi-Ma’ruf di MK kali ini, melalui kuasa hukumnya Bambang Widjojanto, pihaknya tidak memainkan jumlah angka.

Lantaran jika main angka, kubu 02 akan kalah, walaupun sehari setelah coblosan Prabowo menggertak pihaknya menan 62 persen, dan bulan berikutnya merosot klaimnya jadi 52,24 persen menang atas Jokowi – dan menyatakan dalam deklarasi, Prabowo-Sandi sudah dan akan jadi Presiden dan Wakil Presiden dari seluruh rakyat Indonesia. Padahal, Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, sampai dilantiknya presiden baru RI pada Oktober 2019.

Kalau saja kuasa hukum Prabowo-Sandi mampu memenangkan perkara gugatan kecurangan di MK terhadap Jokowi-Ma’ruf Amin? Maka bisa jadi, pemilu 2019 akan menjadi “pemilu yang terburuk” karena nyata-nyata memenangkan yang kalah suara dalam pilpres.

Perjuangan para pemilih untuk mencoblos, dan pengorbanan jiwa para petugas KPPS yang mencapai 700 jiwa wafat selama bertugas menghitung suara, terasa akan sia-sia. Mau Anda mimpi buruk dipimpin Presiden yang menang diskualifikasi, dan bukan menang suara rakyat dalam coblosan? 

***