Sampel, Konteks dan Generalisasi

Melalui analisis perbandingan lintas-konteks ini, generalisasi hasil/temuan penelitian tidak lagi terbatas penerapannya hanya dalam tapal-batas konteks awal penelitian, melainkan bisa diterapkan dalam konteks yang lebih luas.

Selasa, 15 Februari 2022 | 16:48 WIB
0
717
Sampel, Konteks dan Generalisasi
https://www.dreamstime.com/illustration/word-generalization.html

Tulisan ini tidak bermaksud untuk “membandingkan” (comparing) apalagi “mempertentangkan” (contrasting) dua paradigma/tradisi penelitian, yaitu penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Masing-masing paradigma/tradisi memiliki pijakan filosofis yang berbeda, bahkan bertentangan dalam aspek asumsi-asumsi tentang dunia, tujuan penelitian, metode penelitian, studi prototipikal, peran peneliti, dan arti penting konteks penelitian.

Perbedaan-perbedaan tersebut tak mungkin diperbandingkan. Semuanya benar, semua sah untuk memecahkan masalah dan menemukan solusi keilmuan. Seperti kata Kuhn (1970) “The normal-scientific tradition that emerges from a scientific revolution is not only incompatible but often actually incommensurable with that which has gone before.”

Salah satu diantara perbedaan tersebut adalah bagaimana kedua paradigma/tradisi penelitian tersebut menyusun atau merumuskan generalisasi.

 

Generalisasi: Konseptualisasi dan Teoresasi Temuan Penelitian

Penting ditegaskan dan dimengerti oleh peneliti, bahwa setiap penelitian kuantitatif maupun kualitatif harus sampai pada perumusan/penyusunan generalisasi sebagai hasil akhir dari penelitian. Generalisasi disusun dan dirumuskan berdasarkan konseptualisasi dan teoresasi (conceptualizing and theorizing) peneliti terhadap temuan/hasil penelitiannya.

Dalam hal ini tampaknya ada kekhilafan pada sebagian kalangan peneliti (kuantitatif), bahwa produk akhir dari penelitian kuantitatif adalah berupa pembuktian apakah hipotesis yang diajukan ditolak atau diterima, dan simpulan hanya mengulang lagi pernyataan tersebut. Padahal, sejatinya, setiap penelitian harus memberikan manfaat dan kontribusi terhadap pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini hanya bisa dilakukan jika peneliti melakukan proses konseptualisasi/teoresasi atas temuan/hasil penelitiannya dalam bentuk generalisasi.

Konseptualisasi (conceptualizing) dan teorisasi (theorizing) adalah kegiatan akhir peneliti untuk merumuskan/menyusun generalisasi. Kegiatan ini lazimnya dilakukan pada bagian Pembahasan (Discussion) atau apalah namanya. Melalui kegiatan konseptualisasi dan teoresasi ini peneliti diharapkan dapat menyusun/merumuskan “teori baru” (fakta, proposisi, konsep, generalisasi) sebagai “kebaruan” (novelty/ies) yang diperoleh dari hasil/temuan penelitian. Tidak masalah, apakah kebaruan sebagai hasil/temuan penelitian tersebut berupa penemuan “verified theory” menurut model uji-verifikasi (Bacon, 1620), “corroborated theory” menurut model uji-falsifikasi (Popper, 2005), “extraordinary science” menurut model uji-eksperimen anomali (Kuhn, 1970), atau “grounded theory” menurut model riset kualitatif (Glaser & Straust, 2006). Diskusi tentang hal ini bisa ditelusur pada artikel “Sekali Lagi, Novelty(ies)” (Farisi, 2021), dan “Review Literatur: Satu Nama Tiga Makna dan Narasi” (Farisi, 2022).

Jika penulis/peneliti mampu melakukannya, hal ini juga akan memperlihatkan “klas” penulis/peneliti dalam perdebatan ilmiah terkait dengan masalah/topik/teori yang sedang dikaji dan diuji, serta kontribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan (Bungin, 2020). Karena sejatinya, ilmu/sains berkembang "in a co-constitutive environment of organizations and networks (of scientific citation) that is shaped by social, technical, and economic changes” (Shwed & Bearman, 2010:820).   

Namun demikian, setiap peneliti juga harus benar-benar mafhum, bahwa bagaimana generalisasi disusun atau dirumuskan, dan bagaimana pula keberlakuan generalisasi, berbeda antara tradisi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan ini juga kerap luput dari perhatian peneliti, padahal memiliki implikasi metodologis dan teoretis yang menarik untuk dicermati. Gambar 2 menggambarkan model perumusan generalisasi dalam tradisi kuantitatif dan kualitatif (Neuman, 2014: 70).

Generalisasi pada Penelitian Kuantitatif

Generalisasi dalam tradisi penelitian kuantitatif merupakan simpulan akhir dari hasil uji deduktif atas hipotesis-hipotesis yang telah diuji (hypothesis testing) secara empirik. Sementara, hipotesis-hipotesis tersebut secara teoretik diturunkan dari substantive theory. Generalisasi ini dinamakan generalisasi empirik (empirical generalization), yang merupakan pernyataan ilmiah yang bersifat deskriptif dan konkret tentang hubungan atau pengaruh antarvariabel yang diyakini beroperasi secara empirik. Dalam struktur tubuh ilmu pengetahuan, generalisasi ini menempati level bawah (low-level generalization) (Neuman, 2014).

Dalam penelitian kuantitatif, generalisasi disusun dan dirumuskan secara empirik atas dasar atau "berbasis sampel” (sample-based generalization) tanpa mempertimbangkan konteks di mana sampel penelitian berada (context-free generalization). Karenanya, ketepatan penarikan sampel yang diklaim sebagai representasi dari populasi penelitian sangat krusial untuk menjamin akurasi, validitas, dan reliabilitas generalisasi yang disusun/dirumuskan dan akan diberlakukan untuk seluruh populasi. Penelitian apapun menjadi tidak bernilai secara metodologis, teoretis, dan praktis apabila sampel yang digunakan tidak memenuhi persyaratan akurasi, validitas, dan reliabilitas (Neuman, 2014; Losh & Carol, 2000).

Kesalahan dalam pemilihan teknik pengambilan sampel (sampling error) akan menghasilkan rumusan generalisasi yang salah, dan cacat prosedural, metodologis, dan teoretik. Dengan kata lain, persoalan penting dan krusial dalam penelitian kuantitatif dalam rangka penyusunan dan perumusan generalisasi adalah persoalan “representativitas sampel”.

Representativitas sampel ini menjadi semakin krusial, manakala generalisasi-generalisasi yang dihasilkan dari berbagai hasil studi empirik tersebut akan diberlakukan kepada populasi yang lebih luas melalui kajian meta-analisis, atau melalui penelitian “generalisasi validitas” (Ulfa & Pada, 2014). Melalui meta-analisis, peneliti bisa merumuskan simpulan-simpulan yang lebih general hingga pada tataran teori melalui teknik inventori proposisi, yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin untuk dilakukan dan dicapai dengan metode riset yang lain. Generalisasi hasil meta-analisis ini merupakan Teori Tengahan (Middle-Range Theory) (Rogers, 2003),

Hal penting yang juga harus dilakukan peneliti dalam melakukan meta-analisis adalah evaluasi dan koreksi terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan, perbedaan atau variasi, validitas terkait dengan: (1) ukuran sampel (sample size), (2) pengukuran variabel (measures of variables), (3) kualitas metode penelitian (methodological quality), (4) ukuran dampak variable (size of the effects of variables) (Neuman, 2014), dan (5) faktor reactive effect terkait dengan perhitungan dampak dari pengaruh pre-test dan variabel-variabel personal (misal. pengalaman pribadi, persepsi, kedewasaan, dll.) dalam penelitian eksperimen yang berakibat pada terciptanya generalisasi yang bias (Ulfa & Pada, 2014), atau bahkan “overgeneralization” yang mengasumsikan generalisasi tersebut bisa diterapkan atau berlaku dalam berbagai situasi. Topik tentang meta-analisis ini bisa dicermati di dalam artikel “Meta-Riset dan Kisah Lain Penemuan Ilmiah” (Farisi, 2022).

 

Generalisasi pada Penelitian Kualitatif

Berbeda pada tradisi kuantitatif, generalisasi pada tradisi kualitatif BUKAN hasil uji-deduktif atas hipotesis-hipotesis secara empiric, melainkan merupakan konseptualisasi dan teoresasi secara induktif (inductive conceptualizing/theorizing) atau konseptualisasi dan teoresasi secara membumi (grounded theorizing) dari hasil/temuan penelitian lapangan.

Generalisasi kualitatif ini memuat pernyataan ilmiah yang memperlihatkan adanya hubungan dan/atau pengaruh diantara berbagai konteks penelitian (fenomena/peristiwa/situasi). Berbeda dengan penelitian kuantitatif, dalam tradisi kualitatif, konteks penelitian (sosial, budaya, ekonomi, dll.) memiliki peran dan pengaruh sentral dalam membentuk pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan seseorang (subjek, partisipan) yang menjadi objek penelitian; serta bagaimana pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan seseorang dipahami.

Berdasarkan unit analisisnya, penelitian kualitatif ada yang bersifat “mikro, makro, dan makro analisis” (micro, macro, meso analysis). Unit analisis mikro-analisis adalah interaksi tatap-muka antar-individu atau keterlibatan seseorang dalam kontak/relasi personal dalam sebuah konteks tertentu. Unit analisis makro-analisis adalah peristiwa, proses, pola, dan struktur yang terjadi di dalam unit-unit sosial skala besar. Sedangkan unit analisis meso-analisis adalah organisasi, gerakan, atau komunitas social di dalam unit-unit sosial. Generalisasi yang dihasilkan dari konseptualisasi dan teoresasinya pun bisa berupa “micro-level theory, macro-level theory, dan/atau meso-level theory”, dengan konteks yang juga berbeda untuk masing-masing unit analisis pun.

Dengan demikian, penelitian kualitatif tidak dapat berdiri sendiri atau terlepas tanpa melihat konteksnya. Konteks ini diyakini mempengaruhi setiap pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan subjek atau partisipan di dalam mana hal itu terjadi/dibentuk (McMillan & Schumacher 2001; Johnson & Christensen, 2014). Karenanya, dalam tradisi penelitian kualitatif, generalisasi TIDAK disusun dan dirumuskan atas dasar pemikiran, sikap, perilaku dan tindakan subjek atau partisipan an-sich, melainkan didasarkan atau atau berbasis “konteks” (context-based generalization, context-bound generalization) (McMillan & Schumacher, 2001:21). Konteks sebagai basis perumusan/penyusunan generalisasi sebagai temuan/hasil akhir penelitian ini dalam filsafat ilmu dikenal sebagai “kontenks penemuan” (context of discovery) atau “konteks penelitian” (context of inquiry) (Reichenbach, 1938; Blackwell, 1980; Hoyningen-Huene, 1986).

Konteks juga sangat penting dan mutlak bagi kemungkinan dilakukannya alih/transfer generalisasi hasil/temuan penelitian pada konteks yang lebih luas, atau yang lazim dikenal dengan “keteralihan” (transferability). Jika dalam penelitian kuantitatif upaya untuk menyusun/merumuskan generalisasi lintas-populasi dilakukan menggunakan prosedur meta-analisis (Hunter & Schmidt, 1990; Glass, 1976; Farisi, 2022), maka dalam penelitian kualitatif penyusunan/perumusan generalisasi lintas-konteks bisa dilakukan menggunakan prosedur “analisis perbandingan” (comparative analysis) dengan tetap mempertimbangkan kesepadanan antar-konteks penelitian dengan segala karakteristiknya (Glaser & Straust, 2006).

Melalui analisis perbandingan lintas-konteks ini, generalisasi hasil/temuan penelitian tidak lagi terbatas penerapannya hanya dalam tapal-batas konteks awal penelitian, melainkan bisa diterapkan dalam konteks yang lebih luas, juga memiliki daya-jelas yang lebih besar, dan daya-prediksi yang juga lebih baik. Dalam istilah Glaser & Straust (2006), analisis perbandingan memungkinkan generalisasi yang semula bersifat “a closed awareness context” bisa menjadi “an open awareness context” (p.24-25) dinamakan “Generating Theory”.

 

Tangsel, 15 Desember 2021

_________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).