Setelah Jokowi, Kini PDIP Membuka Konfrontasi Baru dengan Dedi Mulyadi

PDIP punya pilihan: tetap menjadi partai besar dengan gagasan, atau terjebak dalam konfrontasi tak produktif.

Sabtu, 17 Mei 2025 | 09:40 WIB
0
52
Setelah Jokowi, Kini PDIP Membuka Konfrontasi Baru dengan Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi (Foto: Kompas.id)

Dalam lanskap demokrasi Indonesia yang kian mediatik, aksi politik bukan lagi sekadar adu kebijakan, melainkan juga pertarungan persepsi. Manuver walk out yang dilakukan Fraksi PDIP DPRD Jawa Barat dalam rapat kerja bersama Gubernur Dedi Mulyadi adalah babak baru dari konfrontasi politik yang sebelumnya menyasar Presiden Jokowi.

Kini, giliran Dedi Mulyadi, figur populis dari Gerindra, yang menjadi target.

Tindakan walk out ini bukan peristiwa biasa. Ia merupakan sinyal politik keras bahwa PDIP tak akan berdamai dengan kekuasaan yang tak lagi mereka kuasai—baik di eksekutif pusat maupun daerah. Namun, apakah ini strategi yang bijak dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini?

Dalam filsafat politik kontemporer, Chantal Mouffe menyebut pentingnya agonistik politik, yakni adanya ruang bagi oposisi untuk menunjukkan ketidaksetujuan secara sah. Walk out bisa dibaca sebagai praktik agonistik, bentuk ekspresi ketidakterimaan terhadap sikap atau kebijakan pemimpin. Namun di era digital, ketika persepsi publik dibentuk oleh algoritma dan viralitas, walk out juga berisiko menjadi teater politik, kehilangan kedalaman substansi.

Gubernur Dedi Mulyadi bukan politisi biasa. Ia dikenal karena kedekatannya dengan masyarakat bawah dan kepiawaiannya mengemas empati dalam konten media sosial. Menurut data Drone Emprit (2025), Dedi Mulyadi termasuk dalam 5 besar tokoh daerah dengan sentimen positif tertinggi di media sosial.

Artinya, PDIP tidak hanya berhadapan dengan seorang gubernur, tetapi juga dengan kekuatan narasi digital yang menjangkau akar rumput.

Walk out terhadap Dedi tanpa narasi yang jelas dapat ditafsirkan publik sebagai arogansi atau bahkan kedangkalan oposisi. Ini bisa menjadi bumerang—bukan hanya secara elektoral, tetapi juga moral.

PDIP sejak 2023 memilih jalur konfrontatif terhadap Presiden Jokowi, bahkan setelah dua periode menjadi mesin elektoral partai itu sendiri. Kini, pola yang sama diarahkan ke Dedi Mulyadi. Jika dulu alasan konfrontasi adalah pergeseran Jokowi ke Prabowo, lalu apa dasar konfrontasi terhadap Dedi?

Tanpa dasar kebijakan yang kuat, seperti pelanggaran anggaran, kegagalan program, atau korupsi, aksi walk out cenderung dilihat sebagai perlawanan terhadap popularitas, bukan terhadap kekuasaan yang salah arah. Dan itu bisa menggerus kepercayaan publik terhadap PDIP, terutama di Jawa Barat—provinsi dengan 35,7 juta pemilih, yang menjadi kunci strategis di Pemilu 2029.

Survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2025) mencatat bahwa 68,3% warga Jawa Barat lebih menyukai gaya kepemimpinan "aksi nyata dan dekat dengan rakyat", persis karakter Dedi Mulyadi.

Jika PDIP tidak segera menggeser narasi mereka dari konflik ke substansi, mereka akan kehilangan koneksi emosional dengan pemilih.

Aksi Walk Out,  Strategi Melemahkan Diri Sendiri?

Dalam konteks demokrasi representatif, walk out sah secara prosedural. Namun, ia bukan tanpa risiko. Keuntungannya bisa saja memberi sinyal keras bahwa legislatif tidak tunduk pada eksekutif, memobilisasi basis partai yang merasa terpinggirkan, serta menghadirkan momen politik yang bisa dimanfaatkan untuk konsolidasi narasi.

Tapi akai walk out juga menyimpan kerugiannya yang jauh lebih kompleks, yakni publik bisa menilai walk out sebagai pelarian dari debat substansi, kehilangan kesempatan menyampaikan kritik secara langsung, sampai menimbulkan persepsi destruktif terhadap parlemen sebagai lembaga.

Dari perspektif John Rawls tentang “reasonableness in public reason”, tindakan politik seharusnya tetap berada dalam kerangka deliberatif, yakni mengedepankan alasan, bukan sekadar simbol. Walk out tanpa disertai argumentasi publik yang memadai melemahkan legitimasi kritik itu sendiri.

Dedi Mulyadi, suka atau tidak, adalah produk zaman baru: populisme yang akrab dengan digital, tapi tetap membumi di pasar dan sawah. Menghadapinya butuh pendekatan moral dan intelektual, bukan sekadar penolakan formal.

Jika PDIP ingin tetap relevan, bukan dengan menjauh dari ruang perdebatan, tapi dengan memperkuat kualitas oposisi. Bukan hanya menolak, tetapi menawarkan alternatif. Politik bukan sekadar “melawan”, tapi juga “membangun wacana”.

Walk out terhadap Dedi Mulyadi memang bisa jadi simbol ketegasan PDIP. Tapi jika tidak disertai narasi substantif, ia hanya akan menjadi catatan kecil dalam sejarah; teatrikal, tapi mudah dilupakan.

Dalam demokrasi yang matang, oposisi bukan sekadar lawan, tetapi mitra kritis dalam merawat kewarasan kekuasaan.

PDIP punya pilihan: tetap menjadi partai besar dengan gagasan, atau terjebak dalam konfrontasi tak produktif.