Sekali Lagi, “Novelty(ties)”

Karena paradigma hanya bisa memberikan makna dan penjelasan yang sudah ada di dalam struktur. Jenis fenomena inilah yang sangat potensial untuk menemukan kebaruan.

Kamis, 23 Desember 2021 | 06:49 WIB
0
347
Sekali Lagi, “Novelty(ties)”
novelty: https://grammartop.com/novelty-synonyms/

Sains Normal dan Kebaruan

Menarik pernyataan Thomas S. Kuhn kaitan antara “sains normal” (normal science) dan “kebaruan” (novelty/ties). “Normal science does not aim at novelties of fact or theory and, when successful, finds none” (Kuhn, 1970: 52).

Sains normal (SN) atau normal science adalah tahapan akhir (sekaligus awal) dalam siklus revolusi keilmuan ala Kuhn (1970). SN adalah pemecah teka-teki keilmuan (normal science as puzzle-solving) (p.41). SN adalah periode perkembangan sains yang ditandai oleh aktivitas keilmuan yang bersifat kumulatif (a highly cumulative enterprise) atas dasar paradigma tertentu (tunggal atau jamak).

Sifat akumulatif dari SN ini, hanya mengizinkan peneliti untuk mengumpulkan dan memperluas iktiar keilmuan di seluruh wilayah paradigma atas dasar metode keilmuan yang baku atau standar, yang disepakati dan dipraktikkan bersama oleh komunitas ilmuwan. SN tidak hanya meningkatkan keterampilan profesionalisme para peneliti, tetapi juga menyediakan konstruksi instrumen, kosakata dan konsep yang esoteris.

Di satu sisi, paradigma sains normal mampu menyediakan segala aspek substantif dan sintaktik-metodologis keilmuan yang dibutuhkan oleh setiap peneliti untuk memastikan/meyakinkan mana masalah dan fakta yang penting dan signifikan untuk dicari dan dipecahkan secara lebih akurat, professional, dan ilmiah. Di sisi lain, paradigma sains normal semakin mengarah pada pembatasan yang sangat besar terhadap visi ilmuwan, dan semakin resisten terhadap perubahan paradigma. Ilmu pengetahuan pun menjadi semakin kaku, dan dogmatis.

Jika seorang peneliti mendekati masalah dengan paradigma tertentu, maka sejatinya dia sudah terlebih dahulu membangun asumsi-asumsi, hipotesis-hipotesis, jauh sebelum dia turun ke lapangan dan mengumpulkan data. Akibatnya, terjadilah “bias teori,” “bias paradigma”, karena paradigma telah membingkai peneliti secara ketat dan terpola mengenai realitas dengan segala fenomena yang terdapat di dalamnya (to force nature into the conceptual boxes supplied by professional education) (Kuhn, 1970: 5).

Di dalam paradigma sains normal, para ilmuwan dan komunitasnya akan menjadi sosok “the not-too-critical professional”. Mereka telah kehilangan “intrinsic interest”, “common-sense prototype”, “sense of crisis” di dalam dirinya, yang sesungguhnya merupakan instrumen utama untuk melihat dan menemukan kebenaran.

Paradigma sains normal tidak akan mengarahkan peneliti untuk mengejar dan menemukan hal-hal baru (masalah dan fakta). Alih-alih, ia akan menekan peneliti agar selalu mengikuti arahan paradigma. Setiap ada “hal-hal baru yang mendasar” (fundamental novelties) pun, paradigma akan senantiasa menekannya agar tidak melakukan tindakan yang dapat menjatuhkan kekuasaannya yang sah, dengan segala komitmen dasar yang melekat di dalamnya. “Normal science, a pursuit not directed to novelties and tending at first to suppress them, should nevertheless be so effective in causing them to arise” (p. 64).

Penggambaran Kuhn tentang fenomena kontekstual dari paradigma sains normal seperti ini sangat ditentang oleh Popper dalam tulisannya, ”Normal Science and Its Dangers” (Popper, 1970). Bahkan, dia mengingatkan pemaknaan seperti itu berbahaya, tidak hanya terhadap kehidupan sains dan komunitas keilmuan itu sendiri, yang sejatinya dilandasi oleh karakter “kritis”, tidak sepenuhnya “dogmatis”. Ia juga berbahaya bagi peradaban manusia. Dalam kehidupan sains, kata Popper, “…we have made genuine progress: that we know more than we did before” (p. 3).

Keberatan yang sama juga pernah terjadi pada penggunaan istilah “publish or perish” (publikasi atau binasa), karena dianggap tidak mendeskripsikan secara akurat tentang akademisi dan kehidupan mereka, juga bukan nasihat yang baik bagi akademisi. Namun demikian, seperti dinyatakan oleh Carmen Delgado (2020), sesungguhnya di balik itu, ada misi atau pesan lebih substantif yang bermanfaat. Yaitu, agar peneliti/penulis anggota komunitas keilmuan dan profesional (scientific or professional community) memiliki kesadaran, kemauan, dan komitmen yang kuat untuk mempublikasikan karya-karya akademik.

Hal sama berlaku pula pada pemaknaan sains normal. Jika benar tekanan paradigma sains normal atas komunitas ilmuwan dan kebaruan yang dihasilkan terus terjadi dan meningkat, maka akan berlaku hukum ke-3 Newton (hukum aksi-reaksi), “gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris”. Bahwa semakin keras tekanan yang diberikan oleh paradigma, maka semakin keras pula perlawanan terhadapnya, dan penemuan baru pun niscaya tak terhindarkan. Terutama Ketika paradigma sains normal dihadapkan pada situasi anomali dan krisis.

Bagaimana Menemukan Kebaruan

Dalam sains, kebaruan hanya bisa muncul, jika ada kesadaran akan adanya sesuatu yang salah dan kesulitan dalam paradigma sains normal, yang meniscayakan perlunya cara-cara baru untuk memecahkannya. Kemudian diwujudkan dalam bentuk perlawanan atas paradigma sains normal yang dilatarbelakangi oleh harapan akan adanya perubahan, sesuatu yang baru, kebaruan. “In science,…novelty emerges only with difficulty, manifested by resistance, against a background provided by expectation.” (Kuhn, 1970: 64).

Kebaruan (novelty/ties atau extraordinary science) akan muncul ketika masalah yang dihadapi tidak dapat dipecahkan dengan teknik konseptual dan instrumental yang disediakan oleh paradigma. Mengikuti logika berpikir Kuhn, kebaruan diawali oleh fenomena “krisis”, yang mengharuskan para ilmuwan untuk mencari dan menemukan jawaban, cara atau teori-teori baru atau alternatif yang belum tersediakan di dalam paradigma sains normal.

Dengan kata lain, untuk menemukan kebaruan seorang peneliti harus bisa keluar dari paradigma yang membingkai seluruh pemikirannya atas masalah yang akan diteliti. Harus mampu berpikir di luar kelaziman, berpikir di luar kotak (think out of the box) dan menemukan paradigma tandingan yang bisa menjelaskan teka-teki dan masalah keilmuan yang dihadapi, dan keluar dari situasi krisis.

Dalam kaitan ini, Kuhn mengajukan dua prasyarat agar paradigma baru bisa diterima dan menjadi konsensus bersama di kalangan komunitas keilmuan. Pertama, paradigma baru harus mampu menyelesaikan beberapa masalah yang luar biasa dan diakui secara umum yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain. Kedua, paradigma baru harus berjanji untuk melestarikan bagian yang relatif besar dari kemampuan pemecahan masalah konkret yang diperoleh ilmu pengetahuan melalui pendahulunya (Kuhn, 1970).

Kuhn menyarankan logika penemuan kebaruan melalui model uji teori dua tahap, yaitu model verifikasi Bacon (1620), dan model falsifikasi Popper (2002). Model verifikasi melalui sistem pembuktian “kebenaran” teori atau hipotesa secara induktif-empirik berdasarkan prosedur logico-hypotetico-verifikasi; dan model falsifikasi melalui sistem pembuktian “kesalahan” atau penyangkalan dari suatu teori atau hipotesa secara deduktif-logik berdasarkan prosedur refutation-falsification (Gambar 1). Ditegaskan oleh Kuhn (1970), dalam proses dua tahap (verifikasi-falsifikasi) seperti itu perbandingan teori probabilitas memainkan peran sentral, dan memiliki keutamaan yang sangat luas dalam setiap uji teori-paradigmatik, serta memungkinkan kita untuk mulai menjelaskan peran kesepakatan (atau ketidaksepakatan) antara fakta dan teori dalam proses verifikasi (p. 147).

Sejatinya, dalam bidang filsafat (epistemologis), logika penemuan teori baru sudah banyak dicatat dalam sejarah keilmuan. Diantaranya adalah model model dialektika Trilogi Hegel (Maybee, 2016), atau dialektika materialisme Marx (Kain, 1980); model dekonstruksi Derrida (Lawlor, 2006); atau model inkuiri naturalistik yang ditawarkan oleh Lincoln dan Guba (1989). Semua model tersebut, dan model-model logika lainnya, lahir dari pemikiran kritis-reflektif yang meniscayakan perlunya kebaruan dalam paradigma keilmuan.

Dalam tulisan saya sebelumnya, “Menemukan Kebaruan (Novelty) dalam Penelitian” (Farisi, 2021), ada tiga Langkah yang bisa dilakukan peneliti untuk menemukan kebaruan, yaitu melalui analisis/kajian terhadap variabel, teori, dan konteks permasalahan (Gambar 2).

Pertama, analisis variabel. Hal ini dilakukan dengan membuat tabel atau bagan jaringan variabel dari masalah yang akan diteliti. Tabel atau bagan jaringan ini memuat semua variabel yang pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Langkah ini sangat penting bagi peneliti untuk mengidentifikasi, menemukan, dan memilah: (1) teori-teori yang digunakan untuk dasar pemikiran dan pembahasan; (2) variabel-variabel yang pernah dan belum pernah diteliti sebelumnya; (3) hasil interaksi (korelasi, pengaruh, dsb.) antar-variabel; dan (4) konteks dan waktu penelitian.

Kedua, analisis teori. Hal ini dilakukan dengan mengkaji teori-teori lain (teori baru) yang belum pernah digunakan untuk mengkaji masalah tersebut (di luar teori yang lazim digunakan), yang peneliti pandang dimungkinkan atau bisa digunakan karena memiliki keterkaitan substantif dengan masalah yang diteliti. Penggunaan “teori baru” ini memberikan peluang besar bagi peneliti untuk menemukan dan memasukkan “variabel baru” yang belum pernah diteliti sebelumnya untuk memecahkan masalah yang diteliti. Jika ini terjadi, maka peluang untuk menemukan novelty pun sangat terbuka. 

Ketiga, analisis konteks permasalahan yang akan diteliti/dikaji. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan menemukan adanya perbedaan konteks masalah penelitian dengan konteks-konteks penelitian sebelumnya. Bagaimanapun, konteks penelitian di dalam mana interaksi (korelasi, pengaruh, dsb.) antar-variabel itu terjadi memiliki kaitan dan/atau pengaruh terhadap hasil penelitian. Dalam hal ini peneliti bisa mengidentifikasi keberbedaan konteks penelitian, dengan menggunakan komposisi/konfigurasi variabel yang  sama  atau  berbeda  dengan yang diteliti sebelumnya.

  

Memaknai Kebaruan

Dalam filsafat ilmu Kuhn, kebaruan akan melahirkan komitmen-komitmen professional dan dasar-dasar keilmuan baru dalam keseluruhan praktik sains. Karenanya, kebaruan tidak bisa dipahami atas dasar paradigma lama (the existing paradigm), melainkan atas dasar komitmen-komitmen professional dan dasar-dasar keilmuan baru yang telah diterima oleh komunitas keilmuan (sebagian atau keseluruhan) (the successor paradigm).

Komitmen profesional atas kebaruan bersifat kolektif-komunal, tidak individual-personal. Karenanya, kebaruan tidak bisa dimaknai secara personal atas dasar otoritas (profesional atau struktural) atau semacamnya. Kebaruan harus dimaknai secara kolektif atau dasar konsensus bersama (ijma’) di kalangan komunitas keilmuan masing-masing disiplin ilmu.

Namun demikian, lazimnya sesuatu yang baru, apapun itu, termasuk paradigma, niscaya jarang sekali atau belum memiliki semua kemampuan yang dimiliki oleh paradigma lama dalam menyediakan model konseptual dan aktual untuk memecahkan masalah-masalah konkret. Lagi-lagi dalam hal ini, komunitas keilmuan pendukung paradigma baru harus bisa melakukan semua ikhtiar akademik untuk memastikan keberlanjutannya.

Atas dasar logika penemuan kebaruan melalui model uji teori dua tahap (verifikasi-falsifikasi), maka kebaruan memiliki tiga makna.

Pertama. Kebaruan sebagai “verified theory”, teori baru yang sudah lolos uji kebenaran. Kebaruan merupakan hasil penyempurnaan, pengembangan, perbaikan, dan penambahan atas struktur teori keilmuan yang sudah ada sebelumnya, dan bersifat akumulatif dan evolusioner. Teori baru ini diyakini akan semakin koheren, konsisten, sesuai, dan memiliki nilai manfaat yang lebih baik dalam memahami realitas dan memecahkan masalah atau teka-teki keilmuan. Teori jenis ini, ibarat sebuah mobil yang baru diperbaiki di bengkel (car repair shop). Mobil ini lebih nyaman, aman, tidak mogok lagi, dan bisa memberikan layanan lebih baik kepada penumpang.

Kedua. Kebaruan sebagai “corroborated theory, teori baru yang sudah sudah lolos uji kesalahan/kepalsuan (falsify) dan sanggahan/keberatan (refutation) yang dihadapi. Kebaruan merupakan pengubahan dan penggantian sebagian atau keseluruhan atas struktur teori keilmuan yang sudah ada sebelumnya secara revolusioner. Teori baru ini diyakini telah bebas dari kepalsuan dan atau kesalahan, dan karenanya menjadi semakin kuat, berdaya, dan meyakinkan dalam memahami realitas dan memecahkan masalah atau teka-teki keilmuan. Teori jenis ini, ibarat sebuah mobil yang baru di cuci di tempat cuci mobil (car wash). Mobil ini lebih bersih, percaya diri dengan tampilan baru, sehingga diyakini bisa memberikan layanan lebih mengesankan kepada penumpang.

Ketiga. Kebaruan sebagai “verified and corroborated theory”, atau Kuhn menyebut “extraordinary science”, teori baru yang sudah lolos uji dua tahap (uji kebenaran dan kesalahan). Teori baru ini selain semakin sempurna, berkembang, semaik baik dan bertambah strukturnya, juga semakin bersih dan bebas dari kesalahan. Teori jenis inilah yang dimaksudkan oleh Kuhn dalam model revolusi keilmuwan yang ditawarkan. Sebuah teori baru yang bisa membawa praktik dan komunitas keilmuan ke serangkaian komitmen dan fondasi keilmuan baru, menggeser komitmen dan fondasi keilmuan lama. Teori jenis ini, ibarat sebuah mobil yang baru diperbaiki di bengkel (car repair shop) dan baru dicuci di tempat cuci mobil (car wash). Tentu, mobil jenis ini akan lebih nyaman, aman, tidak mogok lagi, lebih bersih, dan lebih percaya diri dalam memberikan layanan kepada penumpang. Pastilah, jenis mobil ini yang banyak dicari penumpang daripada kedua jenis mobil sebelumnya.

Ketiga makna kebaruan tersebut berimplikasi pada bagaimana seorang peneliti memilih dan menetapkan fenomena (masalah, enigma) keilmuan agar bisa menghasilkan kebaruan.

Pertama, fenomena yang bisa dimaknai dengan baik oleh paradigma yang ada. Jenis fenomena ini jarang, bahkan sama sekali tidak bisa memberikan motif atau titik tolak bagi peneliti untuk menemukan kebaruan.

Kedua, fenomena yang sebagian bisa dimaknai oleh paradigma yang ada, tetapi detailnya memerlukan artikulasi teori lebih lanjut yang mungkin disediakan oleh paradigma yang ada. Jenis fenomena ini berpotensi untuk melahirkan teori-paradigma baru. Namun, peneliti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan artikulasi teori yang bisa menjelaskan fenomena tersebut, dan menemukan kebaruan.

Ketiga, fenomena yang hanya bisa dipahami dengan menggunakan teori-paradigma baru. Jenis fenomena ini oleh Kuhn disebut “fenomena anomali” (anomalous phenomenas). Sebuah fenomena keilmuan yang tidak bisa lagi dijelaskan dan dimaknai menggunakan paradigma lama. Karena paradigma hanya bisa memberikan makna dan penjelasan yang sudah ada di dalam struktur. Jenis fenomena inilah yang sangat potensial untuk menemukan kebaruan.

Pesona Mozaik, 22 Desember 2021

__________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).