Kebencian Ono Surono kepada Dedi Mulyadi adalah gejala dari luka politik yang belum selesai, luka karena ditolak, luka karena dilangkahi, dan luka karena kalah. Tapi dalam politik, luka hanya bisa disembuhkan dengan sublimasi, bukan dengan dendam.
Ono Surono, politisi PDIP yang kini menjabat sebagai Ketua DPRD Jawa Barat, mungkin telah memperhitungkan untung-rugi menjadi antitesa tokoh populer yang sedang naik daun seperti Dedi Mulyadi. Untuk itulah ia rela menjadi sosok antahonis dalam setiap kebijakan Dedi yang kini menjabat gubernur Jawa Barat itu.
Akan tetapi, apakah sikap antitesa Ono ini sudah atas restu PDIP atau Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai, atau murni atas inisiatif sendiri? Jika tanpa restu partai, sikap antitesa menyimpan bahaya mengingat PDIP bertumbuh menjadi "feodalistik" yang semua keputusan politiknya "tergantung restu ibu".
Terlebih lagi, dalam dunia politik yang mungkin kini sedang dialami Ono Surono, sering terjadi bahwa kekuasaan bukan semata-mata persoalan menang atau kalah, tetapi juga soal rasa. Rasa itu bisa bermacam-macam; dikhianati, dilangkahi, tidak diakui, atau bahkan dipermalukan.
Maka, fenomena Ono Surono, Ketua DPRD Jawa Barat dari PDIP, yang tampak menaruh "kebencian" personal pada Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi dari Gerindra, dapat dibaca bukan hanya sebagai gejala politik elektoral, tetapi sebagai ekspresi luka batin politik yang lebih dalam dan lebih eksistensial.
Ono mengambil sikap antitesa, termasuk saat PDIP "walk out" dari rapat DPRD yang menghadirkan Dedi Mulyadi belum lama ini, meskipun ada politisi PDIP lain yang memerintahkan "walk out".
Mengapa "kebencian" -katakanlah itu kebencian- muncul begitu intens akhir-akhir ini? Tidakkah ini menjadi bumerang yang merugikan bagi Ono dan ada bahaya jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali? Tidakkah ini akan berimbas pada citra PDIP pusat yang belum tentu setuju dengan sikap "walk out" PDIP?
Sebagai kader senior PDIP di Jawa Barat, Ono Surono memiliki ekspektasi besar untuk menjadi calon Gubernur Jabar 2024. Secara struktur, ia memiliki posisi strategis. Secara pengalaman, ia punya rekam jejak. Namun, dalam politik PDIP, restu Megawati Soekarnoputri adalah segalanya.
Dan, restu itu tidak datang. Bahkan untuk menjadi calon wakil gubernur mendampingi Anies Baswedan pun ia tersingkir, karena Megawati menolak segala yang berbau Anies, bukan karena kapasitas, tapi karena ideologis dan historis.
Ini dua kali penolakan dalam satu musim politik. Luka ini bukan luka biasa, ini adalah cedera eksistensial dalam logika Nietzsche —tentang kehendak untuk berkuasa (will to power) yang terbatalkan.
Kegagalan itu terasa semakin pahit ketika lawan politiknya, Dedi Mulyadi dari Gerindra, justru menang dan menguasai panggung. Dedi, dengan gaya populis dan kulturalnya, berhasil meraih simpati massa, bahkan dari segmen yang biasanya menjadi basis PDIP: wong cilik.
Kekalahan Ono bukan hanya kekalahan personal, tetapi kekalahan simbolik PDIP di tanah Pasundan. Rasa kecewa berubah menjadi "kebencian" tadi. Dan sebagaimana yang ditulis Sartre, “Hate is a feeling that can only exist in the absence of all understanding.”
Kebencian yang tidak diproses menjadi energi positif akan menjelma menjadi destruksi. Dalam kasus Ono Surono, "kebenciannya" terhadap Dedi Mulyadi tampak mengemuka dalam berbagai isu, termasuk kasus viral Aura Cinta — seolah-olah setiap celah digunakan untuk menggembosi kredibilitas lawan.
Tetapi dalam filsafat etika publik, tindakan yang didasarkan pada motif dendam memiliki legitimasi yang lemah dan rapuh. Jika seseorang dalam posisi kekuasaan mengarahkan seluruh energinya untuk menjatuhkan orang lain, maka dua hal terjadi: pertama, ia kehilangan fokus pada agenda substantif; dan kedua, ia menjadikan institusinya sebagai kendaraan balas dendam.
Jika hal ini terus terjadi, maka PDIP akan kehilangan bukan hanya simpati, tapi juga kredibilitas moral. Jawa Barat, sebagai lumbung suara besar di Indonesia, memerlukan pendekatan politik yang inklusif dan sejuk.
Ekspos "kebencian" yang terlalu vulgar dari seorang tokoh publik seperti Ono akan dibaca publik sebagai tanda kegagalan partai dalam mengelola kader dan emosinya. Politik yang didorong oleh kebencian hanya akan memperbesar jurang antara rakyat dan elite.
Secara struktural, PDIP sudah lama kesulitan menembus benteng budaya dan religiusitas masyarakat Sunda. Kharisma Megawati tidak begitu mengakar di Jawa Barat seperti halnya di Jawa Tengah atau Bali. Di tengah tantangan ini, alih-alih membangun narasi inklusi dan rekonsiliasi, ekspresi "kebencian" dari tokoh seperti Ono Surono justru memperkuat citra bahwa PDIP elitis, pendendam, dan jauh dari denyut rakyat.
Secara nasional, PDIP juga sedang menghadapi transisi krusial pasca Jokowi dan di tengah pertarungan arah politik ke depan. Jika PDIP di Jawa Barat tidak bisa menjadi representasi “kewarasan politik”, maka akan sulit bagi partai ini menjaga relevansi di level nasional.
"Kebencian" personal yang dibawa ke dalam ranah institusional hanya akan mempercepat delegitimasi moral partai.
Dalam kacamata Kierkegaard, kebencian adalah bentuk keputusasaan (despair), yaitu ketidakmampuan menerima kenyataan tentang diri sendiri.
Ono Surono mungkin bukan membenci Dedi Mulyadi semata-mata karena siapa dia, tetapi karena Dedi menjadi refleksi dari kegagalannya sendiri, sebuah cermin yang mengganggu narasi tentang dirinya sebagai “yang layak menang”.
Sementara Hannah Arendt memperingatkan kita tentang banalitas kejahatan, bahwa yang paling berbahaya bukanlah kebencian yang radikal, tetapi kebencian yang dilembagakan, dinormalisasi, dan dikemas sebagai bagian dari politik sehari-hari.
Jika PDIP tidak mengintervensi narasi ini, maka bisa terjadi banalitas kebencian yang sistemik di tubuh partai.
"Kebencian" Ono Surono kepada Dedi Mulyadi adalah gejala dari luka politik yang belum selesai, luka karena ditolak, luka karena dilangkahi, dan luka karena kalah. Tapi dalam politik, luka hanya bisa disembuhkan dengan sublimasi, bukan dengan dendam.
Jika PDIP ingin bertahan di Jawa Barat dan tetap relevan di Indonesia, maka partai harus mampu menertibkan bukan hanya struktur, tapi juga batin kader-kadernya. Karena politik yang sehat tidak lahir dari cinta kekuasaan, tapi dari kekuasaan cinta.
Ono Surono, "Inohong" Pantura
Ono Surono adalah salah satu "inohong" atau tokoh penting PDIP di Jawa Barat, yang namanya selama satu dekade terakhir mencuat dalam konstelasi politik lokal maupun nasional. Sebagai Ketua DPRD Jawa Barat pasca Pemilu 2024 dan Ketua DPD PDIP Jawa Barat sejak 2019, ia mencerminkan figur organisatoris yang loyal, tekun membangun struktur partai dari bawah, dan aktif dalam mengangkat isu-isu strategis masyarakat Jawa Barat.
Namun di balik reputasi itu, Pilkada Jawa Barat 2024 menjadi titik balik yang pahit dalam karier politiknya. Meskipun berada di puncak kekuasaan legislatif provinsi dan menjadi kader senior, ia gagal menjadi calon gubernur, bahkan sebagai cawagub pun tidak dilirik. Apa yang terjadi?
Ono berasal dari Indramayu yang memulai kiprah politiknya di DPR RI, mewakili daerah pemilihan Jawa Barat VIII. Ia dikenal fokus pada isu-isu nelayan dan pertanian, serta memperjuangkan kebijakan afirmatif untuk masyarakat pesisir. Namanya cukup dikenal di kalangan akar rumput PDIP di Pantura dan beberapa kantong pemilih tradisional partai di Jabar.
Setelah diangkat menjadi Ketua DPD PDIP Jawa Barat pada 2019, Ono melakukan konsolidasi partai secara masif, membentuk simpul-simpul baru yang diharapkan bisa memperkuat mesin partai di wilayah yang secara historis bukan basis PDIP. Dalam Pileg 2024, PDIP berhasil menambah kursi di DPRD Jawa Barat dan menjadikannya Ketua DPRD. Secara formal, ini adalah bukti keberhasilan konsolidasi politiknya.
Namun prestasi struktural ini tak berbanding lurus dengan kepercayaan yang diberikan oleh DPP PDIP untuk Pilkada. Ono gagal menjadi andidat gubernur meski baliho raksasanya sudah tersebar di seantero Jawa Barat dengan poster rambut gondrongnya.
Ono sempat disebut-sebut sebagai bakal calon gubernur maupun calon wakil gubernur, terutama dalam skema koalisi PDIP dengan Nasdem atau PKB. Namun semua terbentur pada satu nama, yaitu Anies Baswedan. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menolak keras segala bentuk koalisi atau keterkaitan dengan Anies. Saat Anies masuk radar Pilkada Jawa Barat, segala kemungkinan bagi kader seperti Ono langsung tertutup. Bahkan untuk menjadi cawagub pun ia tidak diusulkan.
Di luar struktur partai, Ono bukan figur dengan elektabilitas tinggi di mata publik Jawa Barat. Survei-survei menempatkannya jauh di bawah tokoh-tokoh seperti Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, atau bahkan tokoh-tokoh muda dari kalangan pesantren. Ia tidak dikenal luas di luar Pantura, dan gaya komunikasinya dinilai kurang populis untuk masyarakat urban maupun santri.
Senyampang itu, PDIP dikenal sebagai partai dengan sistem sentralisasi tinggi dengan tendensi feodalistiknya yang kental. Meskipun Ono menguasai mesin partai di Jawa Barat, keputusan tetap berada di tangan DPP. PDIP sendiri lebih memilih untuk tidak memaksakan kader internal sebagai gubernur jika peluang menang dinilai kecil. DPP juga mungkin melihat Pilkada Jabar sebagai arena untuk konsolidasi jangka panjang, bukan semata perebutan jangka pendek.
Setelah kegagalan maju di Pilkada, Ono tetap mempertahankan posisinya sebagai Ketua DPRD Jawa Barat. Namun dalam beberapa kesempatan ia menunjukkan gestur politik yang konfrontatif terhadap Gubernur terpilih, Dedi Mulyadi dari Gerindra. Bahkan dalam isu yang viral seperti dugaan kedekatan Dedi dengan selebgram muda, Ono menjadi salah satu politisi yang vokal meminta penjelasan publik.
Sebagian pengamat menilai sikap ini sebagai ekspresi rasa kecewa dan kecemburuan politik, yang bisa merusak citra kelembagaan DPRD jika tidak dijaga dalam koridor etis. Namun, bisa juga dilihat sebagai upaya menjaga “panggung” politik di tengah bayang-bayang kekecewaan personal.
Ono Surono adalah contoh tokoh yang kuat dalam organisasi, tetapi belum menemukan jalan elektoral yang kuat secara personal. Ia adalah produk dari sistem partai yang terstruktur, namun terkadang sistem itu sendiri yang membatasi ruang geraknya.
Gagal maju di Pilkada 2024 bukan akhir dari kariernya, namun bisa menjadi momen refleksi untuk membangun daya tarik politik yang lebih personal, populis, dan fleksibel.
Jika tidak, maka ia akan terus berada dalam bayang-bayang struktur yang ia kuasai, tapi tidak pernah benar-benar memberinya panggung kepemimpinan sejati di level eksekutif.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews