Agnez Monica dan Menjadi Minoritas di Indonesia

Dengan konsep memberi untuk kemajuan bangsa, segala perangai negatif seharusnya tidak terlihat lagi, mulai dari tindak korupsi, radikalisme, hingga berbagai sikap kebencian bernuansa SARA.

Senin, 2 Desember 2019 | 06:09 WIB
0
647
Agnez Monica dan Menjadi Minoritas di Indonesia
Agnez Monica (Foto: IDNtimes.com)

“Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country.” Pernyataan historis ini disampaikan oleh John F. Kennedy dalam acara pelantikannya sebagai Presiden ke-35 Amerika Serikat pada 20 Januari 1961.

Pernyataan ini disampaikan oleh John F. Kennedy untuk mengajak bangsanya terutama kaum muda agar lebih memikirkan apa yang dapat dikontribusikan kepada negara ketimbang menuntut apa yang diberikan oleh negara terhadap mereka.

Yang menarik adalah pertanyaan kenapa pernyataan tersebut justru mendunia. Jawaban sederhananya adalah pernyataan ini tidak ditujukan pada apa latar belakang kita, baik dari golongan minoritas maupun maupun mayoritas, tetapi pada apa kontribusi terbesar yang dapat kita sumbangkan bagi negara, tanpa mengenal dari mana kita berasal.

Pandangan ini yang seharusnya menjadi tolok ukur saat kita menilai permasalahan yang sepekan terakhir tertuju pada penyanyi Agnez Monica. Tanpa berupaya mendukungnya karena memang bukan salah satu penggemarnya, saya lebih tertarik pada apa yang dapat dilakukannya untuk mengharumkan nama Indonesia tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kancah internasional.

Secara utuh percakapan dalam program wawancara Build Series, Agnez memaparkan fakta tentang darah keturunan yang dimilikinya. Tetapi, dalam wawancara itu pula, Agnez terlihat justru menyampaikan pesan semangat nasionalisme yang tidak pudar dengan menjadi bagian minoritas di Indonesia.

Banyak yang tidak menyadari apabila mereka yang menjadi minoritas di Indonesia terkadang justru menemui hambatan besar saat mereka ingin mengibarkan bendera Indonesia di mata masyarakat dunia. Sikap diskriminatif yang sempat ditunjukkan oleh pemerintahan Orde Baru dan beberapa tahun setelah tumbangnya rezim ini dialami oleh atlit bulu tangkis Tan Joe Hok hingga Susi Susanti dan suaminya Alan Budikusuma.

Juara All England 1959, Tan Joe Hok, sempat mengaku sikap diskriminatif yang ditunjukkan pemerintahan Orde Baru adalah saat dirinya diminta untuk mengganti namanya dan melepaskan unsur Tionghoa dalam namanya.

Sementara sebagai penyumbang emas pertama Olimpiade bagi Indonesia, Susi Susanti mengaku sempat masih disibukkan dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) menjelang pernikahannya dengan Alan Budikusuma meskipun sudah membawa nama Indonesia dalam Olimpiade 1992 di Barcelona. Tindakan diskriminatif tersebut masih terbilang sekelumit saja dari sejumlah kasus diskriminatif yang dialami kaum minoritas di Indonesia.

Kalau kita jujur, kita bisa terbuka melihat masih banyak ketimpangan di berbagai bidang yang dialami oleh kaum minoritas, salah satunya adalah dalam menjalankan ibadah.

Beberapa tempat ibadah yang sudah mengantongi izin dari pemerintah daerah maupun pusat tetap sulit untuk dijadikan tempat beribadah karena adanya penentangan dari masyarakat sekitar maupun kalangan luas.

K. H. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur sempat menyinggung masalah ini dengan menyampaikan ironi tentang adanya umat yang dengan bebas mendirikan sejumlah besar rumah ibadah tanpa izin dan tanpa menemui tekanan apa-apa. Semasa hidupnya, Presiden ke-4 Indonesia ini mengakui tingginya disparitas antara minoritas dan mayoritas di berbagai bidang.

Apabila terbiasa memikirkan tentang apa yang terbaik untuk kemashalatan negara, bangsa ini tidak seharusnya lagi memikirkan tentang apa yang bisa didapatkan atau dikeruk, tetapi tentang apa yang dapat diberikan. Dengan konsep memberi untuk kemajuan bangsa, segala perangai negatif seharusnya tidak terlihat lagi, mulai dari tindak korupsi, radikalisme, hingga berbagai sikap kebencian yang bermuara pada kasus SARA dan perpecahan.

Baca Juga: Agnes Mo

Ada pihak yang selama ini menunjukkan sikap nasionalisme terhadap negara dengan menjunjung upaya persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap nasionalisme dapat saja tergerus apabila ada hasrat menuntut yang lebih besar ketimbang memberi. Ini terlihat jelas dari pihak-pihak yang sempat tidak dijanjikan kursi jabatan di Kabinet Indonesia Maju dan akhirnya memilih beranjak atau mengancam meninggalkan idealismenya.

Dengan sikap memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, kita tidak perlu terseret ke dalam pandangan bahwa minoritas selayaknya rendah diri dan mayoritas sudah sepantasnya besar kepala dan meresahkan.

Konsep memberi itulah yang mendorong pemikiran bahwa kita adalah satu sebagai kekuatan terbesar bagi tujuan pembangunan dan kesejahteraan yang merata sehingga tidak ada lagi kesenjangan di berbagai bidang yang mengarah ke perpecahan bangsa.

***