Jangan Lawan Dedi Mulyadi, Kalah Kau!

Pada akhirnya, rakyat Indonesia bukan mencari pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang tulus. Dan dalam ketulusan itulah, kekuatan sejati bertumbuh. Dalam bertumbuhnya kekuatan sejati itu tersebutlah Dedi Mulyadi.

Minggu, 18 Mei 2025 | 07:23 WIB
0
37
Jangan Lawan Dedi Mulyadi, Kalah Kau!
Dedi Mulyadi (Foto: Umsu.ac.id)

Masih ingat peringatan yang pernah disampaikan politisi kawakan PDIP, Bambang Pacul: "Jangan lawan orang baik, kalah kau!" Kalimat yang dilontarkan secara guyon itu bukan sekadar nasihat, tetapi semacam "hukum sosial tak tertulis" yang telah terbukti berkali-kali dalam sejarah politik Indonesia, setidak-tidaknya telah menjadi kenyataan. 

Saat ini, ungkapan Bambang Pacul itu terasa hidup dan relevan dalam sosok Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang belakangan menjadi buah bibir karena keberaniannya, kenekatannya, keunikannya, dan kedekatannya dengan rakyat.

Ketika Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, mengkritik atau bahkan mencoba membenturkan diri secara politik dengan Dedi -bisa saja demi menaikkan citranya di mata orang banyak- publik justru membela Dedi dengan spontanitas yang nyaris mistik. Membingungkan dan di "luar nurul", meminjam kalimat slenge'an anak-anak milenial.

Gelombang dukungan yang datang silih berganti itu bukan karena Dedi memainkan politik identitas sebagaimana dilakukan Anies Baswedan atau menjanjikan iming-iming populis. Ia muncul karena publik menganggap Dedi mewakili kebaikan yang tulus, keberanian yang apa adanya, dan kreativitas yang membumi tiada banding tiada tanding.

Model kepemimpinan ala Dedi Mulyadi yang membumi, humanis, berakar pada budaya lokal namun visioner secara nasional bukan hal yang lazim, tetapi bukan juga tanpa padanan. Beberapa tokoh dunia mencerminkan pola serupa: tampil bukan sebagai elite yang dingin, melainkan sebagai figur yang akrab, tulus, bahkan spiritual dalam cara mereka melayani.

Gaya "politik jalanan" -untuk membedakan dengan gaya politik elitis- sesungguhnya tidak jauh dengan gaya Jako Widodo alias Jokowi pada saat kemunculannya, yakni menjalankan model  model kesederhanaan dan simbol politik jalanan itu tadi. Keduanya  memiliki kesamaan dalam gaya turun ke bawah menyapa rakyat, gaya berpakaian yang tidak elitis, serta cara bicara yang membumi.

Kalaupun ada bedanya, Jokowi lebih berhati-hati dan teknokratik, sementara Dedi lebih ekspresif dan filosofis dengan pendekatan budaya yang lebih kuat, khususnya budaya Sunda. Kerap kedekatan Dedi dengan budaya "buhun" Sunda dijadikan arsenal lawan untuk menghantamnya, kemudian dibenturkan dengan fanatisme agama. Namun secara umum, keduanya menunjukkan bahwa politik kesederhanaan dapat menjadi kekuatan besar dalam demokrasi.

Mencari contoh gaya kepemimpinan Dedi satu nama ini tidak boleh dilupakan, Jose Mujica, Presiden Uruguay masa bakti 2010-2015. Ia juga menerapkan model kesederhanaan dan humanisme radikal. Radikalisme Mujica pas dengan julakan yang diterakan kepadanya, “presiden termiskin di dunia” karena hidupnya sangat sederhana—tinggal di rumah petani, menyumbangkan 90% gajinya, dan tetap mengendarai mobil tua Volkswagen Beetle. 

Seperti Dedi, Mujica tidak terjebak dalam simbolisme kekuasaan meskipun di negerinya sangat populer. Mujica percaya bahwa pemimpin harus melayani, bukan dilayani. Kebijakannya juga dekat dengan rakyat kecil, berbasis etika dan keberlanjutan. "Jika kita mengisi hidup dengan banyak konsumsi, maka waktu kita akan habis untuk membeli. Saya memilih hidup sederhana agar bisa merdeka,"  demikian kutipan terkenal Mujica.

Setidaknya sampai saat ini, Dedi adalah oase di tengah gurun kering tipe kepemimpinan yang mengakar. Ia mencerminkan gelombang pemimpin yang melampaui kalkulasi politik, hadir dengan filosofi hidup yang kuat, keterhubungan batin dengan rakyat, dan gaya kepemimpinan yang membalikkan piramida kekuasaan menjadi hubungan spiritual antara pemimpin dan yang dipimpin. Ini bukan soal branding, tapi soal nilai yang hidup.

Siapa Sesungguhnya Dedi Mulyadi?

Dedi Mulyadi bukanlah politisi "jadi-jadian", bukan "yesterday afternoon politician" kata orang sono. Ia memulai karier dari bawah, merangkak dari desa, dari kultur Sunda yang lekat dan sarat filosofi. Mantan Bupati Purwakarta ini dikenal suka turun ke lapangan, bahkan kadang tanpa protokol. Ia menyapa tukang becak, mendengar keluh ibu-ibu di pasar, berdialog dengan siswa di sekolah, hingga memberi perhatian pada hutan dan satwa lokal. 

Semua "gerakan moral dan kultural" yang dilakukannya itu bukan untuk konten semata, melainkan sebagai ekspresi hidup yang autentik: ngamumule budaya, ngayomi rakyat, dan ngabakti ka lemah cai. Demikian berulang-ulan ia memperkenalkan filosofi manusia Sunda.

Dedi membawa politik ke tempat yang hangat dengan angin sepoi-sepoi yang membenamkan kesadaran. Ia tidak segan bicara blak-blakan, kadang dengan logika nalar jalanan yang justru lebih masuk akal daripada debat elit di ruang-ruang sidang mewah berpendingin. Dalam dunia yang dipenuhi jargon, Dedi adalah kalimat yang sederhana. Dan justru karena itulah dia kuat.

Kembali ke pernyataan Bambang Pacul yang sudah layak masuk ensiklopedia politik modern Indonesia; mengapa orang baik sulit dikalahkan? Karena mereka tidak bermain di papan catur yang sama dengan lawan-lawannya. Ketika politisi lain sibuk dengan strategi, intrik, uang dan kalkulasi, orang baik hanya berjalan lurus dengan keyakinan bahwa niat baik akan menemukan jalannya. Mereka mungkin tidak selalu menang secara institusional, tetapi mereka selalu menang di hati publik. Dan hati publik itulah arena paling sakral dalam politik demokrasi.

Mungkin bisa disebut sebagai politik spiritual, di mana tindakan-tindakan seorang pemimpin terasa mengandung nilai moral yang mendalam, bukan sekadar pencitraan. Dedi Mulyadi, dengan segala keunikannya, tampaknya menjadi salah satu sedikit figur yang bisa membawa politik kembali ke ranah moralitas publik.

Bisakah Dedi menjadi kuda hitam dalam Pilpres 2029 mendatang? Meski mungkin pertanyaan ini terdengar terlalu dini, tetapi bukan tidak pada tempatnya. Melihat rekam jejaknya, Dedi memiliki tiga modal utama yang selama ini menjadi syarat lahirnya seorang pemimpin nasional, yakni integritas, imajinasi, dan keberanian.

Integritas karena ia hidup sesuai nilai-nilai yang diucapkannya. Tidak terjerat skandal, dan tetap membumi meski popularitasnya terus menanjak. Imajinasi karena ia mampu berpikir di luar kotak. Pembangunan berbasis budaya yang ia terapkan di Purwakarta membuktikan itu. Keberanian karena ia tidak takut berbeda. Di saat politisi lain takut mengambil risiko, Dedi justru menjadikan risiko sebagai ruang kreativitas.

Tentu saja jalan menuju kursi presiden bukan hanya soal layak atau tidak, tetapi juga soal momentum dan relasi kuasa. Dedi perlu mesin politik yang bersih dan kuat, jejaring nasional yang tidak korup, serta narasi yang bisa menyatukan Indonesia—tidak hanya Jawa Barat.

Lalu dari mana kesempatan menuju gelanggang Pilpres datang? Bisa jadi dari independensinya yang luar biasa. Dedi adalah tipe pemimpin yang lebih kuat sebagai gerakan daripada sebagai kader. Dedi kini bernaung di bawah bendera Gerindra. 

Atau bisa juga dari gerakan rakyat bawah yang mulai bosan dengan oligarki lama. Jika gelombang perubahan datang seperti yang terjadi pada Jokowi di 2014, Dedi punya kans yang sangat besar. Bahkan, bisa saja Prabowo Subianto sendiri, dengan naluri strategisnya, melihat Dedi sebagai penerus alami yang populis tapi santun, nasionalis tapi lokal, kuat tapi merangkul.

"Jangan lawan Dedi Mulyadi, kalah kau," bukan hanya peringatan politis, tapi juga refleksi dari karakter kepemimpinan baru yang sedang ditunggu Indonesia. Pemimpin yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijak. Tidak hanya tegas, tetapi juga welas asih. Tidak hanya nasional, tetapi juga spiritual. Karena pada akhirnya, rakyat Indonesia bukan mencari pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang tulus. Dan dalam ketulusan itulah, kekuatan sejati bertumbuh. Dalam bertumbuhnya kekuatan sejati itu tersebutlah Dedi Mulyadi.