Ironi Demokrasi dalam Bayang-bayang Kepemimpinan Seumur Hidup Megawati

Keinginan menjadi ketua umum partai seumur hidup, pada akhirnya, adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi, bahwa kekuasaan adalah amanah yang bersifat sementara, bukan warisan yang diturunkan atau dipertahankan tanpa batas.

Sabtu, 17 Mei 2025 | 07:11 WIB
0
110
Ironi Demokrasi dalam Bayang-bayang Kepemimpinan Seumur Hidup Megawati
Megawati Soekarnoputri (Foto: kompas.id)

Pernyataan Megawati Soekarnoputri yang menyiratkan keinginan atau kemungkinan dirinya menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seumur hidup mengundang pertanyaan sederhana: bagaimana mungkin partai yang mengusung "demokrasi" dalam namanya justru menganut prinsip kepemimpinan yang bersifat absolut dan tak terbatas waktu? 

Di sinilah letak ironi yang paling tajam—antara semboyan dan tindakan, antara nama dan kenyataan.

Dalam ranah filsafat politik, demokrasi bukan hanya sekadar sistem pemilu lima tahunan, tetapi sebuah etos, yakni pengakuan akan keterbatasan manusia, pentingnya sirkulasi kekuasaan, dan penghormatan terhadap keberagaman suara. Ketika seseorang menjadi pemimpin seumur hidup—entah itu di partai atau negara—maka prinsip-prinsip tersebut secara implisit digeser atau bahkan disingkirkan.

Hasrat Megawati menjadi ketua umum partai seumur hidup bisa dibaca bukan hanya sebagai problem institusional dalam tubuh PDIP, tetapi juga sebagai refleksi dari kecenderungan otoritarianisme kultural yang masih membayangi demokrasi Indonesia.

Bahaya terbesar dari kepemimpinan seumur hidup dalam partai politik adalah matinya regenerasi. Partai menjadi milik satu figur dan bukan wadah kolektif rakyat atau kader. Ketika otoritas tertinggi tidak lagi dipertanggungjawabkan secara periodik, maka ruang perdebatan, inovasi, dan perubahan menjadi tumpul. Partai berubah dari organisme politik menjadi kultus personal. 

Dan dalam kasus PDIP, yang merupakan partai pemenang pemilu berulang kali, efek dari struktur internal ini bisa menjalar ke kehidupan demokrasi nasional. Partai besar dengan mekanisme internal yang tidak demokratis akan menghasilkan pemimpin nasional yang juga tak terbiasa dengan mekanisme pertanggungjawaban dan sirkulasi ide.

Gerbang Menuju Kematian Demokrasi

Dalam sejarah politik dunia, keinginan untuk menjadi Ketua Umum Partai seumur hidup bukanlah hal baru. Ia lahir dari naluri kekuasaan yang purba, yaitu keinginan untuk mengendalikan, mempertahankan status quo, dan menyingkirkan ketidakpastian yang datang bersama perubahan.

Namun, dari sudut pandang filsafat politik, kekuasaan yang tidak dibatasi waktu dan mekanisme evaluasi bukanlah tanda kestabilan, melainkan gejala dari pembusukan institusi.

Dan ketika partai politik yang tidak demokratis memegang kekuasaan negara, maka demokrasi nasional ikut terseret dalam krisis.

Contoh buruk ketua umum partai seumur hidup adalah Robert Mugabe yang memimpin partai ZANU-PF di Zimbabwe. Mugabe memimpin ZANU-PF selama lebih dari 40 tahun, mengubah partai tersebut menjadi kendaraan pribadi. Di bawahnya, partai kehilangan makna sebagai alat perjuangan rakyat dan menjadi alat kekuasaan keluarga. Demokrasi mati perlahan, digantikan oleh loyalitas semu dan ketakutan.

Demikian pula Hugo Chávez dengan partai PSUV di Venezuela, ia mengendalikan Partai Sosialis Bersatu Venezuela dengan otoritas penuh. Tidak ada sirkulasi ide, tidak ada regenerasi. Ketika ia wafat, partai menjadi kosong dari pemimpin visioner dan kini hanya menjalankan warisan dalam bentuk populisme yang kehilangan arah.

Tentu saja nama Recep Tayyip Erdoğan yang memimpin AKP di Turki mengubah Partai Keadilan dan Pembangunan menjadi entitas yang tak terpisahkan dari dirinya tidak boleh terlupakan. Mekanisme internal disesuaikan dengan keinginannya, bukan prinsip. Turki mengalami regresi demokrasi, dengan penghapusan kebebasan pers dan pelemahan institusi hukum.

Dari ketiga contoh pemimpin yang menggunakan instrumen partai sebagai kendaraan politik pribadi untuk melanggengkan kekuasaan sudah terbaca bagaimana demokrasi diharapkan dapat bertumbuh dan berkembang, melahirkan buah keadilan serta kesejahteraan yang manis. Nyaris nihil.

Dalam filsafat politik, terutama dalam pemikiran John Stuart Mill dan Hannah Arendt, kekuasaan tanpa batas dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap rakyat dan ide perubahan. Jika pemimpin merasa tak tergantikan, maka sejatinya ia meremehkan kapasitas kader dan warga. Arendt menyebut kondisi ini sebagai “banalitas kekuasaan”—di mana otoritas berjalan bukan karena kebesaran ide, tetapi karena ketiadaan oposisi dan kelelahan institusi.

Pemimpin yang enggan menyerahkan tongkat estafet sejatinya telah kehilangan keberanian untuk diuji oleh sejarah. Ia memilih kekekalan semu di atas dinamika yang sehat.

Meniru Soekarno?

Secara hubungan darah, Megawati adalah putri Presiden Soekarno yang juga proklamator. Ia anak biologis Soekarno. Tanpa harus melupakan jasa-jasa besarnya untuk bangsa Indonesia, hasrat berkuasa seumur hidup Soekarno terpatahkan oleh gerakan "kudeta tersamarkan" yang dilakukan oleh Soeharto. Ironisnya dengan berbagai dalih terutama mengakali satu pasal dalam konstitusi, Soeharto pun ingin berkuasa seumur hidupnya, hanya hasrat ini digagalkan oleh gerakan mahasiswa reformasi yang berujung pada keterpaksaan "melengserkan diri" cara Soeharto di tahun 1997.

Tetapi itu dalam konteks kenegaraan sebagai pemimpin nasional? Bagaimana jika hasrat berkuasa ketua partai untuk menjadi ketua umum partai seumur hidup ada pada partai politik? Sama berbahayanya, sebab sebuah partai sejatinya merupakan bayang-bayang Pemerintah. Partai adalah benih pemerintah yang hanya diatur oleh peraturan AD/ART yang tentu saja dapat diubah sewaktu-waktu oleh ketua umum partai yang berkuasa.

Apakah langkah Megawati meniru sang ayah, Soekarno tadi? Memang sulit melepaskan bayang-bayang sejarah itu. Pada tahun 1963, Soekarno memang ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup melalui MPRS. Walau kala itu Soekarno sedang melawan dominasi kekuatan politik tertentu dan sedang membangun narasi ideologis sendiri (Nasakom), keputusan itu tetap mencederai prinsip demokrasi yang mensyaratkan adanya mekanisme penggantian pemimpin secara reguler.

Bila Megawati hari ini menapaki jejak itu, sadar atau tidak, ia sedang mengulang bab sejarah yang pernah membawa negeri ini pada kediktatoran dan stagnasi politik.

Namun perlu juga dicatat bahwa dalam sistem demokrasi modern, legitimasi tak hanya dibentuk oleh aturan, tapi juga oleh konsensus. Jika PDIP sebagai institusi dan kader-kadernya membiarkan atau bahkan mendukung keabadian satu tokoh, maka masalah ini tak lagi personal, tetapi struktural. Demokrasi internal partai yang lemah pada akhirnya akan merusak demokrasi eksternal negara.

Oleh karena itu, harus dipertanyakan lebih jauh apakah demokrasi kita hanya berhenti pada pemilu, ataukah kita bersedia menyelami prinsip-prinsip dasarnya? Karena jika tidak, maka yang tersisa hanyalah nama tanpa makna. Dan PDIP, partai yang mengusung nama "demokrasi", bisa menjadi contoh tragis tentang bagaimana demokrasi bisa terkikis justru oleh mereka yang mengaku menjaganya.

Sebelum Terlambat

Apa yang harus dilakukan untuk melawan godaan menjadi ketua umum partai seumur hidup?

Salah satu kunci utamanya adalah reformasi internal di tubuh partai itu sendiri dan merujuk pada Megawati adalah PDIP. Sebaiknya PDIP mengadopsi "constitutional democracy" secara internal, dengan pembatasan masa jabatan ketua umum, pemilihan yang transparan, dan evaluasi rutin oleh kader yang diatur dalam AD/ART yang kuat. Bangunlah struktur dewan partai yang bisa menandingi dominasi ketua umum, seperti "board of trustees" atau "council of elders" yang independen.

Di luar itu pendidikan politik kader juga tidak kalah penting. PDIP memiliki sekolah partai yang mapan, diharapkan justru dari sekolah partai ini lahir kader partai berpikir kritis. Sekolah partai bukan diadakan malah untuk melegitimasi dan melanggengkan jabatan ketua umum partai.

Intinya, kader perlu dididik untuk berpikir kritis dan tak mengkultuskan individu. Pendidikan ideologis tak boleh berubah menjadi pendidikan loyalitas buta.

Keinginan menjadi ketua umum partai seumur hidup, pada akhirnya, adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi, bahwa kekuasaan adalah amanah yang bersifat sementara, bukan warisan yang diturunkan atau dipertahankan tanpa batas. 

Bila PDIP, atau partai manapun di negeri ini, membiarkan seorang pemimpin berada di puncak kekuasaan tanpa batas waktu, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan akar demokrasi tercabut—perlahan namun pasti. Negara yang sedang dibangun akan layu sebelum berkembang dengan sendirinya.

***