Keinginan menjadi ketua umum partai seumur hidup, pada akhirnya, adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi, bahwa kekuasaan adalah amanah yang bersifat sementara, bukan warisan yang diturunkan atau dipertahankan tanpa batas.
Pernyataan Megawati Soekarnoputri yang menyiratkan keinginan atau kemungkinan dirinya menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seumur hidup mengundang pertanyaan sederhana: bagaimana mungkin partai yang mengusung "demokrasi" dalam namanya justru menganut prinsip kepemimpinan yang bersifat absolut dan tak terbatas waktu?
Di sinilah letak ironi yang paling tajam—antara semboyan dan tindakan, antara nama dan kenyataan.
Dalam ranah filsafat politik, demokrasi bukan hanya sekadar sistem pemilu lima tahunan, tetapi sebuah etos, yakni pengakuan akan keterbatasan manusia, pentingnya sirkulasi kekuasaan, dan penghormatan terhadap keberagaman suara. Ketika seseorang menjadi pemimpin seumur hidup—entah itu di partai atau negara—maka prinsip-prinsip tersebut secara implisit digeser atau bahkan disingkirkan.
Hasrat Megawati menjadi ketua umum partai seumur hidup bisa dibaca bukan hanya sebagai problem institusional dalam tubuh PDIP, tetapi juga sebagai refleksi dari kecenderungan otoritarianisme kultural yang masih membayangi demokrasi Indonesia.
Bahaya terbesar dari kepemimpinan seumur hidup dalam partai politik adalah matinya regenerasi. Partai menjadi milik satu figur dan bukan wadah kolektif rakyat atau kader. Ketika otoritas tertinggi tidak lagi dipertanggungjawabkan secara periodik, maka ruang perdebatan, inovasi, dan perubahan menjadi tumpul. Partai berubah dari organisme politik menjadi kultus personal.
Dan dalam kasus PDIP, yang merupakan partai pemenang pemilu berulang kali, efek dari struktur internal ini bisa menjalar ke kehidupan demokrasi nasional. Partai besar dengan mekanisme internal yang tidak demokratis akan menghasilkan pemimpin nasional yang juga tak terbiasa dengan mekanisme pertanggungjawaban dan sirkulasi ide.
Gerbang Menuju Kematian Demokrasi
Dalam sejarah politik dunia, keinginan untuk menjadi Ketua Umum Partai seumur hidup bukanlah hal baru. Ia lahir dari naluri kekuasaan yang purba, yaitu keinginan untuk mengendalikan, mempertahankan status quo, dan menyingkirkan ketidakpastian yang datang bersama perubahan.
Namun, dari sudut pandang filsafat politik, kekuasaan yang tidak dibatasi waktu dan mekanisme evaluasi bukanlah tanda kestabilan, melainkan gejala dari pembusukan institusi.
Dan ketika partai politik yang tidak demokratis memegang kekuasaan negara, maka demokrasi nasional ikut terseret dalam krisis.
Contoh buruk ketua umum partai seumur hidup adalah Robert Mugabe yang memimpin partai ZANU-PF di Zimbabwe. Mugabe memimpin ZANU-PF selama lebih dari 40 tahun, mengubah partai tersebut menjadi kendaraan pribadi. Di bawahnya, partai kehilangan makna sebagai alat perjuangan rakyat dan menjadi alat kekuasaan keluarga. Demokrasi mati perlahan, digantikan oleh loyalitas semu dan ketakutan.
Demikian pula Hugo Chávez dengan partai PSUV di Venezuela, ia mengendalikan Partai Sosialis Bersatu Venezuela dengan otoritas penuh. Tidak ada sirkulasi ide, tidak ada regenerasi. Ketika ia wafat, partai menjadi kosong dari pemimpin visioner dan kini hanya menjalankan warisan dalam bentuk populisme yang kehilangan arah.
Tentu saja nama Recep Tayyip Erdoğan yang memimpin AKP di Turki mengubah Partai Keadilan dan Pembangunan menjadi entitas yang tak terpisahkan dari dirinya tidak boleh terlupakan. Mekanisme internal disesuaikan dengan keinginannya, bukan prinsip. Turki mengalami regresi demokrasi, dengan penghapusan kebebasan pers dan pelemahan institusi hukum.
Dari ketiga contoh pemimpin yang menggunakan instrumen partai sebagai kendaraan politik pribadi untuk melanggengkan kekuasaan sudah terbaca bagaimana demokrasi diharapkan dapat bertumbuh dan berkembang, melahirkan buah keadilan serta kesejahteraan yang manis. Nyaris nihil.
Dalam filsafat politik, terutama dalam pemikiran John Stuart Mill dan Hannah Arendt, kekuasaan tanpa batas dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap rakyat dan ide perubahan. Jika pemimpin merasa tak tergantikan, maka sejatinya ia meremehkan kapasitas kader dan warga. Arendt menyebut kondisi ini sebagai “banalitas kekuasaan”—di mana otoritas berjalan bukan karena kebesaran ide, tetapi karena ketiadaan oposisi dan kelelahan institusi.
Pemimpin yang enggan menyerahkan tongkat estafet sejatinya telah kehilangan keberanian untuk diuji oleh sejarah. Ia memilih kekekalan semu di atas dinamika yang sehat.
Meniru Soekarno?
Secara hubungan darah, Megawati adalah putri Presiden Soekarno yang juga proklamator. Ia anak biologis Soekarno. Tanpa harus melupakan jasa-jasa besarnya untuk bangsa Indonesia, hasrat berkuasa seumur hidup Soekarno terpatahkan oleh gerakan "kudeta tersamarkan" yang dilakukan oleh Soeharto. Ironisnya dengan berbagai dalih terutama mengakali satu pasal dalam konstitusi, Soeharto pun ingin berkuasa seumur hidupnya, hanya hasrat ini digagalkan oleh gerakan mahasiswa reformasi yang berujung pada keterpaksaan "melengserkan diri" cara Soeharto di tahun 1997.
Tetapi itu dalam konteks kenegaraan sebagai pemimpin nasional? Bagaimana jika hasrat berkuasa ketua partai untuk menjadi ketua umum partai seumur hidup ada pada partai politik? Sama berbahayanya, sebab sebuah partai sejatinya merupakan bayang-bayang Pemerintah. Partai adalah benih pemerintah yang hanya diatur oleh peraturan AD/ART yang tentu saja dapat diubah sewaktu-waktu oleh ketua umum partai yang berkuasa.
Apakah langkah Megawati meniru sang ayah, Soekarno tadi? Memang sulit melepaskan bayang-bayang sejarah itu. Pada tahun 1963, Soekarno memang ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup melalui MPRS. Walau kala itu Soekarno sedang melawan dominasi kekuatan politik tertentu dan sedang membangun narasi ideologis sendiri (Nasakom), keputusan itu tetap mencederai prinsip demokrasi yang mensyaratkan adanya mekanisme penggantian pemimpin secara reguler.
Bila Megawati hari ini menapaki jejak itu, sadar atau tidak, ia sedang mengulang bab sejarah yang pernah membawa negeri ini pada kediktatoran dan stagnasi politik.
Namun perlu juga dicatat bahwa dalam sistem demokrasi modern, legitimasi tak hanya dibentuk oleh aturan, tapi juga oleh konsensus. Jika PDIP sebagai institusi dan kader-kadernya membiarkan atau bahkan mendukung keabadian satu tokoh, maka masalah ini tak lagi personal, tetapi struktural. Demokrasi internal partai yang lemah pada akhirnya akan merusak demokrasi eksternal negara.
Oleh karena itu, harus dipertanyakan lebih jauh apakah demokrasi kita hanya berhenti pada pemilu, ataukah kita bersedia menyelami prinsip-prinsip dasarnya? Karena jika tidak, maka yang tersisa hanyalah nama tanpa makna. Dan PDIP, partai yang mengusung nama "demokrasi", bisa menjadi contoh tragis tentang bagaimana demokrasi bisa terkikis justru oleh mereka yang mengaku menjaganya.
Sebelum Terlambat
Apa yang harus dilakukan untuk melawan godaan menjadi ketua umum partai seumur hidup?
Salah satu kunci utamanya adalah reformasi internal di tubuh partai itu sendiri dan merujuk pada Megawati adalah PDIP. Sebaiknya PDIP mengadopsi "constitutional democracy" secara internal, dengan pembatasan masa jabatan ketua umum, pemilihan yang transparan, dan evaluasi rutin oleh kader yang diatur dalam AD/ART yang kuat. Bangunlah struktur dewan partai yang bisa menandingi dominasi ketua umum, seperti "board of trustees" atau "council of elders" yang independen.
Di luar itu pendidikan politik kader juga tidak kalah penting. PDIP memiliki sekolah partai yang mapan, diharapkan justru dari sekolah partai ini lahir kader partai berpikir kritis. Sekolah partai bukan diadakan malah untuk melegitimasi dan melanggengkan jabatan ketua umum partai.
Intinya, kader perlu dididik untuk berpikir kritis dan tak mengkultuskan individu. Pendidikan ideologis tak boleh berubah menjadi pendidikan loyalitas buta.
Keinginan menjadi ketua umum partai seumur hidup, pada akhirnya, adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip dasar demokrasi, bahwa kekuasaan adalah amanah yang bersifat sementara, bukan warisan yang diturunkan atau dipertahankan tanpa batas.
Bila PDIP, atau partai manapun di negeri ini, membiarkan seorang pemimpin berada di puncak kekuasaan tanpa batas waktu, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan akar demokrasi tercabut—perlahan namun pasti. Negara yang sedang dibangun akan layu sebelum berkembang dengan sendirinya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews