Negarawan atau Politisi, Dilema Jokowi di Ujung Kepemimpinan

Indonesia tak butuh satu lagi ketua partai. Ia butuh penjaga moral demokrasi. Dan mungkin hanya Jokowi yang bisa—dan seharusnya—mengambil peran itu.

Jumat, 16 Mei 2025 | 09:55 WIB
0
37
Negarawan atau Politisi, Dilema Jokowi di Ujung Kepemimpinan
Presiden Jokowi dan kader PSI (Foto: kompas.com)

Setelah dua periode memimpin Indonesia, Joko Widodo berada di persimpangan jalan sejarah. Di satu sisi, ia memiliki peluang langka untuk dikenang sebagai negarawan sejati—pemimpin yang melampaui partai dan kepentingan jangka pendek, demi warisan moral dan institusional bangsa.

Namun di sisi lain, kabar dan spekulasi mengenai keterlibatan aktifnya dalam Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai ketua umum potensial menyiratkan sebuah paradoks: akankah Jokowi turun pangkat dari negarawan menjadi sekadar politisi?

Jika Jokowi benar-benar mengambil alih kepemimpinan PSI, maka ia akan mengikuti jejak presiden-presiden sebelumnya yang kembali terlibat aktif dalam politik praktis pasca-kekuasaan. Megawati Soekarnoputri tetap memimpin PDIP hingga kini. Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya. Bahkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), meski digulingkan, tetap aktif dalam wacana politik nasional melalui PKB dan media.

Namun, apakah mengikuti preseden berarti itu pilihan yang tepat? Apakah masa lalu Indonesia dalam hal ini patut diteladani atau justru dikoreksi?

Negara yang matang butuh figur yang naik satu tingkat di atas partai, bahkan di atas kompetisi politik. Di banyak negara, mantan kepala negara mengambil peran sebagai jembatan moral, bukan juru kampanye. Nelson Mandela tidak membentuk partai baru atau kembali memimpin; ia membiarkan demokrasi tumbuh tanpa bayang-bayang kekuasaan lamanya.

Jika Jokowi masuk PSI, publik akan sulit memisahkan kepentingan kekuasaan dengan prinsip-prinsip kenegarawanan yang seharusnya ia jaga.

Jokowi akan kehilangan posisi transendentalnya sebagai perekat politik nasional, dan menjadi bagian dari fragmentasi yang justru sering ia keluhkan.

PSI memiliki citra sebagai partai muda, progresif, dan antikorupsi. Namun dalam Pemilu 2024, PSI gagal masuk ke Senayan dengan hanya meraih sekitar 2,8% suara, di bawah ambang batas parlemen 4% (KPU, 2024). Dengan Jokowi sebagai ketua umum, PSI bisa mendapatkan suntikan elektoral besar. Namun apakah ini langkah etis atau hanya pragmatis?

Data survei Litbang Kompas (Maret 2024) menunjukkan bahwa 62% publik menginginkan Jokowi tetap aktif di ruang publik, tetapi hanya 28% yang setuju jika ia kembali masuk ke dalam partai politik. Artinya, kepercayaan terhadap Jokowi tidak otomatis berarti publik ingin ia kembali menjadi "politisi".

Risiko Polarisasi Baru

Keterlibatan aktif Jokowi di PSI berpotensi menciptakan polarisasi baru. Sudah ada kesan bahwa Jokowi mulai "mengambil alih" PSI sebagai kendaraan politik keluarganya, apalagi dengan anaknya, Kaesang Pangarep, yang kini memimpin partai tersebut. Alih-alih memperkuat demokrasi, langkah ini bisa dilihat sebagai bentuk dinasti politik terselubung.

Filsuf Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa "politik yang baik membutuhkan jarak dari kekuasaan yang telah usai." Tanpa jarak itu, demokrasi tak mendapat ruang untuk tumbuh secara sehat. Jokowi yang terus-menerus aktif dalam intrik politik partai akan menyumbat sirkulasi elite dan merusak keniscayaan regenerasi.

Menjadi negarawan adalah puncak karier politik. Itu adalah status yang hanya diberikan kepada mereka yang mampu menahan godaan kekuasaan setelah kekuasaan itu selesai. Jika Jokowi terjun lagi ke politik praktis dengan memimpin PSI, ia memang tetap berperan dalam sejarah, tetapi sebagai politisi yang tak bisa melepaskan masa lalu, bukan sebagai negarawan yang memimpin dari belakang layar.

Indonesia tak butuh satu lagi ketua partai. Ia butuh penjaga moral demokrasi. Dan mungkin hanya Jokowi yang bisa—dan seharusnya—mengambil peran itu.

***