Meme adalah bahasa zaman ini. Ia bukan hanya candaan, tapi komentar sosial. Pemerintah yang matang tidak mudah tersulut oleh simbol; ia merespons dengan kebijakan, bukan kemarahan.
Sebuah gambar dapat lebih lantang dari sejuta kata. Itulah barangkali yang terjadi ketika sebuah meme digital yang menggambarkan mantan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto sedang berciuman beredar dan mengguncang ruang publik.
Gambar itu bukan hanya buah kreativitas visual, tetapi juga pertaruhan etis, politis, bahkan ideologis, yang tak bisa dibaca sebatas lelucon mahasiswa. Terlebih, jika karya itu datang dari seorang mahasiswi perguruan tinggi terkemuka, sebutlah SSS dari ITB, yang institusinya sejak era kolonial dikenal sebagai kawah candradimuka kaum intelektual.
Namun, sebelum buru-buru melabeli karya tersebut sebagai “penghinaan terhadap lambang negara” atau “ekspresi seni,” kita perlu mengambil jarak dan bertanya: apa makna sebenarnya dari meme tersebut, bagaimana pemerintah seharusnya bersikap, dan apakah etis tindakan SSS ini dalam kerangka demokrasi dan kebebasan berekspresi?
Pemerintah, dalam menghadapi karya yang menyentuh simbol kekuasaan, semestinya berhati-hati agar tidak terjebak dalam reaksi yang berlebihan. Memang, undang-undang kita, seperti UU ITE dan KUHP baru, memberikan ruang untuk menindak konten digital yang dianggap melecehkan martabat pejabat publik. Namun hukum, dalam negara demokratis, bukan alat balas dendam simbolik. Ia harus menjadi pagar, bukan cambuk.
Langkah terbaik yang bisa diambil adalah membuka ruang dialog, bukan sekadar tindakan represif. Jika negara langsung merespons dengan kriminalisasi, maka kita justru menjerumuskan demokrasi ke dalam lubang otoritarianisme digital, di mana kritik dan satire dianggap makar.
Kita harus sadar, meme itu lahir dari kegelisahan publik. Ia adalah bentuk tafsir liar dari politik kekuasaan yang—secara faktual—memperlihatkan kedekatan antara dua tokoh yang dulunya berseberangan. Gambar “ciuman” bukan sekadar lelucon seksual, tetapi simbol dari “pernikahan politik” yang ambigu di mata sebagian rakyat. Apakah rakyat tidak boleh bertanya dengan cara mereka sendiri?
Etika dalam Ekspresi, Antara Kebebasan dan Kepantasan
Secara etis, karya mahasiswi SSS memang problematik. Bukan karena ia menampilkan dua tokoh itu dalam pose yang dianggap "tidak pantas", tetapi karena ia menimbulkan kegaduhan tanpa ruang penjelasan. Seni provokatif bisa sah secara moral, asalkan ia menyisakan ruang untuk tafsir dan tanggung jawab.
SSS adalah bagian dari kaum intelektual muda. Tindakan provokatifnya seharusnya tidak berhenti di titik viral, tapi berkembang menjadi diskursus publik. Jika ia bisa berdiri di hadapan publik dan menjelaskan motif artistiknya—sebagai kritik, satire, atau ekspresi—maka ia memberi bobot pada kebebasannya. Jika tidak, maka ia berisiko terjebak dalam sensasionalisme kosong.
Dua tokoh ini, Jokowi dan Prabowo, bukan hanya simbol negara. Mereka adalah lambang dari dua kutub sejarah politik Indonesia pasca-Reformasi: mantan rival yang kini menjadi patron dan penerus. Ketika keduanya berpelukan, bahkan bersatu dalam kabinet, sebagian publik melihat itu sebagai rekonsiliasi; sebagian lain menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap demokrasi elektoral.
Meme “ciuman” itu bisa dibaca sebagai sindiran terhadap apa yang oleh sebagian rakyat dianggap sebagai “politik akal-akalan”. Bahwa ideologi bisa dibengkokkan demi kekuasaan. Dalam konteks ini, meme tersebut bukan hanya soal Jokowi dan Prabowo, tapi tentang kita semua: bagaimana rakyat membaca elite, bagaimana elite mempermainkan narasi, dan bagaimana mahasiswa mencoba menabrak tembok dengan gambar.
Apakah meme ini upaya mengadu domba? Belum tentu. Yang lebih masuk akal adalah bahwa meme ini lahir dari kebingungan dan kegelisahan. Ia mencerminkan keretakan antara harapan rakyat dan praktik elite. Tetapi celah semacam ini bisa saja dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang ingin merusak harmoni pasca-Pemilu.
Pemerintah, elite politik, dan rakyat perlu lebih arif: bukan dengan menyalahkan gambar, tetapi dengan membaca pesan di baliknya. Jika meme itu terasa menyakitkan, mungkin karena ada kebenaran kecil yang sedang disorot: bahwa dalam politik, cinta dan pengkhianatan kadang hanya dipisahkan oleh garis yang tipis.
Meme adalah bahasa zaman ini. Ia bukan hanya candaan, tapi komentar sosial. Pemerintah yang matang tidak mudah tersulut oleh simbol; ia merespons dengan kebijakan, bukan kemarahan.
Dan bagi mahasiswa, kebebasan bukanlah hak tanpa batas. Ia adalah medan ujian moral, di mana setiap karya adalah refleksi dari tanggung jawab. Jika benar SSS ingin menyampaikan kritik, maka ia juga harus bersedia membuka ruang diskusi—dan jika perlu, meminta maaf jika karyanya dirasa menyakiti tanpa makna.
Demokrasi kita sedang belajar dewasa. Jangan biarkan meme menjadi alat penghancur; jadikan ia cermin, tempat kita bercermin bersama.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews