Oleh: Bara Winatha
Di tengah dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terus berubah, Indonesia sebagai negara dengan keragaman agama, suku, dan budaya menghadapi tantangan serius berupa menyebarnya paham intoleran dan radikal. Fenomena ini mengancam stabilitas sosial dan bisa menggoyahkan fondasi kebangsaan yang telah dibangun sejak kemerdekaan. Kehadiran tokoh agama di tengah masyarakat memegang peran sentral sebagai garda terdepan dalam mencegah muncul dan berkembangnya gerakan intoleransi.
Tokoh agama memiliki legitimasi moral dan kultural yang tinggi di mata umat. Tokoh agama seringkali berperan sebagai pembimbing spiritual dan penyejuk sosial yang mampu meredam potensi konflik. Maka dari itu, partisipasi aktif para tokoh agama dalam menangkal radikalisme dan intoleransi sangat dibutuhkan demi menjaga kohesi sosial dan persatuan nasional.
Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Romo Muhammad Syafi’i, mengatakan bahwa kementeriannya sedang menyusun rencana strategis yang melibatkan pembentukan empat Direktorat Jenderal (Ditjen) baru. Di antara rencana tersebut, pembentukan Ditjen Kontra Radikalisme menjadi sorotan utama sebagai upaya konkret dalam mengantisipasi gerakan-gerakan keagamaan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Pembentukan Ditjen Kontra Radikalisme merupakan bagian dari langkah terstruktur Kementerian Agama untuk memperkuat ketahanan ideologi bangsa dari sisi pendidikan dan keagamaan. Selain itu, kementerian juga akan melakukan transformasi besar terhadap sistem pendidikan madrasah melalui tiga model utama, yakni Madrasah PK (dengan fokus kitab kuning), Madrasah IC (cendekiawan), dan Madrasah Kejuruan. Dengan demikian, pendidikan keagamaan dapat lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman sekaligus memperkuat daya tahan generasi muda dari infiltrasi paham-paham intoleran.
Upaya lain yang juga tengah didorong oleh Kemenag adalah pembukaan program studi baru yang menyasar penguatan ekosistem keagamaan dan sosial, seperti Manajemen Pesantren dan Industri Halal. Langkah ini diharapkan mampu membentuk generasi yang mampu bersaing secara profesional dalam industri global, tanpa kehilangan akar nilai-nilai kebangsaan.
Pengamat politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia, Boni Hargens, mengatakan bahwa negara perlu memaksimalkan peran organisasi-organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam menanggulangi gerakan radikalisme dan intoleransi. Menurutnya, kedua organisasi tersebut memiliki sejarah panjang dalam menjaga integrasi sosial dan kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Boni menilai bahwa pemberian dana khusus untuk kegiatan ormas-ormas keagamaan dalam bidang pendidikan kebangsaan dan penguatan nilai-nilai Pancasila merupakan langkah yang tepat. Ini bukan soal intervensi negara terhadap agama, melainkan penguatan peran masyarakat sipil dalam mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa. Organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah memiliki posisi strategis sebagai penyaring informasi dan pengendali opini publik di kalangan umat. Dengan keterlibatan aktif mereka, masyarakat akan lebih terlindungi dari narasi provokatif dan ajakan-ajakan yang menyimpang dari cita-cita nasional.
Sementara itu, di tingkat daerah, upaya kolaboratif juga terus diperkuat oleh aparat keamanan dan tokoh masyarakat. Salah satu contoh inspiratif datang dari Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketua Aliansi Masyarakat Garut Anti Radikalisme dan Intoleransi (ALMAGARI), KH. Abdul Mujib, mengatakan bahwa sinergi antara tokoh agama, pemerintah daerah, dan masyarakat sangat penting dalam membentengi wilayah dari infiltrasi paham-paham radikal.
Suasana aman dan damai yang telah tercipta di bawah kepemimpinan saat ini harus dijaga dari potensi gangguan yang bersumber dari ajaran-ajaran intoleran. Menjaga ketenteraman bukan semata tanggung jawab aparat keamanan, melainkan tugas bersama seluruh elemen bangsa. Maka dari itu, kerja sama lintas sektor sangat diperlukan dalam menciptakan ketahanan sosial dan ideologis yang kokoh.
Mujib juga menyoroti pentingnya pelibatan generasi muda dalam berbagai program literasi kebangsaan. Menurutnya, kalangan muda adalah kelompok paling rentan terpapar paham menyimpang, terutama melalui media sosial yang kerap menjadi ruang penyebaran narasi ekstrem. Dengan membekali mereka dengan pemahaman kebangsaan yang utuh dan wawasan keagamaan yang moderat, bangsa ini bisa menciptakan benteng sosial yang kuat.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Polri juga menegaskan pentingnya kesadaran kolektif dalam memutus rantai penyebaran radikalisme. AKP Fahad Hafidulhaq menyebut bahwa masyarakat perlu lebih peka terhadap potensi penyebaran ideologi menyimpang di lingkungan sekitar. Edukasi dan sosialisasi harus terus digencarkan agar tidak ada ruang tumbuh bagi ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.
Gerakan bersama yang melibatkan tokoh agama, ormas keagamaan, institusi pendidikan, dan aparat negara merupakan formula yang efektif dalam menjaga Indonesia dari bahaya intoleransi. Pemerintah dan masyarakat harus saling mendukung dan tidak saling menunggu. Ketika tokoh agama hadir dengan keteladanan dan konsistensi dalam menyuarakan nilai-nilai perdamaian, umat akan lebih mudah diarahkan menuju kehidupan sosial yang harmonis.
Mencegah gerakan intoleransi merupakan proses jangka panjang yang memerlukan kerja kolektif dan kesadaran nasional. Dari pusat hingga daerah, dari sekolah hingga rumah ibadah, narasi moderasi beragama dan cinta tanah air harus digaungkan secara konsisten. Tokoh agama akan menjadi mata rantai penting yang menghubungkan nilai spiritual dengan1 semangat kebangsaan. Dengan ini, Indonesia akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
*)Penulis merupakan pengamat sosial dan kemasyarakatan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews