Pemudik Gadungan [8] "Mlipir" ke Omah Minggir

Faktor yang membuat kami suka adalah makanan, suasana kampung, dan keramahan Wenra dan ibunya. Dan kucing kami juga sepertinya paling menyenangi Omah Minggir ini.

Senin, 17 Juni 2019 | 10:26 WIB
0
948
Pemudik Gadungan [8] "Mlipir" ke Omah Minggir
Bercengkrama dengan kawan lama (Foto: Dokumentasi pribadi)

Laporan Hari Kedelapan, 6 Juni 2019

"The ship is safest when it is in port, but that is not what ships were built for." (Paulo Coelho, "Pilgrimage")

"Orang Jakarta tiap mudik ke Yogya, pasti sekalian cari tanah," kata Wenra, pemilik "Omah Minggir", berceletuk lalu tersenyum saat mengobrol dengan saya saat ditanya berapa dulu harga membeli tanah yang kini jadi lokasi Omah Minggir ini.

Pria asal Yogyakarta namun bekerja di Semarang ini memang sengaja membeli tanah di Kecamatan Minggir, Sleman, ini untuk memuaskan hasratnya membangun rumah lawasan atau vintage. "Tapi ini juga kurang minggir," katanya tertawa. Minggir, sesuai namanya, adalah kecamatan paling pinggir barat di Sleman, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulon Progo.

Di atas tanah yang dibelinya beberapa tahun lalu itu, dia bangun sebuah dapur dan pasang sebuah joglo lawasan yang kini dijadikan warung kopi. Warga sekitarnya juga kadang memanfaatkannya untuk pertemuan warga. Kemudian dia membangun dua kamar yang biasa disewakan bagi yang berminat. Tentu, bahan baku dua kamar ini pun sebagian besar barang lawasan. Saya menyewa salah satunya.

Warungnya menyajikan beragam kopi dengan tiga teknik seduhan: tubruk, V60, dan Vietnam Drip. Kopinya macam-macam, ada yang Bajawa, Gayo, Lintong dan Kopi Aroma Bandung. Kemudian juga ada minuman teh, jamu khas Yogya, dan tentunya, sejumlah menu makanan. Saat saya, istri, dan Gie tiba pada hari Lebaran kedua itu, Wenra sudah menawarkan kami memakan lontong opor.

Namun, kami lebih tertarik dengan menu yang ditulis di papan: belut geprek dan wader geprek.

Tak lupa, kami memesan kopi; saya pesan arabika Gayo, sementara istri saya memesan Lintong. Cukup setengah jam menunggu, pesanan kami datang. Makanan dan minumannya luar biasa (soal ini, saya akan tulis di hari berikutnya).

Saat makan itulah kami mengobrol. Ternyata saya dan Wenra sudah pernah ketemu sebelumnya. Wenra sehari-hari bekerja sebagai fotografer Kompas. Beberapa tahun lalu, persis 9 Juni 2016 (dan tulisan ini dipublikasikan 9 Juni 2019), dia pernah memenangi lomba yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen dan saya saat itu selaku Sekretaris Jenderal AJI menyerahkan hadiah. Oalah, dunia ini terlalu sempit bagi para jurnalis.

Omah Minggir berdiri di posisi hoek, nyaris dikelilingi sawah. Karena orang-orang yang biasa membantunya sedang libur Lebaran, Wenra ditolong ibunya yang sehari-hari tinggal di Kota Yogyakarta untuk membantunya melayani tamunya dan dalam hal ini cuma kami sekeluarga. Kami berasa memiliki keluarga baru selama menginap di sini.

Hari kedua kami menginap, pagi-pagi kami bangun mendengar dapur yang riuh. Saat keluar kamar, saya melihat nasi putih mengepul. Saya sempat melirik ke arah meja besar di mana makanan dipajang, rupanya sayur lodeh, ayam goreng dan oseng tempe sudah menunggu dimakan. Saya dengan ikhlas melupakan sarapan buah demi memakan sarapan ndeso ini. Dan kami pun bermalas-malasan di warung sampai matahari sudah tinggi. Tentu tak lupa, kami berfoto-foto sepuasnya.

Baca Juga: Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"

Omah Minggir menjadi persinggahan terakhir kami di kisah Pemudik Gadungan ke Semarang dan Yogyakarta ini. Di Semarang, kami menginap di Hotel Puri Garden yang murah, lega, serta ramah hewan peliharaan. Di Yogya, kami memulai tinggal di Lorong Homestay di Nitiprayan, Nextdoor di Mergangsan, dan terakhir di Omah Minggir ini. Mana yang jadi favorit kami?

Sebelum kisah ini ditulis, saya dan istri sepakat menyebut Omah Minggir sebagai yang paling kami sukai. Nextdoor punya kolam renang, posisinya strategis namun kemacetan dan posisi dalam gang jadi poin minusnya. Lorong menarik sekali secara desain dan posisinya juga mudah dijangkau. Sementara Omah Minggir, tanpa pendingin ruangan, tanpa air panas, tanpa kolam renang, dan paling "minggir" namun justru paling kami sukai. Toh, bukankah Steve Jobs sudah berfatwa, simplicity is the ultimate sophistication.

Faktor yang membuat kami suka adalah makanan, suasana kampung, dan keramahan Wenra dan ibunya. Dan kucing kami juga sepertinya paling menyenangi Omah Minggir ini. Dia memiliki beberapa posisi duduk favorit yang menandakan kenyamanannya. Salah satunya, dia duduk di bawah kandang burung luvbird. Entah dia suka atau menanti waktu bisa mencakarnya.

Namun anak kami yang tidak berbulu, Gie, memberikan suara untuk Nextdoor, penginapan yang berlokasi di pusat kota.

"Apa karena kolam renangnya?" saya tanya.

"Karena sarapan Indomie-nya pasti," komentar ibunya.

Gie tertawa lepas. "Indomie, seleraku."

#Mudik2019 #PemudikGadungan #Yogya #Semarang

***

Tulisan sebelumnya: Pemudik Gadungan [7] Epik Ramayana Abadikan Kisah tentang Keragaman Genetika