Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"

Saya menyukai kesederhanaan menu ini, namun istri saya sepertinya kurang suka. Biaya kerusakan untuk dua makanan ini adalah Rp26 ribu saja alias Rp13 ribu per porsi.

Jumat, 31 Mei 2019 | 17:39 WIB
0
987
Pemudik Gadungan [1] BBM Menipis, Jantungpun "Empot-empotan"
Perjalanan mudik (Foto: Arfi Bambani)

Tahun ini, kami sekeluarga memilih mudik ke kampung orang, bukan kampung sendiri. Kami memilih Yogyakarta. Selain suka dengan suasana kotanya serta pilihan hotel yang banyak, saya ingin menyempatkan diri menemui seorang kawan yang sudah lama tak bersua. Selain tentunya menemui kawan-kawan lain saat kuliah atau beraktivitas di Yogya dulu.

Kami memutuskan menempuh jalan darat dengan membawa kendaraan sendiri ke Yogya. Mobil sudah berkali-kali dibawa ke bengkel sebelum berangkat untuk dipastikan kesiapannya. Awalnya kami mendesain berangkat tanggal 2 Juni, namun belakangan baru sadar, 30 Mei 2019 yang jatuh pada hari Kamis adalah kalender merah, sisa 'Harpitnas' di Jumat 31 Mei 2019.

Jadilah kami putuskan berangkat 30 Mei, Gie kita mintakan izin tak sekolah pada 31 Mei karena pada dasarnya juga hanya bermain-main di sekolah setelah ujian kenaikan kelas sudah kelar seminggu sebelumnya.

Namun ada persiapan tambahan yang harus kami lakukan kali ini, mencari hotel yang ramah hewan peliharaan. Istri saya tak tega meninggalkan Georgia, kucing persia anak saya, di penitipan hewan. Jadilah, saya sebagai chief digital rumah tangga, harus mencari dengan teliti penginapan-penginapan ramah hewan peliharaan. Sampai H-5, barulah tuntas booking 4 penginapan berbeda di Semarang dan Yogyakarta.

Bagaimana perjalanan kami? Saya akan buat cerita berseri hari per hari.

Hari Pertama, 30 Mei 2019

Setelah makan sahur, usai Subuh kami sekeluarga menyiapkan kendaraan untuk mudik. Kami bawa tiga koper, sesuai jumlah kami yang bertiga beranak. Untuk si kucing, tak lupa saya membawa kotak buang air yang diisi pasir, makanan kering dan makanan basahnya untuk selama perjalanan. Kandang portabel dan satu tas perlengkapannya juga dibawa, ah tak kalah dengan para manusia.

Ternyata persiapan ini juga makan waktu. Kami baru berangkat dari rumah pukul 06.15 WIB dan itu pun sebelum melesat masuk tol, harus mengisi tanki BBM dulu sampai penuh. Dan sekitar 06.40, kami sudah memasuki Tol Jakarta-Cikampek masuk dari Pintu Tol Pondok Gede.

Pagi saat baru masuk tol, saya cek Google Map, pasang tujuan Semarang. Hasilnya, butuh waktu nyaris 7 jam ke Semarang meski beberapa ruas jalan sudah merah dan oranye. Kami pun girang membayangkan bisa tiba di Semarang sore hari.

Memasuki Bekasi, jalan tol mulai tersendat. Perjalanan padat merayap bahkan kerap parkir sehingga pukul 10.30, kami baru bisa mencapai rest area KM 57 Tol Jakarta-Cikampek. Kami memilih istirahat satu jam, sementara kami tetap memutuskan puasa. Menjelang pukul 12.00, jalan lagi menuju Jalan Tol Cipali. Pukul 14.30, barulah kami melaju di Jalan Tol Cipali yang kedua arahnya dijadikan satu arah menuju Palimanan. Kendaraan kami pacu kencang.

Demi mengejar cepat tiba di Semarang, pukul 15.30, kami berhenti di sebuah rest area membeli buka puasa saat di jalan nanti. Kami pun berbuka di sekitar Brebes menjelang kebijakan one way diakhiri.

Baca Juga: Pemerintah Optimal Jaga Ketersediaan Pangan dan Kelancaran Mudik

Namun mimpi buruk terjadi lagi. Kemacetan di Tol Jakarta-Cikampek bergeser pula ke Tol Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang dan akhirnya Pemalang-Semarang. Kendaraan kami sepertinya terjebak di rombongan besar pemudik. Kemacetan membuat bahan bakar lebih boros sehingga nyaris terlambat bagi kami menyadari penanda bahan bakar tinggal dua batang. Pendingin mobil saya matikan biar hemat BBM. Saya buka Google Map, mengetikkan kata 'SPBU'.

Ketemu "Kios Pertamina Siaga" terdekat di sebuah rest area beberapa kilometer di depan kami. Dan voila, rest area ini ditutup karena membeludak dan polisi pun menyuruh kami terus maju. Google Map dibuka lagi, beberapa kilometer di depan, ada tulisan SPBU lagi. Namun lagi-lagi ditutup. Saya bertanya kepada polisi di mana bisa mengisi BBM. Dia menjawab, "Keluar dulu di Pintu Tol Pemalang," ujarnya.

Kami langsung panik membayangkan kehabisan bahan bakar sebelum menemukan SPBU. Saya mencoba menemukan Pintu Tol Pemalang di Google Map, lalu mencari SPBU terdekat dari pintu tol. Total, kami butuh 36 kilometer lagi menuju ke SPBU tersebut. Meteran bahan bakar di mobil menyebutkan, kami masih memiliki stok BBM untuk 56 kilometer.

Kendaraan kami pacu sestabil mungkin dan pendingin tetap dimatikan agar hemat bahan bakar. Pukul 21, barulah kami mendarat di SPBU di Jalur Pantura lama. Kejadian ini membuat kami belajar, jika di perjalanan jauh begini, jika tanki BBM sudah separuh, begitu bertemu SPBU, langsung isi penuh lagi.

Sempat berencana makan dulu di warung yang menjual pecak belut di Pemalang namun ternyata jam segitu, sudah pada tutup. Untunglah istri saya sudah lengkap dengan cemilan di mobil untuk selama perjalanan. Mobil kembali kami arahkan ke Jalan Tol Pemalang-Semarang.

Kami sempat istirahat di bahu jalan tol karena rest area yang masih jarang di ruas tol ini. Pukul 00.30, barulah kami mencapai Semarang. Nyaris Rp400 ribu yang kami bayarkan untuk tol dari Jakarta sampai Semarang.

Karena sudah menjelang sahur, kami memilih tidak check in di hotel dulu, melainkan langsung menuju Warung Gudeg Mbak Tum di Pedurungan yang direkomendasikan beberapa teman dan diulas di media. Saya memesan Nasi Gudeg Koyor atau tunjang dalam Bahasa Minang. Istri memesan Nasi Gudeg Ayam Goreng sementara anak saya memilih makan nasi dengan ayam goreng saja. Sayang menu lontong opornya yang terkenal sudah habis saat saya datang.

Baca Juga: Prioritaskan Kesehatan Diri dan Kendaraan, Mudik Dijamin Aman dan Nyaman

Saya merasakan gudeg Semarang yang pucat ini berbeda sekali dengan Gudeg Yogya yang nyaris kehitaman. Rasa gudeg Semarang lebih gurih dan tidak semanis gudeg Yogya. Saya sempat mau tambah namun istri menyarankan kita mencoba makanan sahur lain di Semarang. Total kerusakan yang kami buat berikut minumannya adalah Rp88 ribu.

Usai dari Mbak Tum, kami melaju ke Angkringan Pak Gik yang tak jauh dari kawasan Simpang Lima. Sayang saat di sana, makanannya sudah hampir habis, sehingga kami memutuskan pergi lagi dan pilihan penggantinya adalah Nasi Ayam Bu Sami di depan Matahari, Simpang Lima. Nasi Ayam Bu Sami adalah nasi berisi krecek, sayur labu, separuh telur bacem dan ayam suwir.

Saya menyukai kesederhanaan menu ini, namun istri saya sepertinya kurang suka. Biaya kerusakan untuk dua makanan ini adalah Rp26 ribu saja alias Rp13 ribu per porsi.

Nah, usai makan early sahur ini, kami baru menuju Hotel Puri Garden, hotel ramah hewan peliharaan yang kami pilih. Kami mengambil kamar yang paling standar yang di luar dugaan, lumayan lega, memiliki jendela yang besar, sehingga kucing kami pun berlompatan riang ke sana ke mari.

Dan begitulah catatan hari pertama kami diakhiri. Tunggu petualangan kami di hari-hari berikutnya.

(Bersambung)

***