Idola Politik

Kadang kita nggak hafal siapa pemimpinnya, tapi tau atau merasakan bahwa negara itu maju, rakyatnya makmur sejahtera secara berkelanjutan. Negeri aman minim gonjang-ganjing.

Rabu, 5 Februari 2020 | 18:41 WIB
0
497
Idola Politik
Anies Baswedan (Foto: fajar.co.id)

Barusan saya baca status seorang seleb facebook yang berdomisili di Semarang. Biasanya Mbak seleb ini suka nge-vlog pakai daster, lengkap dengan logat Semarangnya yang medok. Saya kagum dengan kreativitas dan kecerdasannya, meski nggak sampai membuat saya jadi follower-nya.

Di statusnya beliau curcol tentang betapa Jakarta sekarang beda dengan waktu Ahok jadi gubernur. Menurutnya, Jakarta zaman Ahok lebih bagus dan tertib. Gitulah intinya.

Pelajaran yang bisa saya ambil dari situ: masyarakat kita (termasuk saya) memang masih mengidentikkan kesuksesan / kegagalan suatu daerah dengan sosok pemimpinnya. Ya wajar aja, sih.

Setiap orang punya hak untuk berpendapat, termasuk pendapat di bidang politik. Bagus malah, supaya semua orang termasuk emak-emak pada melek politik.

Saya bukan warga Jakarta. Cuma tiap tahun aja berkesempatan mudik dan jadi turis di sana. Menurut saya sih, Jakarta masih tetap macet seperti sebelum-sebelumnya. Soal banjir, alhamdulillah saya nggak pernah mengalami banjir Jakarta. Hanya sebagai pengamat berita online dan medsos saja. Saya nggak merasa kompeten bahas soal ini.

Cuma yang saya lihat sejauh ini saya merasakan Jakarta lebih indah, teratur, dan relatif lebih bersih. Sarana dan prasarana umum lebih baik. Saya sempat merasakan naik MRT dan Busway tahun lalu, dan memang nyaman. Trotoar di jalan-jalan protokol lebih lebar, lebih ramah untuk pejalan kaki.

Saya termasuk salah satu follower Pak Anies Baswedan dan sedikit banyak tau berbagai sepak terjang beliau yang jarang diliput media. Inilah bagusnya medsos. Nggak ada media mainstream yang memberitakan, ya bikin channel sendiri. Sejauh ini Pak Anies, menurut saya, membuktikan kualitasnya sebagai pemimpin yang mumpuni. Iya, beliau tentu masih banyak kekurangan.

Memimpin kota sebesar Jakarta bukan segampang omongan netizen. Apalagi status Jakarta yang (masih) sebagai ibukota negara. Siapapun pemimpinnya, pasti akan jadi sasaran untuk dikuliti luar dalam, dicari-cari kesalahannya, dan dinafikan segala pencapaiannya.

Nah, soal pencapaian ini yang saya bersimpati dengan Pak Anies. Sejak beliau menjabat sebagai gubernur DKI tahun 2017, entah sudah berapa banyak prestasi diraih oleh beliau dan jajaran pemerintahannya. Prestasi-prestasi itu bukan cuma klaim, ya. Tapi memang terukur dengan berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri.

Yang menarik, Pemda DKI juga sering dapat penghargaan dari Kemendagri dan lembaga pemerintah lainnya. Yang artinya, Pak Anies dinilai oleh pemerintah yang sekarang (iya, pemerintahan Pak Jokowi) sudah berjalan di jalur yang tepat. Penghargaan-penghargaan begitu gak mungkin didapat dengan nyogok, kan, Gess.

Harusnya para pendukung Ahok, atau pendukung Jokowi, bisa objektif menilai ini. Bahwa Pak Anies bukan cuma lihai tata kata, tapi juga terbukti piawai masalah tata kota. Ndak percaya? Silakan kepoin akun Pak Anies, deh.

Kalau dengan sederet prestasi itu Pak Anies masih di-bully juga, ya memang nasib beliau sebagai Gubernur Indonesia. Beliau orangnya juga santuy, tuh, meski dihujat kayak apa juga. Meminjam istilah Pak Anies, seperti main badminton, kalau lawan melakukan smash, ya kita smash balik dengan cara yang cantik.

Ya memang banyak pastinya warga Jakarta yang nggak puas. Bayangkan satu gubernur mengatur dan melayani belasan juta warga. Jangan dibandingkan dengan perdana menteri Norwegia yang cuma ngatur orang lima juta sak negara. Mumetnya beda.

Tak ceritani, ya. Bahkan di negara semakmur Norwegia pun, ternyata ada juga warga yang berisik, protes tentang berbagai kebijakan pemerintah. Para oposan ini (baik partai maupun rakyat) melihat jauh ke depan. Bahwa negara kesejahteraan (welfare state) seperti Norwegia ini kalau dipimpin oleh PM seperti Erna Solberg akan membawa negara ke jurang kebangkrutan.

Mata uang Norwegia sudah beberapa waktu ini terus melemah, pengangguran meningkat, APBN melimpah tapi dirasakan nggak tepat sasaran, sistem kesehatan yang nggak cukup baik, dan banyak lagi. Jarene sih ngono. Saya sebagai pendatang di sini ya cuma jadi pengamat. Dan berusaha jadi warga taat hukum. Itu aja.

Balik ke masalah idola politik, sah-sah aja kita mengidolakan seorang politisi. Apakah itu pemimpin daerah, menteri, atau wakil rakyat.

Saya pribadi melihat beberapa pemimpin daerah cukup baik dan capable untuk memimpin daerah mereka. Gubernur Sumbar, gubernur Sumut, walikota Surabaya, dan masih banyak lagi (tolong kasih contoh, Gess).

Sebagai orang Surabaya saya merasakan sendiri bahwa cinta saya pada kota ini nggak pernah luntur. Dan sejak pemerintahan Bu Risma, Surabaya memang semakin cantik dan maju. Birokrasi lebih tertib, dan kotanya tetap nyaman meski puanas ngentang-ngentang. Menurut saya Bu Risma bagus kerjanya dan terbukti warga Surabaya memang mencintai beliau (meski saya jujur aja kurang sreg dengan gaya beliau yang sering mencak-mencak dan dipublikasikan. Jadi agak illfeel dan inget Ahok. Arek Suroboyo, ojok ngamuk karo aku, yo).

Beberapa politisi yang sepengamatan saya bagus / berpotensi bagus adalah Nadiem Makarim. Pemikirannya revolusioner. Visinya bahwa murid dan guru merdeka belajar, memangkas birokrasi, dan bahwa pendidikan nggak melulu harus mengagungkan gelar, saya setuju. Kita lihat seberapa jauh beliau bisa mewujudkan program-programnya untuk pendidikan Indonesia.

Untuk politisi lain, saya kok kebanyakan kurang sreg, ya. Yang langsung ada di benak saat ini adalah Pak Jokowi. Pendapat saya tentang beliau belum berubah. Sebagai pemimpin negara sebesar Indonesia, Pak Jokowi saya lihat nggak cukup kuat (yang kuat adalah orang-orang di sekitarnya yang jadi pendukung beliau). Sebagai petugas partai, kualitas beliau ya seperti itulah. Manut sama pimpinan partai. What can you expect?

Memang di zaman beliau pembangunan katanya lebih jor-joran. Masif. Tentu dengan dukungan sobat kental Indonesia yang saat ini lagi berjuang mengatasi virus corona.

Pak Jokowi juga selalu bilang bahwa beliau memerintah tanpa beban. Nothing to lose. Unfortunately, Pak Jokowi, it's the country that loses. Utang tambah banyak, hiks.

Beliau juga sepertinya mulai menunjukkan kecenderungan menciptakan dinasti politik seperti era Orba, dan bahkan di era Reformasi sekalipun (jadi ingat dinasti Ratu Atut). Politik di Asia dan negara-negara berkembang pada umumnya memang begitu, ya. Menjual figur, aji mumpung, menciptakan dinasti, melanggengkan kekuasaan.

Satu lagi "pencapaian" Pak Jokowi yang sepertinya sulit untuk dibantah siapapun - lovers maupun haters. Belum pernah rasanya rakyat Indonesia terbelah sedemikian rupa sampai gontok-gontokan tiada akhir. Mungkin beliau menjalankan politik bubur ayam: membelah penikmatnya ke dalam bubur diaduk / tidak diaduk.

Dan kedua kubu sama-sama militan.

Anyway, mengidolakan politisi itu sebetulnya berisiko. Nggak akan bertahan lama. Contoh paling mutakhir adalah Pak Prabowo.
Begitu haluan berbelok keluar jalur, seketika kita kecewa dan berhenti mengidolakan.

Namanya politik, cuma kepentingan yang abadi. Selain itu ya musiman bae.

Makanya, ingat pepatah lama: mencintai / tidak mencintai seseorang itu sedang-sedang saja. Jangan menggantungkan harapan setinggi langit pada sesosok idola, karena at some point kita bakal kecewa.

Politisi / pemimpin yang baik adalah dia yang bisa menciptakan sistem yang baik, bukan sekadar menjual ketokohan.

Baca Juga: Gaya Kepemimpinan Anies Baswedan Memang Beda, Itulah Risiko yang Harus Diterima?

Pemimpin yang hebat itu, meski dia sudah tak ada, sistem yang dibangunnya bisa bertahan dan langgeng.
Ada nggak sih, zaman sekarang pemimpin yang bisa membangun sistem tata negara yang bagus? Yang tidak harus bongkar pasang sepeninggalnya? Yang bukan hanya bertujuan megah-megahan dan memuaskan para pendukungnya?

Sepertinya cuma Muhammad Salallaahu 'alayhi wassalam yang bisa jadi rujukan politisi sejati, bahkan diakui oleh kalangan non-muslim, dan pengaruhnya lintas zaman dan batas-batas bangsa.

Namun Nabi Muhammad tentu tak ada bandingannya sampai kapanpun. Manusia paling mulia hingga akhir masa.

Anyway, di Indonesia mungkin ada PKS yang terbukti sukses menciptakan sistem kaderisasi. Tak peduli siapapun pemimpin partainya, sistem tetap jalan dengan baik. Btw saya bukan kader ya, hanya simpatisan sekaligus pemilih PKS pas Pemilu kemarin.

Di negara-negara maju (terutama di Eropa), sistem tata negaranya rata-rata sudah bagus dan sustainable. Kadang kita nggak hafal siapa pemimpinnya, tapi tau atau merasakan bahwa negara itu maju, rakyatnya makmur sejahtera secara berkelanjutan. Negeri aman minim gonjang-ganjing.

Semoga Indonesia pun bisa seperti itu. Biar bisa naik kelas, nggak jadi negara berflower terus. Biar rakyatnya, terutama netizen, nggak gelut melulu (eh yang ini kayaknya ndak mungkin, Gess).

Inti tulisan puanjaang ini, saya cuma merindu pemimpin yang mumpuni, amanah, dan dicintai seluruh rakyatnya.

Itu aja, sih. Saya yakin, siapapun idola politik kita, pasti banyak yang setuju tentang sosok pemimpin idaman itu.

***

PS. Tulisan ini dibuat tengah malam waktu Haugesund, Norwegia. Sekarang penulisnya ngantuk. Jadi mohon maaf kalau komentar kalian nggak langsung saya balas, ya.