Generasi Yang Beradaptasi Dengan Keutamaan Zaman Mereka Sendiri

Selasa, 3 Agustus 2021 | 15:12 WIB
0
191
Generasi  Yang Beradaptasi Dengan  Keutamaan  Zaman Mereka Sendiri
Generasi Yang Beradaptasi Dengan Keutamaan Zaman Mereka Sendiri

Hari itu,  istriku mengatakan ia   akan ke sekolah anak-anakku untuk mengambil rapot kenaikan kelas   mereka. Terus terang, aku  sempat merasa aneh  ketika mendengar kalimat "kenaikan kelas " dari mulutnya.

Aku tercenung, dalam hati berkata " Gak salah ni, anak-anak sudah kenaikan kelas lagi?",  sambilku  mengingat-ingat    aktivitas belajar anak-anaku   dalam setahun ini.

Tahun lalu, kejadiannya hampir sama. Meski hanya dua bulan  saja mereka belajar dan ujian dari rumah.

Bukan aku meragukan  soal nilai dan kemampuan belajar mereka. Aku sangat tahu, karena saban hari   aku yang mendampingi    mereka belajar  di rumah. Bagaimana mereka menyelesaikan  tugas  dan  mengerjakan  setiap ujian yang diberikan guru mereka. Intinya, tidak ada masalah  dengan nilai dan kemampuan belajar mereka di rumah. 

Dalam pikiranku, siswa yang tidak pernah ke sekolah kemudian naik kelas apalagi sampai dapat  rangking,  adalah   hal yang sangat aneh dan absurb.

Apalagi anakku yang nomor dua, yang lulus dari sekolah dasar  tahun ini, nampak semua dilaluinya   biasa-biasa saja, tanpa beban dan tekanan. Tidak terlihat ketegangannya atau kesibukan, lazimnya anak-anak sebelumnya, yang pernah  menghadapi  ujian kelulusan.  Mungkin, karena ujiannya dikerjakan di rumah.

Ada rasa sumbang dengan  kebimbangan itu. Menurutku, mengerjakan tugas dan belajar di rumah itu hanyalah kewajiban ekstra  seorang siswa.  Kewajiban utama  mereka tetaplah  belajar di sekolah. Situasi belajar di rumah tidaklah sekondusif ketika belajar di sekolah.

Lagi pula, sekolah itu bukan hanya tempat  belajar anak-anak  mendalami ilmu saja, tapi     tempat bagi anak-anak untuk  belajar bermasyarakat, melatih kecerdasan emosional dan sosial mereka, belajar berteman,  belajar menghargai perbedaan, belajar budaya orang lain,  belajar bertoleransi dan berkompromi dengan yang lain.

Pengalaman belajar itulah  yang ku nilai telah  hilang dari anak-anak selama setahun lebih akibat pandemi ini. Pengalaman belajar yang sulit tergantikan dengan hanya belajar di rumah. 

Ada kecemasan soal fakirnya  kecerdasan sosial dan emosional mereka, akibat hilangnya aktivitas  interaksi sosial dan kemampuan bermasyarakat mereka. Hal ini dikuatirkan akan mempengaruhi massa depan mereka kelak.

Bayangkan selama setahun lebih, tidak ada interaksi fisik dengan  teman-teman dan guru-gurunya, semuanya dilakukan melalui  internet dan gadget.  Ruang-ruang kelas hanya tersedia  di laptop, PC dan smartphone. Interaksi dan komunikasi hanya lewat  grup whatsapp, google meet dan zoom. Itupun hanya sebatas pelajaran dan tugas dari guru. 

Mereka mungkin sudah  lupa dengan nama-nama   dan rupa-rupa karakter teman-teman mereka. Mendengarkan tawa teman-teman mereka  hanya lewat layar gawai   saja. Mengekspresikan emosi mereka  hanya dengan striker, animasi dan emoticon.

Aku termenung dalam kecemasanku. Sampai  kemudian   kata-kata  William Arthurd Word menyadarkanku  akan situasi ini,

 “Orang yang pesimistis komplain tentang angin, seorang yang optimis berharap angin untuk berubah, seorang realistis menyesuaikan layar".

Kalimat itu seolah menegurku. Mungkin aku tidak  realitis dan kurang optimis menyikapi situasi  ini. Aku terlalu egois, pikiran masa lalu di otakku, kucemaskan  dengan  situasi kekinian anak-anakku.

Bukankah  situasi saat  ini  tidak  hanya dialami  anak-anakku saja. Mereka   tidak sendiri. Semua anak-anak di sekelilingnya, di kotanya, di negaranya, bahkan di dunia mengalami persoalan interaksi sosial yang sama, karena pandemi yang sama pula.

Anak siapa sekarang ini yang punya ruang untuk membuka  diri   dalam kehidupan sosialnya? sekolah-sekolah, klub olahraga anak, wahana permainan, pusat kegiatan belajar dan ruang interaksi lainnya,  ditutup dan dibatasi.

Kekuatiran dan kecemasanku yang menggangap situasi  ini bakal menghilangkan keterampilan sosial dan kehidupan bermasyakat mereka, adalah sesuatu yang sangat berlebihan bahkan eksesif. Padahal, aku  telah melewati kebiasaan ini bersama anak-anakku, tapi ternyata tidak dengan pikiranku.

Mungkin, aku terlalu  galau   melihat  interaksi sosial mereka. Yang lebih asyik berinteraksi  melalui gadget. Yang terlalu sering melepaskan   emosi    secara virtual.  Yang sangat nyaman menjalin  komunitas pergaulan dunia maya. Tapi, itulah periodesasi kehidupan bermasyarakat anak-anak  itu saat ini.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana  seandainya pandemi ini terjadi dua puluh tahun yang  lalu, dimana teknologi digital internet tidak secanggih saat ini.

Artinya, aku harus dituntut bersyukur dan memahami realitas saat ini, bahwa inilah dunia anak-anakku sekarang, internet dan teknologi adalah cara dan media  mereka untuk bermasyarakat. 

Anak-anakku tidak akan menghadapi satu era dunia yang membuat mereka kehilangan dunianya, kehilangan daya tahannya dan kehilangan kemampuan bertahan hidupnya.

Anak-anak itu akan  menghadapi satu generasi yang sama, yang  memiliki persoalan  sosial dan masalah kehidupan yang setara dengan  mereka. Generasi yang  beradaptasi dan survive menciptakan hikmah dan khitah di zaman mereka sendiri. Generasi yang  terpilih untuk melalui keutamaan episode hidup mereka.

Yang bisa  aku  lakukan adalah membangun optimisme, buat diri ku  dan anak-anakku  nyaman dengan perubahan ini, bukan menolak apalagi  membencinya. Biarlah kreatifitas dan tantangan yang ada membuat diri mereka  relevan merespon perubahan ini. Kata Charles Darwin " Bukanlah yang terkuat atau terpintar yang dapat bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan."

Tommy Manggus