Mengenang Ani Yudhoyono [3] Tegang dan Sunyi, Kisah Sahur Pertama di Istana

Ani menyebut hari-hari pertama tinggal di Istana Merdeka sebagai latihan menahan sunyi. Apalagi kala itu bertepatan dengan Ramadan.

Sabtu, 22 Juni 2019 | 09:21 WIB
0
353
Mengenang Ani Yudhoyono [3] Tegang dan Sunyi, Kisah Sahur Pertama di Istana
SBY dan Bu Ani (Foto: Liputan6.com)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik sebagai Presiden RI ke-6 pada 20 Oktober 2004. Dengan berbagai pertimbangan, antara lain mengurangi kemacetan, SBY memutuskan untuk tinggal di Istana Merdeka.

Sebagai Ibu Negara, Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono) manut, meski mengaku merasa kesepian. Sebab putra sulungnya, Agus Harimurti tinggal di asrama tentara di Karawang, dan Edhie Baskoro (Ibas) masih harus menuntaskan kuliahnya di Curtin University, Perth, Australia.

Ani menyebut hari-hari pertama tinggal di Istana Merdeka sebagai latihan menahan sunyi. Apalagi kala itu bertepatan dengan Ramadan. Di rumah pribadinya di Cikeas, jarak ruang makan dan dapur sangat dekat. Celotehan orang-orang dapur terdengar hingga ke meja makan, dan menciptakan sensasi hangat menyenangkan.

“Masakan bergerak dari dapur menuju meja makan dalam keadaan panas, menebar aroma menggugah selera,” ungkap Ani Yudhoyono dalam buku “10 Tahun Perjalanan Hati” yang ditulis Alberthiene Endah.

Kondisi sebaliknya terjadi di Istana Merdeka. Ruang makan ada di dekat dapur di sisi barat, berseberangan dengan area ruang tidur di sisi timur. Untuk mengjangkaunya, menurut Ani, ia dan SBY harus berjalan melintasi raung resepsi, hall yang sangat besar. Keduanya harus mengangguk-angguk ke para staf rumah tangga istana yang berdiri siaga di beberapa arah.

“Kami sahur dalam situasi agak tegang, sangat resmi, dan nyaris tak ada suara kecuali bunyi denting sendok dan garpu yang menyentuh piring. Jauh dari gambaran orang sahur dalam suasana hangat,” ungkap Ani. Ketidaknyamanan lain yang muncul adalah masakan yang dihidangkan tak lagi panas.

Hingga beberapa hari kemudian, ia memberanikan diri menyampaikan usul kepada SBY. “Tidak bisakah kita merasakan makan sahur yang lebih privat, Po?.”

SBY paham, sebab ia pun sepertinya merasakan ketersiksaan yang sama. Di hari berikutnya, petugas dapur menyediakan hidangan sahur di lorong kecil depan ruang tidur.

“Begitulah, di lorong yang panjang dan senyap itu saya makan bersama SBY. Kami mengobrol dengan berbisik-bisik,” kata Ani. Dengan susah payah ia berusaha menekan kerinduan akan sensasi hangat sahur di rumah sendiri.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Mengenang Ani Yudhoyono [2] Ketika Merana Karena Makanan