"Mbak Ning", Kisah Pilu Sanksi Sosial bagi Mereka yang Tak Berdosa

Senin, 14 Januari 2019 | 18:24 WIB
0
4219
"Mbak Ning",  Kisah Pilu Sanksi Sosial bagi Mereka yang Tak Berdosa
Foto: Ribka Tjiptaning (Foto: Kompas.com)

Perempuan setengah baya itu berambut pendek, bertampang tegas meskipun seringkali melempar senyuman ramah. Ia kini duduk sebagai wakil rakyat di Senayan. Tak dinyana ia juga adalah seorang dokter.

Nama lengkapnya adalah Ribka Tjiptaning Proletariyati, seorang anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Orang di sekitarnya biasa menyapanya dengan sebutan “Mbak Ning”.

Perjalanan hidup Mbak Ning di masa kecil sangat memprihatinkan. Padahal, ia terlahir dari keluarga ningrat Jawa sekaligus konglomerat yang harusnya hidup berkecukupan dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain.

Mbak Ning merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yang dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada 1 Juni 1959. Ayahnya bernama Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro adalah seorang keturunan Kasunanan Solo (Pakubuwono) dan ibunya bernama Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati adalah  keturunan Kasultanan Kraton Yogyakarta.

Ayahnya adalah seorang konglomerat yang memiliki lima pabrik besar dan ibunya adalah seorang guru TK sekaligus penjual celana dalam di pasar Klewer.

Pada saat Mbak Ning duduk di TK kelas Nol Besar, terjadi peristiwa G30SPKI. Saat itu ibunya sedang hamil dan ayahnya tidak kunjung pulang ke rumah.

Di akhir tahun 1965 ibunya tiba-tiba memboyong Mbak Ning dan saudara-saudaranya pergi dari rumah mereka di Solo. Ibunya bilang mereka akan diajak ke Yogyakarta tapi justru dibawa ke kereta menuju Jakarta.

Sampai di stasiun Gambir, Jakarta, koper-koper berisi pakaian dan barang berharga mereka hilang. Mbak Ning, Ibu dan saudara-saudaranya kemudian ditampung oleh Harman, anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden saat itu.

Karena situasi tidak aman dan ibunda Mbak Ning masuk daftar pencarian orang, mereka pun berpindah lagi ke tempat berlindung lainnya. Mereka pun dipisahkan satu sama lain. Mbak Ning Bersama kakak yang pertama dititipkan kepada seseorang bernama Mayor Nandika di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur. Sementara itu, ibunya Bersama kakaknya yang nomor dua dan adik bungsunya pindah ke rumah keluarga lain.

Kakak beliau merasa tidak betah tinggal di rumah keluarga yang mereka tempati dan mengajak beliau pergi mencari sang ibu. Mereka hanya berbekal lima buah salak dan berjalan kaki sampai terminal Cililitan. Nasib baik bagi mereka, di terminal itu Mbak Ning melihat orang yang pernah bertemu bapaknya di rumah mereka di Solo. Mbak Ning pun memanggil sang bapak dengan panggilan Om. Bapak itu lalu segera membawa Mbak Ning dan kakaknya sambil meminta mereka untuk diam.

Mbak Ning dibawa ke Cawang. Pada tengah malam di rumah teman ayahnya itu, Mbak Ning melihat sang ayah datang dan hanya bisa menemuinya sebentar saja.

Tak lama dari itu Mbak Ning pun kembali bertemu dengan ibunya dan mereka kemudian ditampung oleh seseorang bernama Pak Wito. Saat di rumah Pak Wito, seseorang bernama Haji Amang menawarkan sebuah kandang sapi untuk mereka jadikan tempat tinggal. Akhirnya Mbak Ning, ibu dan saudara-saudaranya menerima tawaran Haji Amang. Mereka tinggal di sebuah kandang sapi berdinding triplek bekas yang mereka pasang sendiri.

Selama tinggal di kandang sapi itu, sehari-harinya Mbak Ning bekerja membantu Pak Wito agar bisa disekolahkan. Usaha pak Wito cukup banyak, mulai dari menjadi agen bus malam, bus dalam kota, jasa fotografi hingga menjadi agen kode buntut. Salah satu kakak Mbak Ning menjadi juru parkir. Kakaknya yang lain tinggal di komunitas seni di Bulungan dan ibunya bekerja di sebuah gereja.

Mbak Ning pun tumbuh besar di jalanan. Ia menjadi kondektur, kadang juga mengamen bahkan sesekali mencopet karena terdesak untuk bisa membeli makan.

Mbak Ning terlatih dengan kesusahan. Ia tidak manja. Bahkan, ia terbiasa jadi liar. Saat kelaparan apa saja bisa dimakannya. Pernah suatu ketika pada malam takbiran idul fitri saat keluarga lain makan daging ayam, ia dan kakak adiknya malah makan daging kucing. Ia juga pernah memakan daging tikus yang berkeliaran di rumahnya. Menurutnya, tikus makannya beras dan nasi jadi masih aman untuk ia makan juga.

Setelah besar Mbak Ning baru mengetahui jika ayahnya terlibat dalam sebuah organisasi terlarang yang bahkan keturunan anggotanya saja dipersulit ruang geraknya oleh pemerintah Orde Baru. Ayahnya, Soeripto, diduga menjadi salah satu anggota biro khusus di PKI. Hingga kini, ayah beliau tidak diketahui keberadaan dan nasibnya.

Perjalanan hidup mengantarkan seorang Ribka Tjiptaning atau Mbak Ning bergabung dalam organisasi masyarakat Pemuda Demokrat di tahun 1983. Di tahun 1988, sambil kuliah di fakultas kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI), Mbak Ning bergabung menjabat sebagai ketua di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk ranting Lobang Buaya, Jakarta Timur.

Di tahun 1990, Mbak Ning lulus dari Fakultas Kedokteran UKI. Setahun berikutnya ia sudah berpraktek sebagai dokter di Rumah Sakit Tugu Ibu dan dua tahun berikutnya Mbak Ning membuka sebuah klinik kesehatan bernama “’Waluya Sejati Abadi” di Ciledug. Tetapi sayangnya, klinik yang dibangun Mbak Ning kemudian ditutup oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh menjadi klinik PKI.

Pasca reformasi di tahun 1998, banyak perubahan terjadi. Saat pemerintahan Gus Dur, diskriminasi terhadap anak dan keturunan anggota PKI mulai dihentikan. Mereka mulai bisa terlibat dalam politik dan Mbak Ning pun bisa mendaftar sebagai anggota legislatif.

Pada tahun 2002 Mbak Ning terpilih menjadi Wakil Ketua DPD PDIP Jawa Barat. Di tahun 2004 Mbak Ning mulai menjadi anggota DPR-RI. Saat terpilih lagi di tahun 2009 beliau juga dipilih menjadi Ketua Komisi IX. Bahkan, beliau terpilih menjadi Ketua Komisi IX DPR-RI selama dua periode.

Di tahun 2002, Mbak Ning menerbitkan bukunya yang berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”. Buku ini mendapat penolakan banyak pihak karena judulnya yang kontroversial. Padahal, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono, buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” adalah penyemangat dan pencerahan bagi anak-anak yang orang tuanya dulu menjadi pengikut atau kader PKI karena selama masa Orde Baru pemerintahan Soeharto selain menghukum kader-kader PKI juga memberi hukuman sosial bagi anak-anak dan keturunan mereka walaupun mereka tidak tahu menahu soal politik apalagi PKI.

Arief Poyuono mengatakan meskipun Ribka Tjiptaning mengakui bahwa dirinya anak seorang tokoh PKI bukan berarti beliau seorang politisi yang beridiologi komunis.

Arief malah mengatakan seharusnya PDIP bisa menjelaskan bahwa buku Mbak Ning tersebut tidak ada hubungannya dengan ideologi PKI karena menurutnya jelas ideologi PDIP adalah ideologi Pancasila.

"Jadi jangan takut dengan isu kampungan akibat tulisan buku Mbak Ning (Ribka Tjitaning), 'Aku Bangga Jadi Anak PKI', Banyak juga kok kalau mau jujur bahwa di parpol lainnya dan institusi pemerintah banyak anak-anak keturunan PKI," tambah Arief. Sungguh sebuah penilaian yang mengejutkan bagi saya.

Arief menyatakan dirinya sangat mendukung tulisan Mbak Ning sebagai sebuah pencerahan kalau keturunan orang PKI itu bisa bangkit dari trauma dan hukuman sosial akibat politik yang dianut orang tuanya selama era Orde Baru.‎

Sekjen PDIP Hasto Kristianto juga menyangkal bahwa Ribka Tjiptaning menganut paham komunis meskipun memiliki orang tua dengan latar belakang PKI.

Menurut Hasto, pertalian darah tak membuat pandangan politik juga sama. "Ribka Tjiptaning tidak dapat memilih lahir dari siapa. Kelahiran Ibu Tjiptaning, rahmat dari Tuhan yang Maha Kuasa sehingga tidak bisa memilih lahir dari mana," katanya.

Sebagai anak dari seorang anggota tapol PKI, Mbak Ning mendapat perlawanan di sana sini. Beliau juga ikut terseret dalam citra buruk pemberontak PKI.

Ruang geraknya dihambat, tetapi beliau tetap konsisten mewakili suara rakyat yang terpinggirkan. Mbak Ning prihatin kepada aktifis pergerakan yang setelah duduk menjadi anggota dewan justru diam, tidak lagi sibuk memperjuangkan keinginan rakyat.

Seorang Mbak Ning seharusnya bisa mengingatkan kita untuk bersikap adil. Kita harus perlakukan seseorang sesuai dengan perbuatannya dan jangan melemparkan akibat perbuatan orang lain pada pihak yang tak berdosa.

Jangankan jadi anak PKI, jadi anak pelacur saja tentunya jika dia orang baik-baik tak akan mau dituduh sebagai pelacur juga. Karena kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita terlahir.

Semoga Mbak Ning bisa fokus membela suara rakyat tanpa menghiraukan penilaian orang lain. Semangat terus Srikandi Indonesia..! Langit saja tak perlu menjelaskan kalau dirinya tinggi….

***

Sumber:

CNN.com, teropongsenayan.com, Kompas.com, Wikipedia dan kesaksian langsung (Hasto Kristianto)