Bung yang Memilih Tegak di Kiri Jalan Itu Telah Berpulang

Mereka yang teguh di kiri jalan itu berpulang satu demi satu, setelah Rahman Tolleng, kini giliran Arief Budiman. Namun yang pasti mereka meninggalkan legacy yang tak ternilai bagi bangsa.

Rabu, 29 April 2020 | 14:54 WIB
0
545
Bung yang Memilih Tegak di Kiri Jalan Itu Telah Berpulang
Arief Budiman (Foto: The Jakarta Post)

Saya ikut bangga membaca catatan Sudirman Nasir mengenai sosok Arief Budiman yang ringan tangan saat ia mengawali studinya di Universitas Melbourne yang kebetulan mereka satu kampus. Arief Budiman yang sejak dulu dikenal bersahaja dan ramah adalah guru para aktivis di era 90-an.

Meski tidak banyak aktivis yang punya kesempatan bertemu langsung, namun lewat berbagai publikasi di media maupun buku para akvis bisa mengenal pemikiran Arief Budiman dengan baik.

Beliau bukan tipikal tokoh dengan ekspresi yang meledak-ledak seperti Sri Bintang Pamungkas dan Hariman Siregar, atau Adnan Buyung Nasution yang dandy. Sebaliknya Arief low profile, berpenampilan sederhana dengan pikiran-pikiran tajam dan radikal. Saya sempat sekali dua kali mendengar langsung beliau membawakan materi dan membaca wawancara serta pandangan beliau di media.

Gaya bertutur Arief Budiman datar, mudah dipahami, tidak banyak menggunakan istilah asing. Di tangan beliau, teori ketergantungan yang rumit menjadi enteng.

Seingat saya ada dua buku beliau yang sempat saya tamatkan berkali-kali, Pembagian Kerja Secara Seksual dan Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Dua buku ini relatif tipis sehingga mudah ditenteng ke mana-mana, saya memperlakukan kedua ini buku serupa buku saku. Sementara buku beliau yang lain kalau tidak salah, Demokratis Menuju Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende sempat saya miliki selain tulisan beliau diberbagai majalah dan jurnal seperti prisma.

Tulisan Arief Budiman merentang lebar ke berbagai hal, politik, ekonomi dan kebudayaan. Reputasi Arief di bidang kebudayaan cukup panjang, ia terlibat menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu) sebagai bentuk penolakan terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dianggap memasung kreativitas seniman.

Arief pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan menjabat sebagai redaktur Majalah Horison hingga anggota Badan Sensor Film. Dengan spektrum yang sangat luas, Arief Budiman sulit dipungkiri adalah salah satu sparing partner terbaik kekuasaan orde baru di bawah rezim Soeharto yang memilih jalan developmentalism.

Tentu saja ada banyak tokoh penting yang menginspirasi anak muda serta berani berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Mereka datang dari berbagai kalangan, banyak diantara mereka memilih bekerja dan mengkonsolidasi jejaring perlawanan di tingkat akar rumput. Sebaliknya banyak pula tokoh yang memilih menulis sebagai counter diskursus untuk melawan hegemoni kekuasaan orde baru serta fokus mendorong kesadaran kritis masyarakat, khususnya generasi muda.

Arief sendiri terlibat aktif di dua ranah perjuangan, intelektual sekaligus aktivis, atau tepatnya intelektual organik dalam istilah Antonio Gramsci, tokoh marxis Italia.

Perbedaan karakter para tokoh ini pasca runtuhnya orde baru rupanya ikut menentukan pilihan karier mereka selanjutnya. Sebahagian besar tokoh serta pentolan demonstran itu memilih in sistem, sementara Arief Budiman tetap memilih berada di luar dan konsisten sebagai dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga hingga akhirnya hijrah dan menerima tawaran mengajar di Australia setelah dipecat dari kampus yang namanya ikut terkerek karena Arief Budiman mengajar di sana.

Selain Arief ada dua tokoh pro demokrasi yang sangat populer yang membuat nama UKSW Salatiga melambung, George Junus Aditjondro dan Ariel Heryanto.

Arief yang sepanjang karir intelektualnya memilih berada di kiri jalan mampu membuktikan kalau marxisme sebagai pisau analisis sangat tajam menelanjangi kepalsuan janji kesejahtraan yang ditawarkan kapitalisme. Bersama intelektual kritis lain seperti Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, Mansour Faqih, Mochtar Pabottingi, Sri-Edi Swasono, Arief tetap konsisten melakukan kritikan terhadap arah pembangunan Indonesia yang makin menjauh dari kepentingan rakyat.

Semenjak hijrah ke Australia, kabar tentang Arief jarang lagi kedengaran. Hiruk-pikuk politik pasca reformasi tidak banyak memberi ruang pada tokoh yang low profile seperti Arief Budiman. Sebaliknya panggung politik dan kekuasaan disesaki oleh mereka dengan retorika yang sengit. Para tokoh berbondong-bondong mengklaim diri sebagai aktor reformasi yang berhak atas pembagian kue kekuasaan atas jasa mereka meruntuhkan rezim orde baru.

Rupanya peralihan rezim otoriterian ke demokrasi tidak mampu memenuhi ekseptasi mereka yang menghendaki pergantian aktor secara total. Proses negosiasi antar aktor untuk mengisi kekuasaan di masa reformasi melahirkan kompromi diantara mereka. Kembalinya sebahagian besar aktor lama ikut mengisi gerbong reformasi ini membuat para intelektual organik seperti Arief Budiman kecewa.

Lahirnya sistem multipartai yang sejatinya bertujuan mendobrak kebekuan pembatasan jumlah partai serta tradisi oligarki di masa lau tidak lebih dari upaya mengakomodir kepentingan aktor lama dan baru untuk tetap eksis. Pasca reformasi eforia dimana-mana, batas yang pribadi dan publik dilanggar. Atas nama kebebasan, rasisme serta sektarianisme ditenteng di ruang publik.

Namun satu hal, kebebasan yang sangat mahal di masa orde baru bisa dinikmati saat ini bukan datang tiba-tiba, melainkan ditebus sangat mahal lewat perjuangan panjang di masa lalu.

Mereka yang teguh di kiri jalan itu berpulang satu demi satu, setelah Rahman Tolleng, kini giliran Arief Budiman. Namun yang pasti mereka meninggalkan legacy yang tak ternilai bagi bangsa dan negeri ini.

Selamat jalan bung, kerja sudah ditunaikan saatnya beristirahat di pangkuan Illahi.

***