"Impeachment" di Indonesia dan Kasusnya di Negara Lain

Pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden adalah saat beliau menolak untuk memberikan pertanggungjawabannya dihadapan Sidang Istimewa MPR RI.

Minggu, 19 Juli 2020 | 07:02 WIB
1
5310
"Impeachment" di Indonesia dan Kasusnya di Negara Lain
Soeharto dan Abdurrachman Wahid (Foto: Alif.id)

Akhir-akhir ini isu impeachment (pemakzulan) menjadi perbincangan publik setelah diskusi ihwal impeachment yang diagendakan oleh Constitusional Law Study Fakultas Hukum UGM gagal digelar akibat teror dan intimidasi terhadap panitia dan pembicara dalam agenda tersebut. Diskusi tersebut bertemakan “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang dibuka untuk umum.

Secara akademik, menurut saya tidak ada masalah dengan tema yang diangkat oleh panitia penyelenggara karena sudut pandangnya adalah tinjauan sistem ketatanegaraan. Artinya pembicara akan menyampaikan mekanisme pemecatan presiden dengen berpedoman pada ilmu hukum tata negara umum dan positif terutama konstitusi sebagai objek dari hukum tata negara.

Wacana pemakzulan juga mendapat respon dari berbagai pihak salah-satunya Refly Harun, Pakar Hukum Tata Negara. Dalam satu kesempatan beliau mengatakan perlunya untuk membedakan antara wacana dan gerakan. Baginya, tidak ada yang salah dengan melontarkan wacana Pemakzulan Presiden, sedangkan gerakan bisa dibagi menjadi tiga yakni gerakan konstitusional, inkonstitusional, dan ektrakonstitusional. Dari ketiga gerakan itu, gerakan ektrakonstitusional dalam sejarahnya paling sulit untuk dihentikan.

Berhubungan dengan wacana pemakzulan presiden tersebut, dalam tulisan ini saya akan menguraikan bagaimana mekanisme pemakzulan presiden secara konstitusional, sejarah pemakzulan presiden di negara kita, dan kasus pemakzulan presiden di negara lain dalam hal ini negara Amerika Serikat, Korea Selatan dan Paraguay.

Mekanisme Impeachment

Sebelum amandemen UUD 1945 tidak ada mekanisme impeachment yang secara baku diatur di dalam konstitusi. Barulah setelah amandemen UUD 1945 mekanisme impeachment diatur di dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945 yang mengikutsertakan tiga lembaga tinggi negara dalam proses impeachment. Ketiga lembaga tinggi negara itu adalah DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Sedangkan objek impeachment adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Di dalam pasal 7A UUD 1945 memberikan pengaturan terkait dengan alasan dari dimakzulkannya seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yakni apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Adapun alur ataupun proses impeachment mula-mula diawali dari dugaan DPR atas pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7A UUD 1945. Setelah itu DPR menyelenggarakan rapat paripurna yang harus dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota DPR dan usul tersebut harus disepakati pula oleh 2/3 dari seluruh jumlah anggota yang hadir dalam rapat paripurna itu.

Setelah disepakati oleh 2/3 dari seluruh jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna, maka usul pemberhentian diteruskan ke Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa, mengadili dan memutuskan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 7A UUD 1945 atau tidak, dalam jangka waktu paling lama 90 hari sejak Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dari DPR.

Dalam waktu paling lama 90 hari itu kemungkinan amar putusan yang akan dikeluarkan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR ada tiga yakni, permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat, membenarkan pendapat DPR apabila terbukti melakukan pelanggaran pasal pemakzulan, dan permohonan ditolak karena tidak terbukti melakukan pelanggaran pasal pemakzulan.

Apabila amar putusannya membenarkan pendapat DPR, maka langkah selanjutnya yang dilakukan DPR adalah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada MPR. Kemudian MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.

Dengan keputusan akhirnya harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Jadi, putusan di MPR mayoritas bersifat absolut.

Dari segi prosedural dan lembaga yang diberi wewenang dalam proses pemakzulan presiden, bisa kita simpulkan bahwa pemakzulan presiden merupakan proses politik dan hukum. Proses politik bisa dilihat dari proses pemakzulan di DPR dan MPR yang memerlukan dukungan mayoritas. Sedangkan proses hukum bisa dilihat dari alasan pemakzulan dan diikutsertakannya Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR atas tuduhan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Kasus Impeachment di Indonesia

Sampai tahun 2020, Indonesia sudah memiliki tujuh presiden yang pernah dan sedang berkuasa. Dari ketujuh presiden itu setidaknya ada dua presiden yang diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya yakni Soekarno dan Abdurrahman Wahid. Kedua-duanya dimakzulkan dengan mekanisme politik karena pada saat itu alasan utama pemberhentian presiden bukanlah karena melanggar hukum dan tidak adanya pembuktian di lembaga peradilan.

Hanya saja bagian Penjelasan UUD 1945 angka VIl Alinea ketiga hanya menuntukan jika Dewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggungjawaban presiden. Sedangkan dalam TAP MPR No. III/MPR/1978 menentukan bahwa presiden dalam masa jabatannya dapat dimintai pertanggungjawabannya di depan Sidang Istimewa MPR sehubungan dengan pelaksanaan haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 dan TAP MPR.

Artinya alasan utama pemberhentian yang diatur UUD 1945 sebelum perubahan dan TAP MPR adalah apabila presiden melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau MPR. Hal ini menunjukan bahwa pada saat itu mekanisme pemakzulan presiden hanya dipandang sebagai proses politik karena yang menjadi penentu adalah suara mayoritas lembaga parlemen yakni MPR.

Dari dua kasus pemberhentian presiden yang pernah terjadi di Indonesia juga demikian. Presiden Soekarno diberhentikan dari masa jabatannya disebabkan oleh karena pertanggungjawabannya ditolak MPR dan dianggap tidak dapat lagi melaksanakan kewajiban dan haluan negara sebagaimana ditetapkan oleh UUD 1945 dan MPR. Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan setelah dianggap melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dihadapan Sidang Istimewa MPR serta penerbitan Maklumat Presiden yang dianggap inkonsitusional.

Dalam kasus Presiden Soekarno, penolakan pertanggungjawaban itu bermula dari karakter otoriter kepemimpinannya, laju kondisi negara kita yang tengah mengalami krisis ekonomi ditambah munculnya pemberontakan G30S/PKI yang memicu ledakan besar demonstrasi mahasiswa dan disusul dengan reshuffle kabinet berkali-kali oleh Soekarno.

Akhirnya pada tanggal 22 Juni 1966 dihadapan sidang umum MPRS, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban sukarela yang beri judul Nawaksara. Saat itu, DPR-GR bentukan Soekarno merasa tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, terutama berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya G30S/PKI. Karenanya setelah itu, DPR-GR kemudian mengajukan memorandum kepada MPRS yang mengharuskan Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Atas dasar memorandum inilah kemudian diadakan Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang ternyata pertanggungjawabannya tidak dapat diterima oleh MPRS. Maka melalui TAP No. XXXIII/MPRS/1966, dicabutlah kekuasaan pemerintahan dari tangan Soekarno yang digantikan oleh Soeharto karena pada saat itu terajdinya kekosongan jabatan Wakil Presiden.

Kemudian dalam kasus pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid mula-mula berawal dari dua kasus yang dikaitkan dengan namanya. Yang pertama adalah kasus dana Yanatera Bulog sebebar 35 Milliar yang terjadi pada tahun 2000. Dan yang kedua adalah kasus pertanggungjawaban Dana Sultan Brunei Darussalam sebesar US$2 Juta yang menurut banyak pihak uang tersebut seharusnya masuk sebagai penerimaan negara bukannya masuk kantong pribadi.

Setelah kasus itu dikaitkan dengan namanya, DPR pada saat itu memberikan respon dengan menggunakan hak penyelidikan dengan membentuk panitia khusus untuk menanganinya. Dalam laporan hasil penyelidikan, pansus memberikan kesimpulan bahwa dalam kasus Yanatera Bulog patut diduga bahwa Abdurrahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana.

Sedangkan dalam kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam, Abdurrahman Wahid dianggap memberikan keterangan tidak benar kepada publik karena inkonsistensi pernyataannya.

Berdasarkan hasil laporan pansus itu, maka DPR menindaklanjutinya dengan mengeluarkan memorandum untuk memberi peringatan kepada Presiden Abdurrahman Wahid bahwa dirinya sudah melanggar haluan negara. Maka pada tanggal 1-7 Agustus 2000 diadakanlah Sidang Istimewa MPR RI untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Akan tetapi pada saat itu Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan memberhentikan dan mengganti Kapolri tanpa persetujuan DPR RI. Hal ini membuat Sidang Istimewa MPR RI dipercepat menjadi tanggal 21-23 Juli 2000.

Selanjutnya kebijakan yang tidak kalah kontroversial dari Abdurrahman Wahid adalah keputusannya untuk menerbitkan Maklumat yang berisi pembekuan MPR RI dan Partai Golkar. Dan pada akhirnya pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden adalah saat beliau menolak untuk memberikan pertanggungjawabannya dihadapan Sidang Istimewa MPR RI. Setelah pemberhentian itu, posisinya digantikan oleh Megawati selaku Wakil Presiden berdasarkan pada pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan.

Kasus Impeachment di Negara Lain

Hal yang harus dipahami lebih dulu adalah bahwa pemakzulan tidak selalu berakhir dengan pemberhentian. Karena impeachment sendiri berorientasi pada proses pendakwaan/penuntutan bukan hasil akhir berupa pemberhentian. Impeachment yang tidak berakhir dengan pemberhentian pernah terjadi di Amerika Serikat dan Korea Selatan.

Hal tersebut salah satunya dialami oleh seorang Presiden Amerika Serikat bernama Andrew Johnson dan Bil Clinton. Dalam kasus Andrew Johnson yang terjadi pada tahun 1868, beliau resmi dimakzulkan dengan 11 uraian pasal impeachment. Namun pada saat itu, posisi Johnson terselamatkan dengan selisih satu suara disenat. Serupa dengan Andrew Johnson, Bil Clinton juga berhasil selamat dari pemberhentian dari jabatannya karena suara di senat tidak mencukupi.

Wacana Impeachment juga menimpa Richard Nixon, Presiden ke-37 Amerika Serikat. Berbeda dengan rekannya tadi, Richard Nixon malah mengundurkan diri sebelum House of Representive memakzulkan dirinya. Saat itu, tuduhan yang dilontarkan kepada Richard Nixon berkaitan erat dengan Skandal Watergate antara lain penyalahgunaan kekuasaan, penghinaan terhadap Kongres dan menghambat kerja peradilan. Namun sebelum keputusan voting impeachment dilakukan, Richard Nixon pada saat itu memilih mengundurkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat.

Sementara di Korea Selatan, impeachment yang tidak berakhir dengan pemberhentian dialami oleh Presiden Roh Moo-Hyun pada tahun 2004. Saat itu, wacana impeachment dimulai dari anggota parlemen yang menyetujui dengan suara mutlak dalam pemungutan suara, yakni 193 suara dibanding dua suara yang menolak untuk mengusir Roh akibat pelanggaran yang dilakukannya terhadap berbagai peraturan pemilihan.

Akan tetapi setelah mengadili, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yang memiliki otoritas akhir dalam proses pemakzulan di Korsel menolaknya karena tidak ada alasan yang cukup berat untuk menggeser presiden. Dengan demikian Roh kembali menjabat sebagai Presiden Korea Selatan setelah sebelumnya dihentikan sementara dari tugas-tugasnya oleh Majelis Nasional pada 12 Maret 2004.

Dalam hal berakhirnya proses impeachment dengan pemberhentian presiden pernah terjadi di beberapa negara di dunia, salah satunya negara Paraguay. Hal ini dialami oleh Presiden Fernando Lugo yang diberhentikan setelah suara mayoritas di senat mendukung impeachment terhadap dirinya. Peristiwa ini sebenarnya merupakan buntut dari sengketa lahan antara petani dengan polisi yang berakhir kematian 17 orang dari kedua belah pihak.

Baca tulisan lain disini

***