Prabowo Akhirnya Melawan!

Dapat dipastikan akan muncul pihak ketiga “menyalip di tikungan”, sebagai “penyelamat” NKRI dengan menganulir hasil Pilpres 2019! Itulah yang dihindari Prabowo!

Selasa, 23 April 2019 | 13:20 WIB
1
5013
Prabowo Akhirnya Melawan!
Presiden Pilihan Rakyat: Prabowo Subianto! (Foto: Istimewa).

Deklarasi Kemenangan Pilpres 2019 yang dilakukan paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno, setidaknya telah membuat paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin mengatur strategi baru. Apalagi, semua form C1 sudah dipegang paslon 02.

Tak hanya itu. Selain Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi, lembaga lainnya juga punya copy form C1 serupa. Seperti halnya saat Pilpres 2014, kali ini Prabowo mendapat “bocoran” kemenangannya tersebut dari koleganya di TNI-Polri.

Kemudian, diperkuat lagi data form C1 dari PKS, PAN, dan Partai Demokrat. Lengkap sudah bukti pelengkap kemenangan Prabowo – Sandi. Prosentasenya jauh mengungguli paslon 01, di atas 60%. Dan, semua data form C1 ini tidak jauh berbeda.

Sementara, hingga kini Tim Kampanye Nasional (TKN) paslon 01 Jokowi – Ma’ruf hanya berpatokan pada Quick Count (QC) yang memenangkannya. Makanya, tidak seperti saat Pilpres 2014, Jokowi dan TKN tidak berani mendeklarasikan kemenangannya.

Bahasa diplomatis yang sering dipakai saat akhir pidatonya selalu, “Kita tunggu hasil KPU”. Artinya, hitungan QC yang selama ini menjadi andalan Jokowi, bakal tidak akan menjadi patokan lagi. Jokowi sudah tahu kalau dia memang sudah kalah!

Berharap untuk bisa dimenangkan seperti pada Pilpres 2014 rasanya tidak mungkin. Karena, skenario kemenangannya lewat legitimasi Mahkamah Konstitusi (MK), tampaknya bakal gagal total pada Pilpres 2019. Bukti kecurangan kali ini telah terbuka.      

Mengapa Jokowi – Ma’ruf dan TKN tidak berani Deklarasi Kemenangan, padahal hasil QC suaranya unggul dari Prabowo – Sandi? Tampaknya Yusril Ihza Mahendra, pakar Hukum Tata Negara, yang ada di belakang paslon 01 sudah menjelaskannya.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 6A Ayat 3 yang berbunyi:

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”

Jadi, dalam pasal tersebut ada 3 syarat dalam memenangkan Pilpres 2019: 1. Suara lebih dari 50%; 2. Memenangkan suara di 1/2 jumlah provisnsi (17 provinsi); 3. Di 17 provinsi lainnya yang kalah minimal suara 20%.

Syarat tersebut memang dibuat agar presiden terpilih mempunyai acceptibility yang luas di berbagai daerah. Kebanyakan orang hanya mengetahui sebatas kemenangan di atas 50% saja. Padahal, UU menyaratkan tiga poin tambahan, selain sekadar meraup suara lebih dari 50%!

Misalnya, penduduk di Jawa yang berpopulasi lebih dari separuh penduduk Indonesia, alias lebih dari 50% penduduk Indonesia. Menang mutlak 100% di Jawa, namun kalah di luar Jawa (yang berarti menang lebih dari 50% suara) tidak berarti memenangkan pilpres di Indonesia!

Pilpres di Indonesia memberikan syarat tambahan selain meraup suara lebih dari 50% pemilih sah di Indonesia: Menang di minimal 1/2 dari jumlah provinsi di Indonesia (17 provinsi). Ini artinya, walau meraih suara lebih dari 50%, tapi hanya berasal dari sejumlah provinsi, maka kemenangan tersebut tidak sah.

Dan juga pada provinsi-provinsi yang kalah, jumlah suara yang diraup tidak kurang dari 20%. Artinya, walau menang di lebih dari 1/2 jumlah provinsi di Indonesia, namun ada provinsi yang minim pendukung pasangan tersebut, maka kemenangan itu juga tidak sah.

Makanya Deklarasi Kemenangan Jokowi yang dilakukan TKN oleh Moeldoko tanpa Jokowi adalah deklarasi yang dipaksakan hanya sekedar menutupi rasa malu karena kemenangan versi QC untuk mereka tidak memenuhi 2 syarat lainnya.

Yakni, hanya menang di 14 provinsi dan ada beberapa daerah (berdasarkan QC) yang Jokowi mendapat di bawah 20%, menurut Survei QC Indo Barometer, yakni Aceh dengan DPT: 3.523.774 Jokowi – Ma'ruf 17,12%; Prabowo – Sandi 82,88% dan di Sumbar dengan DPT:3.718.003 Jokowi – Ma'ruf 9,12%; Prabowo – Sandi 90,88%.

Ini berbeda dengan kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 yang kemenangannya (menurut QC) kurang lebih 22 provinsi dengan rata-rata persentase 52%.

Jadi kita paham, mengapa paslon 01 tidak berani Deklarasi Kemenangan dan hanya manyun, melongo dan mungkin nyaris mewek begitu melihat hasil QC meski hasilnya mengunggulkan mereka.

Psywar Prabowo

Deklarasi Kemenangan Prabowo berdasarkan Real Count (RC) form C1 yang dimiliki oleh BPN jelas jauh berbeda dengan QC versi Jokowi yang hanya berdasarkan data 2.000-5.000 TPS saja. Sampelnya pun mungkin dari RC yang paslon 01 unggul.  

Hingga Kamis (18 April 2019 I 22:00 WIB), RC BPN sudah input data 77,94% TPS: Prabowo – Sandi meraih 63%. Sementara ini paslon Jokowi – Ma'ruf meraih total suara 37%. Update: Real Quick Count Jurdil 2019 22.00 17-4-2019, Prabowo: 65%, Jokowi 41,6%.

Perlu dicatat, data QC itu biasanya dibuat diceruk suara pemesan. “Targetnya ABS agar tidak dimaki-maki pemesan,” ungkap sumber Pepnews.com. QC dasarnya sample suara di 5.000 TPS, dari 800 ribuan TPS.

Ndek mana nalar keterwakilannya, kecuali membangun opini massa. Hanya Hacker bodoh yang obok-obok data KPU. Kau ubah angka-angka itu, tetap akan dikonfirmasi data C1 fisik yang sulit disulap,” lanjut sumber di Istana itu.

QC itu ibarat setetes madu yang banyak membuat seseorang senyum bahagia, namun bisa langsung kaget dan menangis saat RC diumumkan. Masa tunggu ini adalah masa untuk melihat siapa loyalis dan penghianat NKRI.

“Datanya tinggal ngumpulin untuk proses ke depan,” tegas sumber tadi. Sulapan hasil QC itu terbongkar di Metro TV, sehingga para pengamat pun kebingungan. Cukup dengan satu klik, maka hasil QC pun berpindah tempat.

Ini sebuah bukti jika Metro TV dan lembaga survei terlibat dalam aktivitas framing media untuk menghipnotis rakyat. Politik framing sedang dilakukan media televisi. “Mereka tega tayangkan hasil QC yang berbeda dengan fakta lapangan,” tegasnya.

KPU sendiri sedang bermain psikologi mental dengan berusaha membuat opini seolah-olah paslon 01 menang dengan hanya meng-update TPS yang dimenangkan paslon 01 saja. Tapi itu hanya strategi ABS dan mengulur waktu semata.

Jangan kaget kalau nanti paslon 01 dalam hitungan KPU akan unggul sementara 55% dan perhitungan akan diperlambat dalam beberapa hari. Untuk membentuk opini dan psikologi massa. “Di sinilah permainan dimulai,” ungkapnya.

Jalan satu-satunya adalah menempel dan mengawal C1 dengan maksimal. Jika kita berhasil menempel dan menjaga C1 sampai perhitungan rekap RC KPU, maka akan terjadi perubahan pada akhir April ini dengan pergerakan suara paslon 02 terus melaju hingga 58% lebih.

Kelicikan KPU sangat terlihat. 1. Meng-update TPS yang dimenangkan 01; 2. Mem-pending update TPS yang dimenangkan 02; 3. Mengulur waktu sambil menunggu kelengahan saksi/relawan 02 untuk mengubah surat suara TPS yang dimenangkan 02.

Mendengar dan mengetahui adanya modus operandi “kecurangan” semacam itu, paslon 02 dan BPN tentu tidak tinggal diam. Satu-satunya jalan untuk menyerang QC itu adalah dengan  psywar mengungkap data RC yang dimilikinya secara masif di media.

Prabowo jelas tidak mau dipecundangi lagi seperti halnya pada Pilpres 2014 yang “terpaksa” dia menerima “kekalahan” tersebut. Padahal, Prabowo tahu bahwa saat itu RC sesungguhnya dan data C1 yang diterima TNI, Prabowo memenangkan Pilpres 2014.

Namun, setelah melalui proses peradilan di Mahkamah Konstisuti (MK), meski membawa bukti C1 dan kecurangan "kontaineran"  jumlahnya, tetap saja Prabowo “dikalahkan” secara hukum. Di sinilah untuk Pilpres 2019, ia harus bermain cantik.

Semaksimal mungkin Prabowo menghindari upaya proses hukum dengan tetap menggeber hasil RC form C1 yang dikumpulkan BPN, PKS, PAN, Demokrat, dan beberapa lembaga independen lain yang datanya lebih akurat. Di sini Prabowo menang!

Pengakuan Kepala KSP Moeldoko bahwa Prabowo – Sandi unggul di beberapa provinsi di Indonesia mengindikasikan jika Jokowi – Ma’ruf sudah benar-benar kalah. Begitu halnya di Jabar. Gubernur Ridwan Kamil pun mengakui soal kekalahan Jokowi.

Psywar Prabowo telah berhasil membuat Presiden Jokowi mengutus Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan untuk meminta waktu untuk bertemu Prabowo. Tapi, hingga kini Prabowo belum punya waktu karena masih fokus mengawal penghitungan form C1.

Yang perlu diwaspadai sekarang ini adalah kemungkinan besar adanya pengerahan massa ke KPU, baik dari pendukung paslon 01 maupun paslon 02. Makanya, setiap pidato berkali-kali Prabowo meminta pendukungnya agar tidak terprovokasi manuver itu.

Sebagai mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, Prabowo sangat tahu konsekuensi logis jika terjadi chaos akibat bentrok antar pendukung. Bisa saja Presiden Jokowi didesak segera mengeluarkan “Dekrit Darurat Sipil” untuk pemulihan keamanan.

Dapat dipastikan akan muncul pihak ketiga “menyalip di tikungan”, sebagai “penyelamat” NKRI dengan menganulir hasil Pilpres 2019! Itulah yang dihindari Prabowo!

***