Oleh Nur Aini
Dalam menghadapi maraknya wacana tentang khilafah di Indonesia, seluruh elemen masyarakat dituntut untuk memiliki pemahaman yang mendalam serta sikap yang bijaksana.
Isu mengenai penyebaran paham radikal atau gerakan khilafah telah menciptakan polarisasi dalam masyarakat, dengan beberapa pihak mendukung khilafah sebagai bentuk penegakan syariat Islam, sementara yang lain cemas terhadap keragaman bangsa dan kerukunan sosial yang terancam.
Untuk itu, diperlukan edukasi komprehensif tentang substansi dan implikasi wacana khilafah. Upaya ini bukan hanya sekadar diskursus keislaman, tapi juga tentang dampaknya terhadap keragaman kehidupan berbangsa. Semua pihak perlu membuka pikiran terhadap berbagai pandangan, sehingga dapat mencari titik tengah yang terbaik bagi kepentingan bersama.
Pentingnya sikap kritis terhadap narasi khilafah tidak dapat dilebih-lebihkan. Khilafah di Indonesia tidak mewakili suara umat Islam secara keseluruhan, dan implementasinya tidak memberikan kesejahteraan yang dijanjikan. Sebaliknya, ideologi khilafah justru dapat menyebabkan perpecahan, kemunduran negara, dan kerusakan sosial yang luas.
Ketika ghirah keislaman tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam, hal ini dapat membahayakan makna sebenarnya dari agama tersebut. Begitu pula kecemasan terhadap masa depan negara, jika tidak dibarengi dengan upaya memahami dan memperkuat sistem pemerintahan yang ada, bisa berujung pada konflik sosial yang merugikan.
Oleh karena itu, penanganan serius terhadap penyebaran narasi khilafah adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Sebab, masalah ini bukan hanya soal agenda pemerintah atau aparat keamanan, tapi juga merupakan tugas moral kita semua pihak untuk menjaga kedamaian dan keselamatan negara. Lebih dari itu, pencegahan terhadap penyebaran ideologi khilafah juga tentang menyelamatkan makna Islam dari penyalahgunaan oleh kelompok-kelompok radikal yang ingin merusak tatanan masyarakat.
Menghadapi tantangan penyebaran radikalisme, masyarakat harus bersatu, menjaga keragaman, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas segalanya. Dengan demikian, bangsa ini dapat menghadapi penyebaran ideologi khilafah dengan kebijaksanaan dan kesadaran yang kuat, serta mencegah kerusakan yang lebih lanjut bagi agama serta negara.
Dalam menghadapi ancaman penyebaran ideologi radikal, kolaborasi dan sinergi dari seluruh lapisan masyarakat menjadi kunci utama. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mohammed Rycko Amelza Dahniel, dengan tegas mengajak semua pihak untuk bersatu dalam mengidentifikasi dan mencegah ideologi radikal yang merambah di bawah tanah.
Meskipun beberapa Organisasi Masyarakat (Ormas) yang mengusung ideologi radikal telah dibubarkan, tetapi propaganda khilafah dan semangat untuk merombak sistem pemerintahan masih terus beredar, terutama di lingkungan pendidikan.
Tantangan terbesar dalam menghadapi ideologi radikal adalah kesadaran masyarakat. Sebagian orang mungkin meremehkan bahaya yang sebenarnya ada, atau bahkan menilai hal ini sebagai pengalihan isu. Namun, polarisasi kelompok radikal dan upaya mereka untuk memojokkan pemerintah sebagai penindas merupakan fakta yang nyata.
Prof. Sri Yunanto, M.Si., PhD. selaku Guru Besar Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mengingatkan kepada semua pihak bahwa pergerakan kelompok pro khilafah masih tetap eksis di Indonesia. Prof. Yunanto menjelaskan, seperti halnya gerakan clandestine yang pernah ada di belahan dunia mana pun, pembubaran Ormas seperti HTI tidak membuat geliat para aktivisnya mati, namun aktivitasnya tetap berjalan di bawah permukaan.
Mengingat visi Indonesia Emas pada tahun 2045 yang membutuhkan kesiapan generasi muda, Prof. Yunanto menyoroti bahwa visi ini hanya bisa dicapai jika anak muda Indonesia memiliki ketahanan pada ideologi transnasional. Alangkah sia-sianya jika punya banyak warga yang pintar dan terampil, namun lemah secara ideologinya, bahkan cenderung anti Pancasila.
Maka dari itu, Prof. Yunanto menegaskan, persiapan Indonesia yang ditanamkan kepada anak mudanya tidak cukup soal intelektual, skill, sosial, dan psikologi. Pemerintah dan masyarakat juga harus serius untuk membekali generasi muda Indonesia dalam aspek ideologinya yang dimulai dari empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang 1945.
Pendidikan menjadi salah satu titik krusial dalam perang melawan propaganda radikal. Kampus umum, yang sering kali menjadi sasaran empuk, harus menjadi fokus utama dalam penyebaran dakwah moderasi. Sayangnya, narasi moderasi beragama seringkali terbatas hanya pada lingkungan keagamaan sendiri, sementara kampus umum tetap kering dengan iklim moderasi.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kemenag dan Kemendikbud perlu bermitra secara efektif, meluas, dan berkelanjutan. Moderasi beragama tidak boleh hanya menjadi wacana di kalangan keagamaan, namun juga harus merambah ke kampus umum agar propaganda khilafah bisa dihentikan dengan efektif.
Tanggung jawab ini tidak hanya ada pada pemerintah. Setiap individu yang peduli dengan kedamaian dan kemajuan bangsa juga harus turut serta dalam memerangi penyebaran ideologi radikal ini. Kampus umum harus menjadi wilayah yang dilindungi, bukan sasaran empuk bagi propaganda yang berpotensi mengancam kedamaian dan kestabilan negara.
Dengan kesadaran bersama dan tindakan nyata dari semua pihak, kita dapat bersama-sama mencegah penyebaran ideologi radikal di bawah tanah yang bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab semua pihak sebagai bagian dari masyarakat yang beradab dan damai.
)* Penulis merupakan pengamat pendidikan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews