Hukum digunakan untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk menentukan siapa yang lebih hebat.
Puncak dari perseteruan antara Mantan Komisaris BUMN, Said Didu dengan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, sudah masuk ranah hukum. Senin, (4/5/2020) Said Didu akan dipanggil menghadap Bareskrim Polri.
Luhut ingin membuktikan ancamannya selama ini terhadap Said Didu, bahwa dia tidak main-main. Sementara Said Didu pun sudah siap menghadapi proses hukum tersebut, demi harga diri dan tidak bersedia meminta maaf, karena merasa apa yang dilakukan adalah benar.
Sebagaimana sebelumnya, Luhut merasa nama baiknya tercemar karena tuduhan Said Didu, yang sudah menuduhnya hanya memikirkan uang, uang dan uang, dalam menjalankan berbagai kebijakannya, sehingga mengusik rasa keadilan.
Luhut sudah memberikan waktu bagi Said Didu untuk meminta maaf, namun rupanya Said Didu tidak bersedia, karena dengan meminta maaf, maka berarti dia menerima posisinya sebagai pihak yang bersalah.
Dengan didampingi 100 pengacara, dan juga Letkol CPM (Purn) Helvis. Helvis lah yang belakangan mengkordinir tim advokat dan akademisi di Tim Advokasi Suluh Kebenaran (TASK) untuk mendukung Said Didu.
Rupanya untuk menghadapi seorang Jenderal Purnawirawan, Said Didu merasa perlu mengerahkan kekuatan seorang Purnawirawan TNI, agar bisa memenangkan perseteruan tersebut.
Sebagai masyarakat, kita dipertontonkan "adu kuat" kedua kubu yang berseteru, dan siapa yang paling hebat. Padahal ranah hukum adalah untuk menentukan siapa yang paling benar.
Satu pihak merasa terzalimi kekuasaan, sementara dipihak yang lain merasa harga dirinya yang sudah terinjak. Siapa yang merasa terzalimi, dan siapa yang sudah berlaku zalim terhadap yang lainnya, hanya proses hukum yang akan menentukan.
Meminjam kata-kata seorang penyair Wiji Thukul tentang kebenaran,
"Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam".
Dalam konteks perseteruan diatas, keadaan yang sebenarnya tidaklah seperti yang dikatakan Wiji Thukul, karena Said Didu yang dalam posisi sebagai rakyat, masih bisa menyuarakan kebenaran, dan Luhut sendiri tidak sedang memosisikan diri sebagai yang paling benar.
Luhut merasa Said Didu sudah mengusik pribadinya, bukanlah kebijakan pemerintah yang dilaksanakannya. Dan tuduhan Said Didu sudah mencoreng harkat dan martabatnya sebagai pribadi, bukan sebagai pejabat pemerintah.
Baca Juga: Jika Tidak Membantu, Jangan Seperti Said Didu
Sementara Said Didu menganggap apa yang diucapkannya tersebut, merupakan satu kesatuan dari sebuah kebijakan. Disinilah perlunya dibawa keranah hukum, agar tahu siapa yang salah dan siap yang benar, bukan siapa yang kuat dan siapa yang lemah.
Ada pelajaran yang penting dalam kasus ini, bahwa sebuah kritik yang dilayangkan atas sebuah kebijakan, haruslah bisa disuarakan secara tepat dan konstruktif, agar tidak masuk pada wilayah caci-maki secara pribadi.
Caci-maki adalah perbuatan yang zalim, dan sesuatu yang zalim bukanlah sebuah kebenaran. Menegakkan kebenaran atas sebuah kebijakan yang dianggap salah, haruslah menggunakan fakta dan data, agar tahu dimana salahnya.
Baca Juga: Hati Luhut yang Terluka
Kalau saja Said Didu tidak mengatakan Luhut hanya memikirkan uang, uang dan uang, tapi lebih mempersoalkan di mana letak salahnya kebijakan yang sudah dijalankan Luhut, tentunya tidak ada alasan bagi Luhut untuk memperkarakan Said Didu.
Namun rupanya Said Didu menganggap apa yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran, yang memang harus diungkapkan. Sementara Luhut menganggap apa yang diucapkan Said Didu, sudah mengusik pribadinya.
Sebagai masyarakat kita cuma ingin mengetahui siapa yang benar, bukan siapa yang kuat, atau siapa yang hebat diantara keduanya. Karena hukum digunakan untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk menentukan siapa yang lebih hebat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews