Perbuatan SBY terhadap Megawati tidak termaafkan, tetapi haruskah AHY menanggung kesalahan ayahnya? Dalamnya samudra dapat diukur, tapi siapa yang dapat mengukur dalamnya hati manusia.
Pada tanggal 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, memperkenalkan anggota kabinetnya, Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Kita melihat ada dua nama yang dianggap kontroversial.
Yang pertama adalah Prabowo Subianto, yang merupakan pesaing Presiden Jokowi pada Pemilihan Presiden Periode 2019-2024 yang lalu.
Dan, yang kedua, adalah dokter Terawan, yang sempat dipecat selama 12 bulan (dari 26 Februari 2018-25 Februari 2019) dalam sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran PB Ikatan Dokter Indonesia. Dokter Terawan dikenai sanksi atas pelanggaran etik serius karena metode terapi ”cuci otak” yang diterapkannya pada penderita stroke.
Baca Juga: Mencairnya Hubungan SBY dan Megawati
Prabowo ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan. Mungkin jabatan itu diberikan kepadanya karena dalam kampanye Prabowo mengkritik pertahanan Indonesia yang dianggapnya lemah. Sementara itu, dr Terawan diangkat sebagai Menteri Kesehatan.
Namun, saya tidak mempersoalkan hal itu, karena bagaimanapun membentuk kabinet itu adalah hak prerogatif Presiden.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah pernah terbersit dalam benak Presiden Jokowi untuk mengajak Agus Harimurti Yudhoyono, yang lebih populer dengan panggilan AHY, ke dalam kabinetnya?
Pertanyaan ini muncul karena banyak yang bertanya kepada saya, kalau Prabowo saja diajak, kok AHY tidak diajak bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024? Sulit bagi saya untuk menjawab pertanyaan itu, karena saya pun mempunyai pertanyaan yang sama.
Sebelumnya santer dibicarakan bahwa AHY akan dijadikan Menteri Pemuda dan Olahraga. Namun, rupanya ”Perang Dingin” antara Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih dikenal dengan SBY, masih berlangsung.
”Perang Dingin” itu bermula dari ketidakjujuran SBY terhadap Megawati. Menjelang Pemilihan Presiden 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri bertanya kepada SBY, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, akankah kamu maju sebagai calon presiden? SBY dengan tegas menjawab tidak, padahal di luar hal itu sudah santer dibicarakan.
Namun, tidak lama kemudian SBY mengundurkan diri dari jabatannya dan maju sebagai calon Presiden untuk bertarung dengan Megawati, dan menang. Megawati merasa dikhianati. Salah seorang pejabat yang sangat dekat dengan Megawati di PDIP mengungkapkan, kemarahan Megawati terhadap SBY diperdalam oleh pernyataan SBY yang dianggap Megawati sebagai menghina, atau merendahkan, ayahnya, Presiden Soekarno (1945-1967). Menurut pejabat tersebut, itu tidak termaafkan. Dan, itu yang membuat AHY tidak memiliki peluang.
Annisa Pohan, istri AHY, dalam unggahannya di media sosial menulis,
Butuh hati yang besar sekali, untuk…
meminta maaf kepada yang melukai.
mulai bicara kepada yang memusuhi.
mendekat kepada yang sudah menjauh.
mengalah kepada yang merasa tau segala.
melunak kepada yang keras kepala.
menjadi biasa saja kepada
yang sudah mematahkan rasa.
Baca Juga: Agus Harimurti, Aceh, Pelukan Istri, dan Kisah Cinta Annisa
Kata-kata bijak itu memang tidak secara utuh menggambarkan persoalan yang terdapat antara Megawati dan SBY. Akan tetapi, lewat kata-kata bijak itu, Annisa menggambarkan tidak adanya peluang bagi suaminya untuk menjadi anggota kabinet Presiden Jokowi adalah karena ”Perang Dingin” antara mertuanya dengan Megawati.
Menjadi anggota dalam kabinet Presiden Jokowi sangat penting karena dapat meningkatkan status atau daya tawar politik AHY pada tahun 2024. AHY memerlukan itu jika ingin maju sebagai calon Presiden 2024.
Sayangnya hal itu belum sempat terwujud.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews