Kenapa Anies Baswedan Tak Mungkin jadi Presiden RI? (Bag. 2)

Seseorang itu bisa tumbuh besar, mula-mula karena didukung oleh akar yang kokoh dan tak terlihat dari kultur baik mana ia berasal. Sedang di hari ini, di rumahnya sendiri ia dianggap buah busuk yang menawarkan rasa manis sesaat.

Kamis, 2 Juni 2022 | 08:57 WIB
0
132
Kenapa Anies Baswedan Tak Mungkin jadi Presiden RI? (Bag. 2)
Anies Baswedan (Foto: gatra.com)

Dari paparan tulisan di atas, saya melihat ada tiga kemungkinan "profil baru" presiden kedelapan kelak. Ndilalah, kecenderungan dari nama yang beredar juga menguatkan sinyalemen tersebut.

Pertama, figur yang sebelumnya sudah pernah "nyalon", eh salah mencalonkan diri tapi selalu gagal. Sebutannya bisa banyak "Presiden Cawapres Abadi", atau "Presiden Oldtcrack". Atau mungkin yang agak sopan dan suportif "Presiden Pantang Menyerah". Tentu saja, satu-satunya tokoh yang mewakili profiling ini hanya Prabowo Subianto. Apakah kelak ia akan berhasil, tapi sejarah akan mencatat ia "Cawapres Paling Ngotot".

Di tahun 2024, ia memiliki keuntungan paling tinggi. Secara internal, pencalonannya adalah vital dan tak boleh tidak, karena bila ia tidak nyalon dapat dipastikan dukungan dari "konstituen" partainya akan gembos. Partai sejenis ini bagi saya jenisnya "baya mangap", buaya yang mulutnya mengangga. Tanpa asupan gizi dan hilangnya event, ia akan memakan tuannya sendiri. Karakter umum pada nyaris semua partai yang ada saat ini. Mungkin dengan kekecualian pada PKS dan PSI.

Sedang secara eksternal, ia sudah dapat janji dari Megawati. Catat: Megawati, bukan PDI-P. Bahwa besok, partai banteng ini akan mendukung PS dengan kompensasi Puan Maharani sebagai Cawapresnya. Indikasi terkuatnya bahwa PM tenang-tenang saja dalam "menjual dirinya", dan memilih fokus bekerja menguatkannya. Apalagi, mungkin skenario PDI-P juga cukup cerdas, PM akan meniru skenario ibunya. Di tengah jalan ia akan menggantikan PS. Dengan jalan dan cara apa pun...

Di tingkat Gubernur, pernah dicontohkan oleh Khofifah Indarparawansa. Baru pada Pilgub ketiga di Jawa Timur, ia bisa memenangi jabatan itu. Sayangnya, nafsu besar dan kegigihan itu tak mencerminkan bahwa ia bisa punya karya besar. Ia seolah hanya tampak "gene isa". Atau sekedar pecah telor. Sisi baiknya, pasangan ini, bisa memberikan jaminan semua program Jokowi akan terus berlanjut. Di luar apa iya, mereka punya gagasan baru?

Kenapa? Jika Jokowi mau menjadi "king maker" di dalamnya, jelas faktor hutang budi menjadi penting. Dua gajah besar itu, tentu akan sangat peduli dan memperhatikan itu. Apalagi, dengan berkuasanya tokoh ini. Jaminan, regenerasi untuk Dinasti Jokowi juga akan sangat terjaga....

Kedua, ini hanya sinyalemen dan masih dugaan. Walau kemungkinan terjadinya juga sangat besar. Yaitu "Presiden Pecatan Partai". Dalam konteks ini ndilalah, akhir-akhir ini yang menjadi "media polling" adalah Ganjar Pranowo (GP). Seorang figur yang sesungguhnya terlalu "umum dan biasa saja" di hari ini. Prestasi tak terlalu menonjol, tapi main sosial medianya kenceng. Ndilalah lainnya, ia berada di kandang banteng yang bukan saja pemenang Pileg tapi juga Pilpres dua kali berturut-turut. Hingga gaya pribadinya itu menjadi bermasalah.

Ia dianggap "nranyak", ngelunjak, tidak menjalani disiplin partai, bahkan walau istilahnya tidak tepat benar disebut "kemajon". Kemajon itu bagi orang Jawa memiliki banyak makna. Bisa prestasinya sedemikian cemerlang, dan gilang gemilang. Walau nyatanya tidak. Atau buah pikirnya, terlalu canggih, hingga orang di sekitarnya tidak cukup mampu mengikutinya. Tapi ini juga tidak. Kemajon dalam konteks GP lebih pada menunjukkan kepedean. kesusu, kemaki, keladuk, dst dst...

Sinyalemen yang dikhawatirkan dalam konteks GP, bila muncul sebuah koalisi yang menungganginya. Alasannya, meniru pola SBY dulu: playing victims. Bahwa mantra bahwa konstituen akan sangat senang pada figur yang tersakiti. Ia akan merupakan melodrama yang berulang dalam pentas politik Indonesia. Tapi sekali lagi, itu saja kalau GP akan "tanpa malu" mau mengkhianati partai yang membesarkannya sejak awal. PDI-P itu punya tradisi yang unik dan aneh. Ia membesarkan tokoh sebagai seorang ibu, tapi ketika membunuh pengkhianatnya sebengis... Aish yo wislah...

Mangkanya kemungkinan "Presiden Pecatan Partai" itu sangat kecil. Banyak figur yang pernah mencobanya di PDI-P. Bukan hanya gagal total, bahkan namanya kemudian hilang ditelan zaman...

Ketiga, ini adalah himpunan yang bukan saja yang paling menarik dikaji, tapi juga calonnya paling banyak. Suka atau tidak, era Jokowi memunculkan banyak figur independen hingga ia memunculkan trend kemungkinan "Presiden Tak Berpartai". Lahirnya para pemimpin independen tak berpartai itu sendiri, dilatarbelakangi dua kemungkinan. Secara internal, upaya Jokowi menarik kalangan profesional ke dalam Kabinetnya, bukan saja memberikan energi baru tetapi sekaligus warna baru.

Sedang secara eksternal, berasal dari tingkat daerah cukup banyak tokoh yang berhasil meniti karier dari bawah. Dari seorang profesional, menjadi pejabat pejabat publik di tingkat walikota/bupati untuk kemudian menjadi Gubernur. Dan kemungkinan, karena prestasinya atau kegemaran bersosmedria. Ia jadi dikenal luas sebagai yang dianggap "tokoh nasional". Dalam hal ini, walau tampak mudah bersosmed itu juga butuh "reputasi tertentu".

Di dalam himpunan inilah, Anies Baswedan berada. Dan seharusnya, dalam konteks ini pula ia harus dipersaingkan, dan "profil"-nya akan bersaing menarik hati banyak partai.

Suatu realitas yang sangat keras, karena dalam himpunan ini, ia jadi tampak biasa kalau bukan bahkan tampak terlalu kegeeran bila ingin memnganggap dirinya lebih penting, lebih, dikenal, lebih menjual, lebih berprospek. Realitas sebenarnya, mereka-mereka yang ini di luar Anies Baswedan bahkan masih fokus bekerja, belum lagi menjual diri, jelas tidak sembrono dan terburu-buru.

Mari kita dedah, rival AB dalam himpunan ini.

Pertama, saya harus meletakkan nama ini sebagai paling tinggi: Sri Mulyani Indrawati (SMI). Seorang sarjana akutansi, yang sangat memahami ekonomi makro dan mikro. Ia nyaris sempurna sebagai seorang ekonomi, baik secara akademis maupun keorganisasian. Prestasi dan reputasi SMI diakui secara terhormat baik di tingkat nasional maupun internasional. Kedudukannya sebagai Bendahara Negara, nyaris tak tergantikan. Ia barangkali tokoh yang tahu bagaimana harus mengelola negara Pasca Jokowi.

Baca Juga: Menakar Pencapresan Anies Baswedan, antara Konstelasi Politik dan Realitas

Ia tahu nyaris setiap detail duit negara, baik asalnya maupun penggunaannya. Tanpa dirinya, entah bagaimana nasib keuangan negara kita. Terbukti, saat ia dipecat SBY dulu, keuangan negara morat-marit. Kas kosong pada masa akhir SBY, merepotkan Menteri Keuangan baru di bawah Jokowi. Hingga memaksa Jokowi melakukan resuffle dan terpaksa meminta SMI pulang untuk mengkoreksi kesalahan yang terjadi sekaligus mencari solusi bagaimana memperbaikinya.

Ia adalah figur bersih, tanpa indikasi KKN apa pun. Ia adalah figur yang hingga saat ini gigih melawan korupsi dan menarik pulang harta negara yang dijarah di masa lalu. Ia tahu betul bagaimana hutang dikelola. Bagi saya, justru SMI-lah jaminan terjadinya estafet hal baik kepemimpinan Jokowi. Saya yakin, bila ia terpilih kelak. Ia akan menutup lubang buruk kelemahan Jokowi dalam hal menghadapi para oligraki. Ia transparan, tajam dan tegas. Dan tahu betul bagaimana mengelola pajak sebagai sumber pembiayaan negara untuk digerakkan dan dikelola.

Kedua, Jendral Andhika Perkasa. Ia adalah kuda troya yang disusupkan secara tak terduga dalam pemerintahan melalui jalur militer. Tak sebagaimana gaya tokoh militer sebelumnya. Ia sangat terbuka dan peduli hukum. Ia bisa diharapkan sebagai palang pintu bagi semakin besarnya arus radikalisasi dan permainan politisasi agama. Saya percaya hanya kalangan militer yang nasionalis yang mampu membendungnya. Di tengah gelombang besar militer "oportunis" yang sekarang sangat menonjol.

Sayangnya, ia hadir "agak terlambat". Ia seolah memaksakan diri hadir, dalam waktu yang mepet. Ia hadir dengan menyingkirkan tradisi pergantian Panglima TNI yang bergiliran. Koneksinya dengan mertuanya yang mengenali detail data intelejen, bisa jadi nilai lebih tapi sebaliknya juga merugikannya di masa datang. Dengan Dudung Abdrachman ia dianggap sebagai "harapan wakil militer" yang lebih ramah pada civilizasi dan demokrasi dalam peta perpolitikan nasional di masa datang.

Ketiga, Erick Thohir. Banyak yang menduga ia adalah Menteri kesayangan dan kepercayaan Jokowi. Dipilihnya dirinya sebagai Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Maruf pada Piplpres 2019 lalu. Setelah ia dianggap sukses sebagai Ketua Konsursium Penyelenggaran Asian Games 2018. Bagi saya, ia adalah patron bagi anak emas Jokowi, yaitu Kaesang Pengarep. Seorang bocah thengil dengan gaya dan bau milenialisme terlalu menyengat itu. Apa yang dilakukan ET ditiru habis KP, yang bahkan memodalinya untuk mengelola klub sepakbola medioker Persis di kota kelahirannya Sala.

Sayangnya, reputasinya sebagai pengusaha oligarki bisa menjadi ganjalan. Tampak independen, tetapi sangat menyusu siapa pun pemerintah yang berkuasa sangat kuat melekat. Belum lagi kasus besarnya yang tertimbun dalam acara Asian Games 2018, di waktu terakhir ia harus dihantam kasus GOTO, yang berindikasi mengakibatkan kerugian finansial PT Telkom sebagai anak usaha di bawah Kementrian BUMN.

Memang pada banyak kasus itu, tak pernah secara langsung menuding pada dirinya. Lingkaran naturalnya yang akan terus mengikuti kemana ia pergi. Tapi sekali lagi, demikianlah watak oligarki, ia bagai kentut dari pantat atau keringat pada ketiak kita. Tidak menggangu kita, tapi menyebalkan pada orang lain. Bila kelak ia dicawapreskan, bagi saya ET adalah representasi terkuat dari kalangan oligrakh itu...

Keempat, Ridwan Kamil. Walau ia adalah yang paling "connecting" dengan saya, karena ia adalah adik kelas di SMAN 3 Bandung. Saya bukanlah fans-nya, tapi tetap harus saya catat secara obyektif. Ia adalah yang paling layak disandingkan secara head to head dengan Anies Baswedan. Bukan saja dari usia, karier politik dan birokrasinya, tapi terutama dari kalangan yang berpotensi mendukungnya. Golongan yang suka mempolitisasi agama. Bila AB adalah sekoci pertama, maka RK adalah sekoci kedua.

Sayangnya, peristiwa terakhir hilangnya anaknya di sungai di Swiss. Walau publik tampak "supportif dan empatif", tapi akan menjadi ganjalan ke depan. Kegilaannya pada sosmed, terutama instagram sudah sampai pada titik akut. Peristiwa terakhir itu mengindikasikan bahwa ia tak bisa menahan diri, dengan plesiran ke luar negeri di saat rakyatnya masih dalam kesusahan yang sangat setelah pandemi. Suatu perilaku tak empatif yang sekarang jadi umum dan justru secara hiperbolik jadi ajang pamer "kaum the have".

Peristiwa itu merupakan peringatan dari Tuhan melalui sinyal dan kehendak alam" apalah artinya sebuah konten!

Kelima, keenam, ketujuh dan seterusnya. Akan memunculkan lebih banyak nama lagi. Semisal Susy Poejiastuti yang masih mempesona dan menimbulkan rasa rindu. Prestasinya dulu, seolah hilang lenyap karena kepentingan pribadinya terpraktekan dengan gaya yang sangat oligarkis. Atau semisal yang punya amunisi sangat besar dan didukung sindikat ini itu seperti Gatot Nurmantyo. Pertanyaan besar bagi kita, kenapa ia tak segera bikin partai misalnya untuk mewadahi ambisinya. Juga harus disebut para tokoh tak bisa diuntung, tapi sekaligus tak punya malu seperti Rizal Ramli.

Di luar, ketiga kelompok jenis presiden di atas mereka adalah "Presiden Berpartai", yang sudah jamak dan melanjutkan apa yang terjadi. Ia bukan anomali yang justru menjadi pola baku. Mereka yang bahkan ragu laku dijual bila tetap menggunakan kendaraan yang sama. Mereka-mereka yang hanya mengandalkan uang, tanpa pernah bisa membeli keberuntungan. Mereka-mereka ini hanya penggembira, dengan tujuan akhir diajak bergabung masuk dalam koalisi pemenang Pilpres.

Baca Juga: Jawa, Politik Identitas dan Anies Baswedan

Dari paparan di atas, masih yakin Anies Baswedan bisa jadi Presiden. Hawong, saya saja dan sebagian sangat besar warga Jogja tidak bersedia mendukungnya. Kok Warga Indonesia masih mau ditipu dan dimanipulasinya.

Seseorang itu bisa tumbuh besar, mula-mula karena didukung oleh akar yang kokoh dan tak terlihat dari kultur baik mana ia berasal. Sedang di hari ini, di rumahnya sendiri ia dianggap buah busuk yang menawarkan rasa manis sesaat. Ia tampak menjanjikan, karena publik tak benar-benar mengenal kepribadian aslinya.

Namanya terlalu mudah lenyap tersapu, bukan karena tumpukan kasusnya. Janji-janji yang tak tertepati. Tapi terutama karena penolakan alam yang melingkunginya. Ia bisa terus menerus berbohong, dan mendukung tetap berada di belakangnya. Ia bisa saja dianggap sebagai "energi rakyat", hanya karena kepentingan agam yang ada di belakangnya.

Bagaimana ia merasa representasi wakil Tuhan, bila alam saja tidak mau bersahabat dengan dirinya...

(TAMAT)

NB: Sayangnya, sekali sayangnya. Dari semua nama yang saya sebut di atas. Saya sungguh heran, indikasi "bau Amerika"-nya sangat menyengat. Saya tidak tahu, itu sebuah kebetulan atau by-design. Mereka menempuh jalur akademis, intelektual dan karier dengan pola yang nyaris sama. Walau tetap saja anak emasnya adalah Anies Baswedan. Ia sejak dini, sudah terdidik sebagai "American-Style" atau "American Way". Seharus masyarakat Indonesia membaca AB dari sisi itu.

Kita pernah merasakan betapa remuknya Indonesia di bawah SBY, dan upaya mereparasinya sungguh sangat berat. Segunung duit nyaris tak berharga, karena hilang tak optimal di jalan. Pola subsidi yang tidak tepat sasaran yang dipersekusi sebagai sikap populis dan merakyat. Sesuatu yang saat ini berulang dimainkan secara vulgar di DKI Jakarta. Kota yang makin remuk, warganya dianggap bahagia, asal pemimpinnya berbau surga yang sama.

Terakhir saya mau katakan, kenapa AB tak mungkin jadi presiden. Dari uraian di atas, polanya sudah dipakai dan pernah ada. Padahal premis dasarnya pola yang sama tak akan pernah berulang. Kali ini, nasib dan profiling sama persis dengan SBY. Keduanya memainkan playing victims dan membangun citra dirinya sebagai orang teraniaya sebagai pecatan menteri.

Konon seorang yang tidak amanah, yang munafik, dan tak bisa dipercaya. Adalah asal mula seseorang menjadi waham, seorang yang merasa dirinya selalu benar. Satu-satunya jenis penyakit jiwa yang tak tersembuhkan.

***

Tulisan sebelumnya: Kenapa Anies Baswedan Tak Mungkin Jadi Presiden RI? (Bag. 1)