"Alternative Facts," Perangkat Utama "Trumbowonomics"?

Rabu, 31 Oktober 2018 | 06:33 WIB
0
1087
"Alternative Facts," Perangkat Utama "Trumbowonomics"?
Prabowo dan Donald Trump [Kompasiana.com/tilariapadika]

Dua puluh bulan lalu, 20 Januari 2017, Donald Trump resmi dilantik jadi Presiden Amerika Serikat. Juru Bicara Gedung Putih Sean Spicer mengklaim pelantikan Donald Trump adalah inagurasi Presiden AS yang paling banyak dihadiri rakyat. Klaim ini segera disambut protes masyarakat dan media AS sebab nyata-nyata tidak demikian.

Dua hari setelah pelantikan  Trump, penasihat Gedung Pulih Kellyanne Conway dalam wawancara dengan Chuck Todd dari NBC mengatakan  yang Sean Spicer sampaikan adalah alternative facts. Semenjak itu istilah alternative facts populer dan merupakan fitur utama komunikasi politik pemerintahan Donald Trump.

Alternative facts kira-kira berarti argumen yang digunakan untuk mendukung klaim yang tidak sesuai realitas atau tidak disertai pembuktian yang dapat diterima kaidah ilmu pengetahuan.

Ada yang kasar menyebut alternative facts berpadanan kebohongan atau penipuan. Ada pula yang seperti orang Indonesia, karena sedang tren, menyebutnya hoaks.

Namun bagi saya alternative facts tidak sesimpel hoaks. Ratna Sarumpaet bonyok karena dipukuli itu hoaks setelah disebarluaskan oleh Prabowo Subianto dan kawan-kawannya.

Sementara alternative facts adalah pernyataan bahwa pemerintahan Joko Widodo tidak demokratis, represif, otoriter, dan sekian banyak cap negatif yang sulit ditemukan landasannya namun kubu politisi oposisi terus menyakinkan publik bahwa demikianlah kenyataannya.

Prabowo dan Hashim Djoyohadikusumo termasuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia dan pernah menguasai jutaan hektar lahan konsesi hutan dan tambang itu fakta. Namun pernyataan bahwa Prabowo Subianto adalah seorang anti-neoliberal dan karenanya menolak bentuk-bentuk penguasaan lahan oleh swasta adalah alternative facts. Ia bertentangan dengan kenyataan yang telanjang atau setidaknya tidak cukup bisa dibuktikan namun para pengikutnya seoalah-olah percaya, bahkan mengimaninya.

Coba lihat contoh lain dalam pemerintahan Donald Trump.

Soal kemajuan ekonomi, Donald Trump selalu mengklaim dirinya lebih baik dari Barrack Obama, bahkan yang terbaik di antara Presiden Amerika Serikat yang pernah ada.

Sayangnya kenyataan data-data ekonomi tidak mendukung klaim Trump. Coba lihat perbandingan data-data ekonomi penting antara Pemerintahan Donald Trump dengan sejumlah Presiden AS lain berikut.

Grafik di atas menunjukkan bahwa dalam prestasi peningkatan GDP, Donald Trump memang berhasil meningkatkan laju pertumbuhan GDP dari 2,2 persen pada masa Obama menjadi 2,6 persen. Namun prestasi Obama lebih hebat karena membalik tren negatif semasa pemerintahan Bush menjadi positif. Obama juga berhasil meningkatkan laju pertumbuhan GPD dua kali lipat, darii 1,1 persen di masa Bush jadi 2,2 persen.

Kini lihat grafik perbandingan antara prestasi Obama dan Trump dalam hal pertumbuhan GDP Caturwulan. Pemerintahan Obama mencatat 4 pertumbuhan caturwulan yang lebih tinggi dibandingkan yang dicapai Donald Trump.

 

Dalam hal tingkat pernyerapan angkatan kerja di sektor non-pertanian, semasa pemerintahan Obama ternyata pernyerapan angkatan kerja lebih tinggi di bulan Oktober 2015 dan Juli 2016 dibandingkan tingkat kesempatan kerja tertinggi yang dicapai Donald Trump pada Februari 2018.
Demikian pula dalam untuk rata-rata tingkat upah. Pada masa pemerintahan Obama rata-rata tingkat upah perjam lebih tinggi dibandingkan yang dicapai Donald Trump.

Lucunya meskipun data-data resmi membantah, pemerintahan Donald Trump masa bodoh, terus melaju dengan klaim-klaim omong kosongnya. Sikap ngotot mengklaim tanpa basis data valid inilah yang disebut alternative facts.

Bagaimana dengan Prabowo Subianto?

Kalau sudah bicara Donald Trump, tidak terhindarkan saya  selalu tergoda untuk bicarakan juga Pak Prabowo Subianto.

Mungkin saya sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Sejak melihat basis tendensi politik para pendukung Donald Trump dan Prabowo yang sama-sama gandrung kepada sentimen identitas (SARA), saya selalu memetakan Prabowo dan Donald Trump sekelompok dalam peta aliran politik. 

Saya tak bisa bebaskan diri dari apriori itu sebab kian kemari kian banyak persamaan antara keduanya.

Misalnya ketika saya coba buat pemetaan berdasarkan politics of hope dan politics of fear, tampak gamblang jika narasi politik yang diangkat probowo seirama dengan versi Trump, membuat keduanya berada dalam kubu politics of fear. [Baca DI SINI tentang itu]

Nah bagaimana soal alternative facts ini?

Jika pada kasus Amerika Serikat Donald Trump menggunakan alternative facts untuk membangun citra positif pemerintahannya (defence), pada kasus Indonesia kubu Prabowo menggunakan ini untuk menyerang petahana, Joko Widodo yang kini sedang memerintah.

Kita lihat misalnya soal  kemiskinan. Sangat jelas kubu Prabowo Subianto ingin membangun narasi pemerintahan Joko Widodo bukan saja gagal menekan angka kemiskinan, lebih dari itu di era pemerintahan Joko Widodo angka kemiskinan justru bertambah.

Problemnya data statistik justru menunjukkan tren penurunan persentase penduduk miskin yang konsisten sejak 2005 dan pada masa pemerintahan Joko Widodo mencapai tingkat terendah (10,12% September 2017) dan (9,82% September 2018).

Untuk mematahkan citra sukses ini, para politisi kubu Prabowo dan sejumlah ekonom menggunakan ukuran kemiskinan versi Bank Dunia. Tetapi mereka salah kaprah menafsirkan standar USD 1,9 (2011 PPP)  itu dikoversi seturut nilai kurs pasar dolar-rupiah.

 

Ketika menulis tentang probem ini (Baca: Soal Indikator Kemiskinan, Jangankan Politisi, Akademisi pun Bisa Salah), saya menduga orang-orang ini salah kaprah karena kurang update pengetahuan. Kini jika mempertimbangkan alternative facts ini, saya lebih sreg menduga ini kekeliruan yang disengaja. 

Setelah banyak pihak menjelaskan bahwa ukuran USD 1,9 (2011 PPP) harus dikonversi berdasarkan paritas daya beli ke dalam rupiah, kubu Prabowo sepertinya mensenyapkan penggunaan acuan Bank Dunia sebagai bahan argumentasi.

Wajar saja. Jika menggunakan USD 1,9 (2011 PPP) secara benar justru Pemerintahan Joko Widodo akan diuntungkan sebab dengan itu poverty rate akan lebih rendah lagi, hanya 6,5 persen pada 2016.

Sebenarnya sepintas saya lihat dalam dialog atau perdebatan di tv sempat ada upaya cerdas kubu Prabowo untuk mengulik lebih dalam angka kemiskinan dengan menilai indeks kedalaman kemiskinan atau poverty gap index.

Povety gap index mengukur tingkat rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Kian besar nilai Poverty gap index berarti kian kecil rata-rata pengeluaran per kapita penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jadi jika indeks kedalaman kemiskinan membesar, maka meski persen penduduk miskin berkurang, kubu Prabowo bisa menyerang pemerintah pada soal tingkat kedalaman kemiskinan yang kian parah.

Namun upaya itu sia-sia sebab saya cek ternyata poverty gap index pun mengalami perbaikan. Sejak 2015, indeks kedalaman kemiskinan konsisten turun dari 1,97 menjadi 1,71 pada 2018, yang artinya rata-rata pengeluaran perkapita penduduk yang tinggal di bawah garis kemiskinan terus bertambah sehingga kian sempit celahnya dengan garis kemiskinan. Ini hal baik tentu saja.

 

Tampaknya karena tak ada celah lagi membangun narasi kegagalan Jokowi secara fair, dibangunlah narasi baru yang kurang sehat bahwa data BPS dikendalikan pemerintah. 

Dugaan saya hal ini berbasis salah kaprah terhadap pernyataan sejumlah akademisi bahwa intervensi pemerintah bisa menyebabkan hasil pengukuran statistik berbeda.

Yang dimaksudkan oleh kalangan akademisi sebenarnya begini. Contohnya jika BPS melakukan pengumpulan data kemiskinan sebelum pembagian beras untuk gakin (raskin) jumlah penduduk miskin akan lebih banyak dibandingkan jika pengukuran dilakukan setelah distribusi raskin.

Namun ini bukan kejahatan atau rekayasa. Pemerintah memang memiliki program dan diperintah undang-undang untuk menyediakan jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin, salah satunya dengan memastikan ketersediaan pangan melalui pembagian raskin atau operasi pasar tertutup. Jadi tidak ada salahnya.

Gara-gara ini ekonom Faizal Basri sempat marah-marah kepada Sandiaga Uno yang melontarkan pernyataan data BPS dikuasai dan dikontrol pemerintah. Bagi Faizal Basri, dan tentu saja bagi semua orang waras di mana pun, tuduhan Sandiaga Uno adalah tuduhan serius. 

Jika data BPS--lembaga yang diperintah undang-undang untuk menyajikan data bagi penyusunan kebijakan publik pemerintah dan bagi begitu banyak kerja-kerja akademis--dikuasai dan dikendalikan pemerintah, konsekuensinya jutaan jurnal dan buku  harus dibakar sebab berbasis pada data-data rekayasa.

Sandiaga Uno dan para politisi lain di kubu Prabowo hanya berhak menilai data BPS tidak valid jika mampu membuat sensus atau survei sendiri dengan jumlah dan sebaran sampel, data series, dan metodologi yang lebih baik.

Saya pernah bekerja cukup lama dalam projek pemerintah sebuah negara di pasifik yang karena kurang yakin dengan data BPS  membiayai sendiri survei besar-besaran untuk kebutuhan data mereka. Namun itu pun data yang mereka hasilkan tetap digunakan berpadanan dengan data BPS, menjadi sekedar triangulasi agar lebih yakin.

Tampaknya kubu Prabowo kadung  mantap dengan narasi Jokowi gagal entaskan kemiskinan. Sudah jadi harga mati. Maka tanpa basis data valid dibuatlah pembenaran a la Ferry Juliantono: bicara kemiskinan adalah bicara perasaan.

Baca soal "ekonomi perasaan" Kubu Prabowo ini dalam artikel "Kalau Kubu Prabowo Pakai Rasa untuk Ukuran Kemiskinan, Tanpa Titik Temu Perdebatan Ini"

Well, ketika kubu Prabowo mencoba memaksa keyakinan publik bahwa penduduk miskin bertambah menggunakan ukuran subjektif perasaan, keyakinan itu hanya sekedar alternative facts. Itu akan jadi kebenaran palsu yang diterima hanya karena propaganda masif dan watak kepala batu orang-orang yang bersedia menerimanya.

Alternative facts mungkin akan bisa mengantarkan Prabowo berkuasa seperti Trump. Modalnya hanya kuat-kuatan dan ngotot-ngototan berpropaganda. Tetapi sayang sekali jika Indonesia akhirnya diperintah oleh kalangan yang menghalalkan cara-cara seperti ini untuk meraih dukungan publik.

Daripada keukeuh dengan narasi Jokowi gagal berdasarkan alternative facts, Prabowo sebaiknya menjanjikan capaian lebih baik. Misalnya menekankan lagi  janji akan menjaga pertumbukan 2 digit selama 10 tahun. Meski kelak hal itu akan dibantah oleh kubu Jokowi, toh itu bukan berbasis alternative facts sebab berupa rancangan dan prediksi ke depan.

Cukuplah rezim alternative facts itu ada di Amerika Serikat. Jangan pula ia terwujud di Indonesia. Alasannya sederhana. Tak ada kepalsuan yang membawa kebaikan. Lagi pula Prabowo tentu tak ingin jika kelak kecenderungan eksploitasi perangkat alternative factsdi bidang ekonomi disebut juga sebagai Trumpbowonomics, bukan?

Maaf, sok tahu.

Sumber:

  1. Robert Shapiro (Brookings.edu, 17/05/2018) "Trump lags behind his predecessors on economic growth."
  2. William Cummings (usatoday.com, 17/01/2018) ""'Alternative facts' to 'witch hunt': A glossary of Trump terms"
  3. Steven Rattner (Businessinsider.com, 31/07/2018 ) "Trump's recent statements about the economy are false or exaggerated --- here are 4 charts that prove it." 
  4. Tribunnews.com (30/08/2018) "Faisal Basri Sebut Pernyataan Sandiaga Uno Soal Pemerintah Kontrol Data BPS adalah Tuduhan Serius."
  5. Tilaria Padika a.k.a George (Kompasiana.com, 13/10/2018) "Kalau Kubu Prabowo Pakai Rasa untuk Ukuran Kemiskinan, Tanpa Titik Temu Perdebatan Ini" 
  6. Tilaria Padika a.k.a George (Kompasiana.com, 18/08/2018) "Soal Indikator Kemiskinan, Jangankan Politisi, Akademisi pun Bisa Salah."

Published juga di Kompasiana

***