Kartini Sentil Para Wanita Milenial sampai Staf Khusus Presiden

Maka tak mengherankan ketika di mana-mana para pria merokok di teras. Wanitanya menyapu lantai halaman.

Selasa, 21 April 2020 | 19:09 WIB
0
212
Kartini Sentil Para Wanita Milenial sampai Staf Khusus Presiden
Ilustrasi Kartini (Foto: Qurera.com)

Ibu Kita Kartini. Ini lagu yang mengiringi saya, Anda, Papa, Opa, Kakek, Om dan Tante, bukan milenial, ketika 21 April dirayakan. Lagu itu tetap tentang ketangguhan seorang Putri Ningrat Jawa. Putri kelas atas yang melihat ke bawah, dengan pendekatan pendidikan dan budaya. Pendidikan sebagai kunci untuk membongkar kejumudan, kebodohan, dan bahkan peradaban yang tidak setara.

Kartini membongkar seluruh kemunafikan budaya (baca: ketidaksetaraan dan keadilan) Jawa, dengan kesopanan dan strategi yang luar biasa. Dia menghitung seluruh biaya sosial dan politik secara luas di tengah kongkalikong Priyayi Jawa yang dininabobokan dalam kekuasaan semu; dicengkeram oleh pembatasan untuk bergerak maju. Pendidikan dibatasi khusus kalangan perempuan. Itu berlaku bukan hanya di Jawa dan Hindia Belanda – sesungguhnya hak-hak perempuan belum diakui.

Dan, sama sekali tidak ada kesetaraan antar umat manusia, antara lelaki dan perempuan, bahkan perbudakan pun masih legal di zaman Kartini hidup (1879-1904), Kartini lahir hanya 16 tahun selepas Belanda menghapus perbudakan di tanah koloninya seperti Suriname.

Mental dominasi lelaki dalam budaya Priyayi yang dibentuk oleh Kerajaan Nusantara pasca Hindu dan Buddha (sejak Kerajaan Demak) dilanjutkan oleh Belanda. Belanda melanjutkan budaya lelaki unggul, bahkan menjerumuskan stratafikasi sosial di negeri jajahan Hindia Belanda. Eropa. Asia Timur. Pribumi. Peranakan. Pribumi pun dikotakkan menjadi kalangan Raja, Aristrokat, dan Jelata.

Untuk menciptakan dominasi aturan tidak setara, Belanda membatasi akses pendidikan. Sekolah Ongko Loro (angka 2) diciptakan untuk mencetak tenaga kerja administrasi, mandor perkebunan dan jawatan (dinas) Belanda. Di Jawa, sebagai pusat kemajuan dan cengkeraman koloni, hanya bagi keluarga yang bergelar Bendoro, Raden, Raden Mas, yang berhak belajar. Hanya untuk lelaki. Perempuan terpinggirkan karena menikah usia belasan tahun, tak punya waktu mengejar pendidikan.

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhingingrat beruntung karena dia anak Bupati Jepara. Aristrokat yang bisa mengenyam pendidikan. Sekolah Eropa. Itu pun dibatasi. Kartini sadar bahwa pendidikan adalah pintu mengubah peradaban sekaligus nasib bangsa – nasib perempuan.

Kartini muda yang aristrokat pun tak bisa keluar dari tragedi pernikahan muda. Dan di situlah kehidupan dia diakhiri. Termasuk kematiaannya. Pendidikan bagi Kartini adalah hak setiap manusia. Agar manusia bisa mengembangkan seluruh potensinya.

Persoalan yang sama masih menjadi masalah di NKRI setelah 116 tahun sejak kematian Kartini. Pendidikan dan Riset menjadi ajang korupsi. Uang Rp 26 Triliun dalam zaman Menteri M. Nasir hanya menjadi onggokan kertas riset, tanpa bukti impementasi riset di dunia nyata. Dan, pendidikan di zaman Jokowi, NKRI masih tetap sama: dalam cengkeraman bisnis pendidikan. Yang tak berujung.

Transformasi budaya kesetaraan manusia yang ingin diubah Kartini pun gagal total. Kekuatan dominasi lelaki, dalam tradisi budaya dan agama, tetap berlanjut sampai saat ini. Budaya Nusantara menempatkan pria sebagai Tuan, lelaki sebagai mandor, kaum hawa sebagai orang yang dilayani. Perempuan yang melayani.

Maka tak mengherankan ketika di mana-mana para pria merokok di teras. Wanitanya menyapu lantai halaman. Pria nongkrong main gaple, wanitanya memasak. Pria kongkow di pos ronda, para wanita mencari kayu bakar di pinggir hutan. Pria tidak pernah menyiangi dan membersihkan gulma hamparan padi di sawah. Lelaki hanya membenahi galengan (tepian batas sawah). Pria merokok di rumah, para wanita mencari rumput buat ternak di rumah. Para wanita yang tangguh. Lelaki pemalas dan lemah.

Warisan sosiologis hubungan Tuan-Budak, Tuan-Hamba, Bendoro-Abdi, Lelaki-Wanita yang diciptakan dalam stratafikasi manusia, dan didorong oleh Pemerintah Hindia Belanda. Konsep ini didukung oleh kalangan ningrat aristroksi Nusantara, tetap langgeng sampai sekarang.

Bahkan di tengah gerakan Khilafah perempuan dimarjinalisasikan menjadi budak sek semata, memroduksi anak untuk perjuangan akhirat, yang sayangnya semakin hari makin berkibar dengan gerakan poligami: yang sangat ditentang Kartini.

Kini saatnya Para Kartini Milenial, seperti Angkie, harus berani berteriak. Seperti Marsinah. Seperti Laksamana Mala Hayati, Rohana Kudus, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Mutia, Fatmawati Soekarno, HR Rasuna Said itu perempuan gentlemen, Hadjah Rangkayo Rasuna Said. Dewi Sartika, Walanda Maramis, Nyai Ahmad Dahlan, Nyi Ageng Serang. Konflik kepentingan Belva Ruangguru dan Andi Staf Khusus Presiden harus diteriaki. Malu sama perempuan pahlawan tangguh. Selamat hari Kartini.

Ninoy Karundeng, penulis.

***