Revolusi Sampah

Jika Revolusi Sampah sudah berjalan, maka jika ada orang membuang sampah dari mobil di jalan raya, hukumannya bukan hanya difoto, diunggah di media sosial, tapi diproses hukum.

Rabu, 26 Juni 2019 | 20:40 WIB
0
361
Revolusi Sampah
Sampah (Foto: Ulya)

Dua bulan lagi Indonesia akan memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-74. Pertanyaan paling sering terdengar setelah 74 tahun Indonesia merdeka adlah, sudah sampai manakah perjalanan negeri ini?

Tujuan dari perjalanan adalah cita-cita. Pada alinea kedua Pembukaan UUD 1945, tegas disebutkan bahwa cita-cita Bangsa Indonesia adalah “... mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” 

Saat ini Indonesia sudah merdeka. Bersatu? Sudah. Berdaulat? Sudah. Adil? Relatif sudah. Makmur? Nah... indikator paling signifikan dari kemakmuran satu negara adalah pendapatan per kapita. Makin tinggi rata-rata pendapatan per kapita per tahun penduduk satu negara, makin makmur. 

Berapa besar perdapatan per kapita minimal satu negara untuk dapat disebut makmur? Gak ada batasan baku. Tapi gampangnya, bandingkan dengan negara-negara tetangga terdekat. Per tahun 2018, rata-rata pendapatan per kapita per tahun penduduk Indonesia sebesar US$4.100. Lalu bandingkan dengan Malaysia yang US$10.200 dan Thailand US$6.800. Indonesia jauh tertinggal. 

Untuk meningkatkan rata-rata pendapatan per kapita per tahun penduduk Indonesia, seperti yang terjadi di negara manapun, Pemerintah terus berupaya membangun, khususnya pada sektor-sektor produktif yang memicu pertumbuhan ekonomi.

Berangkat dari titik Indonesia saat ini, dengan rata-rata pendapatan per kapita per tahun penduduk Indonesia sebesar US$4.100, untuk bisa mencapai tingkat kemakmuran setara Thailand (US$6.800) misalnya, tentu perlu proses dan perlu waktu.

Tapi sebenarnya, Indonesia punya sesuatu, ‘magical stuff’ yang bisa meningkatkan kemakmuran (rata-rata pendapatan penduduk per kapita per tahun) dengan signifikan dan relatif cepat. Apa itu? Sampah. Tapi syaratnya sangat berat: semua warga negara Indonesia harus berpikir dan berperilaku waras, rasional, konsekuen, dan konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Jadi Revolusi Mental yang dicanangkan Pak Jokowi, dimulai dari perubahan sikap dan persepsi masyarakat terhadap sampah. 

Caranya? Mudah. Masyarakat, di rumahnya masing-masing menyediakan dua tempat sampah, untuk sampah organik dan sampah inorganik (yang bener bukan unorganik). Begitu juga ketika berada di luar rumah (ruang publik), apapun agamanya, semua orang wajib membuang sampah pada tempatnya dengan benar. Bagaimana untuk memastikan masyarakat mau membuang sampah pada tempatnya dengan benar? Dipaksa! 

Begini. Sejauh ini Indonesia tidak berkonflik, apalagi berperang dengan negara manapun. Nah tentara yang ada di tangsi-tangsi militer itu bisa dikaryakan, berjaga di tempat-tempat umum untuk mengawasi dan mengingatkan jika ada warga yang membuang sampah tidak pada tempatnya. 

Kenapa harus tentara? Pertama, sebagian besar orang Indonesia yang baru merasa takut jika berhadapan dengan orang yang lebih kuat secara fisik. Kedua, dari apa yang terjadi selama ini, banyak juga tentara yang membuang sampah sembarangan di tempat umum.

Kalau dia diingatkan, gak terima, marah, ngajak berantem (udaaaahh... ngaku saja). Kan kalo yang mengingatkannya juga tentara, masak iya gak sadar? Tapi kalo mau berantem, ya berantemlah. Sepadan toh, tentara sama tentara. Kalo terjadi, pasti masuk media sosial, lalu dihukum sama atasannya.

Bagaimana kalau ada pertanyaan, "Kan tentara bukan aparat hukum, bukan penyidik"? Kan bisa sebagai saksi pelapor. Selanjutnya diurus polisi atau POM TNI. Pengerakan tentara ini cukup dilakukan selama tiga bulan dalam setahun. 

Lalu, kewajiban Pemerintah Kota dan Kabupaten menyediakan tempat sampah kembar, untuk sampah organik dan inorganik yang jumlahnya memadai. Loh... bukannya sekarang di ruang-ruang publik di Jakarta sudah banyak disediakan tempat sampah kembar untuk sampah organik dan inorganik (tertulisnya gitu)?

Ah... itu gaya doang. Coba aja tungguin sampai ada petugas yang mengambil sampah dari tempat sampah kembar itu. Sampah dari kedua tempat sampah itu dimasukkan ke satu kantong plastik besar, disatukan. 
Cukup sampai situ? Tidak. Begini, coba lihat deretan botol plastik air kemasan di toko atau warung.

Di negara maju, alur ‘perjalanan’ botol plastik air kemasan itu sudah jelas. Dibeli konsumen, (setelah airnya diminum) botolnya masuk tempat sampah inorganik, diangkut truk sampah (truknya bagus) ke pabrik daur ulang, diolah jadi produk baru.

Sedangkan sampah organik diolah untuk menghasilkann gas bio, dan ampasnya dijadikan pupuk organik. Tidak ada yang terbunag, semua bermanfaat, bernilai ekonomi. 

Di Indonesia tidak begitu. Botol palstik air minum kemasan bisa dibuang ke tong sampah, lalu diangkut dan ditumpahkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), bisa dibakar, bisa juga dipungut pemulung untuk djual ke bandar dan dijual lagi ke perusahaan daur ulang.

Tapi, botol itu bisa juga langsung berakhir di tempat pembakaran sampah, atau dibuang sembarangan di mana saja, di selokan, masuk ke sungai, dan berakhir di laut. Begitu juga sampah organik. Sebagian besar membusuk di tempat sampah, sisanya dibakar di TPA. 

Bahwa setiap Pemerintah Kota dan Kabupaten punya armada truk sampah, iya. Tapi coba perhatikan, seperti apa kondisinya? Truk-truk pengangkut sampah itu lebih mirip besi rongsokan penuh karat, bolong-bolong. Kadang ketika melintas di jalan raya meneteskan air sampah yang sangat bau.

Truk-truk itu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara yang biasanya berada di pinggir jalan. Sampahnya sering meluap ke badan jalan, bau, dikerubuti lalat. Hallaaahhh... kebersihan adalah sebagian dari iman. 

Di semua kota di negara maju selalu ada perusahaan pengolah sampah. Mungkin, margin yang didapat oleh perusahaan pengolah sampah tidak sebesar pada sektor dengan bisnis lain. Tapi keberadaannya mutlak dibutuhkan oleh masyarakat kota. Karenanya, perusahaan pengolah sampah biasanya berbentuk BUMD. Atau, perusahaan swasta yang mendapat berbagai insentif dari pemerintah.

Nah, sepertinya mendirikan perusahaan pengolah sampah di kota-kota di Indonesia bukan hal yang mustahil. Jika untuk mendirikan BUMD teralu berat bagi Pemerintah Kota atau Kabupaten dari segi finansial, kenapa tidak ditawarkan ke swasta?

Dengan berbagai insentif pajak, biaya pendirian perusahaan, dan lain-lain, atau bila perlu, janjikan insentif silang. Bagi investor yang sudah atau akan menanamkan modalnya di satu sektor, diberikan inesntif pajak, asal dia juga mendirikan perusahaan pengolah sampah. Sampah organik jadi gas bio dan pupuk organik, sampah inorganik didaur ulang menjadi ‘ploduk-ploduk Indonesia’. Semua happy. Jangan lupa, dibuat juga undang-undang tentang kebersihan ruang publik. 

Jika di satu kota sudah ada perusahaan pengolah sampah (termasuk collecting sampah dari collecting point yang tertutup dan bersih, bisa juga mengambil langsung dari rumah warga) maka alur perjalanan sampah dari hulu sampai hilir akan menjadi jelas. Tak ada yang tercecer di tempat terbuka, semua termanfaatkan. Niscaya kota akan menjadi bersih. Jika kota sudah bersih, masak iya pemda dan masyarakatnya tidak mau menjadikannya rapi dan indah? Bisa kok. Walikota Risma, Pemkot Surabaya (Surabaya ya, bukan Jakarta), dan warga Surabaya sudah menunjukkannya. 

Jika kebersihan, kerapian, dan keindahan kota sudah terjaga, maka warga kota itu sudah sampai pada gerbang ‘kemakmuran’. Kota yang bersih memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Di kota yang bersih, rapi, indah, dan dikunjungi banyak wisatawan, berjualan apapun akan laku.

Roda ekonomi akan berputar lebih cepat, tumbuh lebih tinggi. Karena, ketika kebersihan kota sudah dibarengi dengan kebersihan dan perbaikan pelayanan birokrasi, keamanan makin terjamin, serta tingkat kepastian hukum yang tinggi, maka yang akan datang ke kota itu bukan hanya wisatawan, tapi juga investor. 

Mari kita hitung keuntungan jika kota-kota di Indonesia sudah bersih, rapi dan indah.

Pertama, pada sektor pariwisata. Tahun 2018 jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia sebanyak 16,20 juta orang. Ke Thailand, pada tahun yang sama 34,43 juta orang. Data dari MasterCard Ranking 2018, Bangkok dikunjungi 20,05 juta orang, menjadikan Bangkok sebagai kota yang dikunjungi wisatawan mancanegara paling banyak di dunia.

Selain Bangkok, kota di Thailand yang dikunjungi banyak wisman adalah Phuket, sebanyak 9,29 juta orang, menempati posisi ke 12. Lalu, Pattaya 8,67 juta orang, ranking ke 18 dunia. Jakarta? Gak tahu. Artinya, dari 34,43 juta orang yang datang ke Thailand pada tahun 2018, 3,18 juta orang berkunjung ke lebih satu kota.

Rata-rata dengan rata-rata tinggal 4,7 hari, dan rata-rata pengeluaran per orang per hari sebesar US$173. Total devisa yang didapat Thailand dari sektor pariwisata pada tahun 2018 sebesar US$30,82 miliar (Rp432,5 triliun), belum termasuk yang didapat oleh maskapai-maskapai penerbangan dan bandara-bandara di Thailand. 

Pada tahun yang sama, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia sebanya 16,20 juta orang, dengan rata-rata tinggal selama 10 hari. Total devisa yang dihasilkan dari kunjungan wisatawan asing selama 2018 mencapai US$17,6 miliar. Kalau semua kota di Indonesia sudah bersih, rapi, indah, aman, dan kepastian hukum yang tinggi, niscaya jumlah wisman yang datang ke Indonesia akan lebih banyak lagi.

Bukan hanya ke Bali atau Raja Ampat, tapi ke kota-kota lain. Devisa yang diraup juga pasti lebih banyak. Katakanlah meningkatnya 10%, sudah ada tambahan devisa sebesar US$1,76 miliar (Rp23,8 triliun). Makin banyaknya wisman yang berkunjung, peluang usaha baru pun pasti makin banyak. 

Kedua, sektor kesehatan. Belanja kesehatan masyarakat Indonesia selama 2018 mencapai 3% dari PDB atau sekitar Rp445,2 triliun. Di Indonesia, 80% penyakit ditimbulkan oleh infeksi bakteri dan virus karena lingkungan hidup yang kotor, tidak sehat. Jika kota-kota di Indonesia sudah bersih, pasti masyarakat Indonesia akan lebih sehat, belanja kesehatan akan turun. Asumsikan penurunannya sekitar 10%, maka masyarakat menghemat uang sebesar Rp45,52 triliun. 

Ketiga, karena sampah organik bisa dikonversi menjadi gas bio maka akan ada pengurangan konsumsi gas alam. Data Kemen ESDM, konsumsi LPG nasional tahun 2018 sebesar 6,5 juta ton, senilai Rp71,5 triliun. Jika penggunana gas bio sebesar 5% dari konsumsi nasional akan ada penghematan Rp7,15 triliun per tahun. 

Keempat, pengolahan sampah organik juga menghasilkan pupuk organik. Konsumsi pupuk nasional tahun 2018 sebebsar 9,55 juta ton, senilai Rp47,75 triliun (CMIIW), di mana Rp21,5 triliun ditalangi Pemerintah dalam bentuk subsidi. Jika pupuk organik yang dihasilkan dari sampah bisa memenuhi 10% dari kebutuhan pupuk nasional, maka akan ada penghematan sebesar Rp4,775 triliun. 

Kelima, jika satu pabrik pengolahan sampah mempekerjakan 50 orang tenaga kerja, dan di Indonesia ada 514 Kabupaten – Kota di Indonesia maka terbuka lapangan kerja baru untuk 25.700 orang. 

Dari hitung-hitungan keuangan, jika ‘Revolusi Sampah’ ini dilaksanakan, maka paling lambat pada tahun ketiga setelah dimulai maka total peningkatan pendapatan dan penghematan anggaran yang bisa diraih nilainya tidak kurang dari Rp81 triliun. Itu belum termasuk multiplier effect ekonomi yang dipicu oleh Revolusi Sampah. 

Modal utama untuk melakukan Revolusi Sampah adalah kemauan. Jika Revolusi Sampah sudah berjalan, maka jika ada orang membuang sampah dari mobil di jalan raya, hukumannya bukan hanya difoto, diunggah di media sosial, lalu dibully rame-rame. Tapi diproses hukum. Ancaman hukumannya harus berat, karena membuang sampah sembarangan di ruang publik bisa diartikan tindakan sabotase terhadap kepentingan negara untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.

#mari bantu Jokowi