Merekam Masa Awal Reformasi di Indonesia

Saat itu Rully Chairul Azwar bukanlah ketua umum partai. Tapi walau bukan ketua umum partai, Rully mampu berperan penting dalam inovasi program partai.

Selasa, 10 Agustus 2021 | 08:16 WIB
0
167
Merekam Masa Awal Reformasi di Indonesia
Reformasi (Foto: UGM.ac.id)

Erns Julius Gunter Rohm (1887-1934) tak hanya seorang petinggi militer di Jerman. Ia juga seorang pemikir.

Renungannya abadi dalam kutipannya yang kini sangat populer: “All revolutions devour their own children.” Semua revolusi akan memakan anak-anaknya sendiri.

Dua peristiwa besar revolusi sangat menarik perhatiannya. Yaitu Revolusi Perancis 1789. Juga Revolusi Rusia 1917.

Saat itu, 1789, Perancis di bawah Raja Louis VI. Sistem yang berlaku politik monarchy dengan kultur feodalisme yang kuat.

Ini sistem yang diperintah seorang raja dengan kekuasaan absolut. Ia didukung oleh kelas agamawan (clergy) yang hanya berjumlah 1 persen dari populasi. Juga didukung oleh kaum bangsawan yang jumlahnya juga hanya 1 persen dari populasi.

Namun lapisan 2 persen elit ini mendominasi 98 persen rakyat banyak. Hasilnya bukan kesejahteraan rakyat banyak, tapi ketimpangan dan ketidak adilan yang semakin tajam.

Ketimpangan itu semakin berbau busuk karena hidupnya kultur hedonisme, pesta pora kaum elit yang serba mewah dan asusila di atas penderitaan rakyat banyak.

Maka lahirlah gerakan rakyat yang merupakan ekspresi kemarahan segmen dari 98 persen populasi. Salah satu pemimpin revolusi itu Maxmilien Robiespiere.

Robiespiere seorang orator yang hebat. Gagasannya membakar rakyat banyak. Yaitu perlunya Perancis hidup dalam masyarakat yang lebih bebas, lebih merata dan lebih bersaudara. “Liberty, Equality, Fraternity.”

Tapi Robiespiere hanya berjaya sebentar saja. Ia memang anak kandung yang dilahirkan oleh sosial ekonomi revolusi perancis.

Tapi yang seperti dikatakan oleh Erns Rohm, revolusi memakan anaknya sendiri. Dinamika politik revolusi perancis bahkan membunuh Robiepiere sendiri.

Hanya lima tahun setelah meledaknya revolusi perancis, di tahun 1794, Robiespiere bersama 21 pengikut setianya dihukum guilotine, di depan massa.

Guilotine ini jenis hukuman di masa lalu. Seorang terhukum di depan publik, kepalanya dipancung dengan alat bermata kapak.

Adalah Robiespiere yang memerintahkan “the reign of terror”. Ujar Robiespiere, siapapun yang menentang revolusi perancis akan menghadapi sejenis teror.

Dengan kebijakan ini, Ia sudah menghukum dengan guilotine sebanyak 16.000 musuh politiknya.

Bagi rekan seperjuangan yang lain, reign of terror” gaya Robiespiere sudah melampaui batas. Terjadilah pergolakan. Robiespiere dijatuhkan.

Tak tanggung- tanggung, Ia pun akhirnya dihukum dengan guilotine.

Revolusi Rusia terjadi di tahun 1917. Jika revolusi perancis menjadi awal lahirnya demokrasi liberal di dunia barat, revolusi rusia menjadi awal lahirnya blok komunisme.

Leon Trotsky seorang ideolog marxis yang tulen. Ia bersama Lenin mengkampanyekan perlunya Rusia baru.

Sistem monarchy dari raja Nicholas II perlu diakhiri. Masyarakat baru tanpa kelas harus dimulai. Sistem politik jangan dikuasai oleh keluarga raja turun temurun.

Rakyat banyak melalui perwakilannya harus berkuasa. Penguasa harus berasal dari kaum revolusioner, yang sudah tercerahkan oleh Marxisme.

Untuk menegakkan sistem baru, kekerasan politik bukan saja tak terhindari. Kekerasan politik itu justru dibutuhkan sebagai instrumen melemahkan sistem lama.

Maka keluarga kerajaan dan tuan tanah yang merupakan musuh komunisme harus sirna. Jika perlu itu dilakukan dengan jalan kekerasan.

Rezim komunisme sendiri, dimana Trotsky menjadi ideolog utama, menghukum Raja Nicolas II dengan hukum tembak.

Maka Romanov Family, yaitu Raja Nicholas II, istri dan lima anaknya, ditembak. Door! Door! Door! Satu keluarga raja mati. Tak bersisa.

Namun, seperti yang dikatakan Erns Rohm, revolusi memakan anaknya sendiri.

Setelah Lenin wafat, Stalin berkuasa sejak 1922. Delapan belas tahun kemudian, di tahun 1940, Trostky dibunuh di Mexico. Ia dianggap figur utama yang mengganggu jalannya revolusi ala Stalin.

Dua revolusioner, yang ikut memulai revolusi, Robiespiere dan Trostky, dibunuh oleh perkembangan revolusi itu sendiri.

Dua revolusi besar di atas memang memakan anaknya sendiri.

-000-

Reformasi di Indonesia tahun 1998, transisi gradual menuju demokrasi bukanlah revolusi. Reformasi tidak memakan anak- anaknya sendiri seperti halnya revolusi.

Revolusi politik diartikan dengan perubahan cepat dan signifikan, bahkan disrupsi total satu sistem menuju sistem lainnya.

Karena perubahan segera yang ingin dicapai, dalam situasi elit pro sistem lama masih kuat, kekerasan acapkali disahkan sebagai metode.

Kekerasan itu dilakukan baik secara telanjang. Para oposisi dilenyapkan, dibunuh, dihilangkan dalam operasi senyap.

Kasus Trotsky di atas, dalam Revolusi Rusia, menjadi contoh operasi senyap. Trotsky dibunuh begitu saja. Banyak sejarahwan yang menulis sang pembunuh bagian dari pemerintahan Uni Sovyet (Rusia) sendiri.

Namun kekerasan dapat pula dilakukan dengan instrumen hukum dan pengadilan. Seolah prosedur hukum dijalankan, tapi hasil akhir pengadilan sudah diatur oleh pihak yang berkuasa.

Kasus Robiepiere di atas, dalam Revolusi Perancis menjadi rujukan. Robiespiere sempat diadili oleh pengadilan. Tapi pengadilan yang sudah dikendalikan.

Sementara reformasi itu perubahan yang gradual. Ia tidak menjungkir balikkan sistem lama, seperti dari monarchy menjadi demokrasi atau komunisme.

Perubahan dalam reformasi lebih memakan waktu. Transisi sistem otoriter menuju demokrasi yang terkonsolidasi acapkali memerlukan lebih dari lima kali pemilu bebas.

Melalui lima kali pemilu bebas, secara perlahan sistem baru mengalami pelembagaan (institusionalisasi) dan secara kultural diterima.

Hal kedua yang membedakan reformasi dan revolusi adalah elemen penggerak perubahan.

Dalam revolusi, penggerakknya tokoh atau kelompok di luar pemerintahan. Lalu mereka menciptakan konstitusi dan hukum yang sama sekali baru.

Sementara dalam reformasi, penggeraknya adalah bagian dari pemerintah lama. Bedanya, agen reformasi ini adalah tokoh pemerintah sendiri yang menarik jarak dari sistem lama, dan berjuang menyempurnakannya.

Konstitusi yang diberlakukan tidak sama sekali baru. Ia hanya mengamandemen saja pasal tertentu.

Reformasi dalam agama misalnya dipimpin oleh Martin Luther. Kita tahu Luther juga bagian dari gereja. Yang memimpin reformasi bukan, misalnya, orang luar sama sekali yang bukan dari gereja.

Yang dibawa oleh kaum reformasi dalam agama juga bukan agama yang sama sekali baru. Tapi hanya tafsir agama yang disempurnakan.

Konstitusi yang dipakai kaum reformasi, dalam hal ini Injil, adalah tetap injil yang sama.

Reformasi politik di Indonesia di tahun 98 juga dipimpin oleh bagian pemerintahan lama. Setelah Suharto jatuh di tahun 1998, yang berkuasa bukan Amien Rais, misalnya, yang mempimpin perlawanan dari luar.

Yang menggantikan Suharto adalah wakil presiden, “murid politik” Suharto sendiri: BJ Habibie.

Juga tak diterapkan konstitusi yang sama sekali baru. Yang ada, konstitusi lama hanya diamandemen saja.

Mengapa di tahun 1998, yang terjadi di Indonesia adalah reformasi, bukan revolusi? Ini pertanyaan mahal yang dapat menghasilkan puluhan disertasi untuk menjawabnya.

Satu penyebab, kekuatan oposisi di luar pemerintahan tak terlalu kuat untuk menjatuhkan pemerintahan, dan menghasilkan revolusi.

Perubahan hanya berhasil jika mengajak pula kekuatan yang berada di dalam kekuasaan. Akibatnya perubahan terjadi karena kerjasama antara kekuatan di pemerintahan yang memisahkan diri dan kekuatan oposisi.

Disertasi Ph.D saya di Ohio State University (2002) membahas soal ini: Democracy From Below. (1)

Pergolakan dan krisis tahun 1998 akibatnya tak melahirkan revolusi, tapi reformasi, perubahan bertahap menuju demokrasi.

-000-

Reformasi politik selalu melahirkan institusi baru sebagai penguat. Politik baru itu semacam sebuah ekosistem. Untuk kokoh berdiri, Ia memerlukan lembaga baru, aturan baru, mekanisme baru, dan kebiasaan baru, yang sesuai.

Kadang pelembagaan itu lahir dari eksperimen trial and error. Coba dan gagal. Tradisi baru yang berhasil akan menguat. Tradisi baru yang gagal akan menghilang, dan bisa ditumbuhkan kembali dengan modifikasi.

Buku ini ditulis oleh tiga editor. Mereka jurnalis senior: Suradi, Msi, Fajar WH dan Ajat Sudrajat. Mereka bertiga mewawancarai nara sumber utama sekaligus pelaku sejarah: Rully Chairul Azwar.

Rully sendiri adalah petinggi Golkar di tahun 2004-2005, pada periode kala isu utama buku ini terjadi.

Judul buku sama dengan topiknya: Konvensi Capres Partai Golkar 2004 dan Lahirnya Survei Politik 2005. Rully sendiri adalah koki dari konvensi capres Golkar di tahun 2004.

Rully juga menjadi pentolan penting yang akhirnya membuat Golkar menjadi partai pertama yang menjadikan survei politik sebagai bagian dari upaya partai di era baru memenangkan pemilu/pilkada.

Cukup bersemangat saya memberi pengantar buku ini. Karena tradisi awal survei politik dalam tradisi panjang itu juga menjadi anak batin saya, yang kini saya disebut sebagai the founding father dari profesi konsultan politik di Indonesia.

Konvensi Capres dan Survei Politik menjadi lembaga baru hasil trial and error bagi sistem politik baru.

Bedanya, tradisi konvensi capres tak berlanjut. Sedangkan tradisi survei politik justru berkibar semakin hebat. Apa yang membedakan keduanya?

Buku ini cukup detail menggambarkan semacam “the social origin,” atau “inside story” lahirnya konvensi capres golkar tahun 2004.

Data, peristiwa, dan tokoh sangat detail diungkapkan. Itu tidak heran karena yang dieksplor adalah kokinya langsung: Rully Chairul Azwar.

Empat hal penting dari eksperimen konvensi partai golkar. Pertama, ia berhasil membuat partai Golkar mendapatkan panggung perhatian.

Di tahun 1998, Golkar didakwa ikut bersalah bersama Suharto di era Orde Baru. Tapi hanya butuh waktu enam tahun, di tahun 2004, Golkar justru membawa inovasi sangat maju dalam politik: konvensi capres.

Segera istilah konvensi capres itu mengingatkan kita pada konvensi capres di Amerika Serikat.

Tapi di Indonesia di tabun 2004, polanya berbeda. Yang memilih capres adalah petinggi internal partai Golkar saja. Sementara di Amerika Serikat yang memilih capres untuk konvensi partai adalah publik luas.

Kedua, yang juga penting dicatat, capres yang ikut bertanding dalam konvensi ala Indonesia di tahun 2004 termasuk ketua umum partai itu sendiri.

Akbar Tanjung sang ketua umum ikut maju sebagai capres bersama Prabowo, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Wiranto. Akbar sempat menang di putaran pertama, tapi kalah di putaran kedua.

Ini juga yang membedakan dengan konvensi capres di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, ketua umum partai praktis tak terlalu dikenal.

Ketua umum partai tak ikut dalam konvensi. Ia hanya menjadi fasiliator bagi kader partai yang punya komitmen untuk menjadi presiden.

Ketiga, Partai Golkar saat itu, di tahun 2004, kembali menang pemilu. Sistem saat itu, aturan UU pemilu, memungkinkan partai Golkar sendirian mengajukan capres.

Tapi kini sejak berlakunya UU tahun 2008, syarat untuk mengajukan calon presiden haruslah partai atau gabungan partai yang memiliki kursi di DPR minimal 20 persen.

Dengan syarat ini, hanya partai yang perolehan suaranya di atas 20 persen yang mampu melaksanakan konvensi capres. Jika kurang dari 20 persen, partai itu harus mencari koalisi tetapnya dulu, melampaui 20 persen, untuk signifikan melaksanakan konvensi capres.

Partai yang melaksanakan konvensi capres, tapi diketahui partai itu kekurangan kursi untuk sah mencalonkan, tak akan dilirik. Karena tak jaminan partai mampu mencalonkan capres karena perolehannya di bawah 20 persen.

Golkar di tahun 2019-2024 misalnya tak lagi signifikan melaksanakan konvensi capres. Kursi Golkar di DPR saat ini kurang dari 20 persen.

Dari 9 partai yang memiliki kursi di DPR 2019-2024 hanya PDIP sendirian yang bisa melakukan konvensi capres.

Tentu dua partai atau lebih dapat bersama melaksanakan konvensi capres. Tapi bagaimana menyelaraskan perbedaan kepentingan partai itu? Bagaimana mecari titik ego para ketua umumnya?

Konvensi capres sebagai model untuk menyeleksi capres menjadi tak populer

Keempat, terlebih lagi yang membuat konvensi capres tak populer, hasilnya tidak happy ending. Pemenang konvensi capres Golkar: Wiranto kalah telak dalam pemilu capres di tahun 2004.

Pemenang Capres adalah SBY yang bahkan datang dari Partai Demokrat. Saat itu partai demokrat adalah partai kecil saja.

Akhir yang tidak happy ending ini membuat konvensi capres hanya berlangsung sekali dan mati.

Tak ada partai yang ingin mengulangi tradisi yang ternyata malah membuatnya kalah dalam pemilu.

-000-

Berbeda dengan konvensional capres, tradisi survei politik justru semakin berkibar. Hingga kini, di tahun 2021, survei politik diikuti dan digunakan oleh banyak partai lain.

Kini tak ada pemilu tanpa survei politik. Tak ada pilkada utama, di daerah strategis tanpa survei politik. Sama dengan tak ada klien yang kuat yang maju pengadilan tanpa didampingi pengacara.

Survei politik dalam buku ini adalah survei opini publik yang dilakukan oleh partai politik untuk memenangkan pemilu dan pilkada.

Mengapa eksperimen “trial and error” survei politik malah berkibar? Jawabnya adalah happy ending atau “success stories.”

Berbeda dengan konvensi capres, survei politik justru membawa kisah sukses. Golkar adalah partai pertama yang secara sistematis menggunakan survei politik dalam pilkada pertama yang dipilih langsung tahun 2005.

Seperti yang dilaporkan buku ini, hasil pilkada dengan survei politik adalah kemenangan besar bagi Golkar. Berbeda dengan konvensi capres yang hasilnya malah kekalahan telak bagi Golkar bahkan di pilpres putaran pertama.

Sebelum diadopsi Golkar di tahun 2005, survei politik memang sudah menunjukkan kisah suksesnya dalam Pileg 2004 dan Pilpres 2004. Dua sukses ini yang membuat survei politik berhasil digoalkan di Golkar.

Satu bab dalam buku ini mengeksplorasi soal lahirnya survei politik di Partai Golkar. Ini di awali dengan kisah saya, Denny JA, yang berhasil meyakinkan ketum Golkar kala itu, Akbar Tanjung, dan Capres saat itu, SBY.

Dengan survei opini publik, di tahun 2004, saya melalui LSI mengabarkan Golkar akan menang pemilu 2004. Juga SBY akan menang Pilpres 2004.

Jangankan bagi orang awam, bagi politisi yang matangpun prediksi LSI diragukan. Bagaimana Golkar yang saat itu digambarkan penuh dengan “politisi busuk” bisa menang nomor satu dalam Pileg 2004?

Bagaimana pula SBY dari partai kecil saat itu, Partai Demokrat, bisa menang Capres 2004?

Tapi survei LSI tak henti melakukan konferensi pers mengabarkan hasilitu. Dan, abakadabra!!! Semua terbukti. Golkar menang nomor satu Pileg 2004. SBY menang nomor satu Pilpres 2004.

Berkat reputasi itu, saya melobi ketum Golkar di tahun 2005, Jusuf Kalla, untuk menerima model baru. Ialah menggunakan survei opini publik sebagai cara memenangkan pilkada 2005.

Jusuf Kalla meminta saya mengontak dua nama yang menjadi petinggi pemenangan Golkar: Andi Matalata dan Rully Chairul Azwar.

Karena Rully lebih sering hadir di kantor Golkar, dengan Rully, konsep survei politik dirancang.

Maka tanggal 30 maret 2005 akan dikenang sebagai hari jadi survei politik di Indonesia. Karena di tanggal itulah, 30 maret 2005, ditanda tangani untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah partai (Golkar) menggunakan sebuah lembaga survei dan konsultan politik (LSI Denny JA) untuk mensurvei 202 pilkada langsung pertama di Indonesia. (2)

Rully Chairul Azwar kembali menjadi “koki” di Golkar untuk tradisi baru survei opini publik.

Buku karya tiga jurnalis senior: Suradi, Fajar dan Ajat menjadi penting karena ia merekam jejak dua jenis trial and error di masa awal reformasi. Konvensi Capres tahun 2004. Dan lahirnya survei politik tahun 2005.

Saat itu Rully Chairul Azwar bukanlah ketua umum partai. Tapi walau bukan ketua umum partai, Rully mampu berperan penting dalam inovasi program partai.

Partai Golkar patut bangga. Sejak awal masa reformasi, Golkar hidup dengan aneka inovasi politik. Sebagian gagal dan mati. Sebagian sukses dan berkibar.

Kembali pada kutipan awal. Ujar Earns Rohm: “Semua revolusi akan memakan anaknya.” Kini kita juga tahu, “Semua reformasi akan menyeleksi anaknya.” Ada yang dibiarkan mati. Ada yang terus bergerak hidup. Perkasa *

Agustus 2021.

Denny JA

 ***

CATATAN

(1) Data dan teori yang mengulas kejatuhan Suharto di tahun 1998: Denny JA, “Demokratisasi dari Bawah (terjemahan disertasi Ph. D di Ohio State University, AS, 2002)

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/1483760631812034/

(2) Esai lebih detail yang membahas hari lahir survei politik di Indonesia. Denny JA: Hari Jadi Survei Politik di Indonesia dan Kisah Sebuah Kafe.