Mengembalikan Kewibawaan Negara

Kamis, 8 November 2018 | 09:05 WIB
0
603
Mengembalikan Kewibawaan Negara
Pendaftaran sukarela untuk merebut Iran Barat (Foto: Dokumentasi Anton DH Nugrahanto)

Tahun 2024 nanti siapapun pemenang Pilpres dan juga Pileg harus memperhatikan struktur kekuatan dan kewibawaan negara ini. Tanpa kekuatan dan kewibawaan negara kita tidak bisa membentuk satu arah solid menjaga Indonesia selama beberapa puluh tahun ke depan.

Negara yang sehat adalah negara yang mempunyai pandangan jauh ke depan, lewat haluan negara atau garis besar politik.

Bung Karno sudah mempunyai gagasan dan garis besar haluan politik itu. Sejak 1951 ketika Hatta, Sjahrir, Prawoto, Natsir, Aidit, Sukirman Wirjosandjojo, Ali Sastro, Sukarni dan macan macan parlemen saling gebrak meja. Di sudut Istana Cipanas Bung Karno selalu merenung konsepsi negara dalam jangka panjang.

Politik kadang berpikir selama 3 hari ke depan, tapi dalam bernegara kita harus punya jangkauan 100 tahun ke depan. Inilah Bung Karno punya pandangan Indonesia 100 tahun ke depan, dalam beberapa tahun dibuat tematik dan Bung Karno di tahun 1954 mempunyai satu temuan besar yaitu : Memulai kekuatan Indonesia dalam 100 tahun ke depan harus dimulai dari sisi GEOPOLITIK.

Jadi awal dalam mempelajari Indonesia adalah "GEOPOLITIK" dan di sinilah kita harus memeriksa dengan saksama bangunan pikiran dalam 100 tahun ke depan.

Sayangnya setelah Soeharto rebut kekuasaan Bung Karno, pandangan 100 tahun ke depan disortir sama Ali Moertopo hanya 25 tahun, dan itu disebut sebagai "Tinggal Landas" sebuah masa take off Kemajuan Indonesia yang jam 00.00 nya dimulai 1967 saat Freeport diserahken ke Amerika Serikat.

Namun apapun, pandangan politik Pak Harto masih mending, sekarang ini, kita bernegara hanya 5 tahun saja, pandangan dan seluruh energi kita 5 tahun saja.

Bayangkan Bung Karno bisa mengirim ribuan sukarelawan gempur Belanda di Irian Barat, dan sikat Inggris di Kalimantan Utara, nah kita sekarang ini para sukarelawan saling adu bacot saja.

Kita sedang mengalami kekalahan sejarah sekarang, dari sebuah bangsa yang hanya mendengar di radio dan paham makna renungan "Vivere Pericoloso" sebuah tahun tahun menyerempet bahaya, sebuah gagasan besar tegak kepala merebut Geopolitik menjadi sebuah bangsa yang hanya berdebat bertele tele soal Tempe dan Bendera...

Politik seperti ini harus dihentikan. Politisi harus mendidik rakyatnya berpikiran besar, harus menciptakan agenda setting bagaimana rakyatnya punya passion kolektif untuk menciptakan bangsa besar...

Padahal Jokowi sedang melakukan hal hal besar, ia sedang menciptakan sejarah ruang perdagangan, tapi karena banyak kaum Agitprop (Agitasi dan Propaganda) ndak paham soal cara memainkan rute berpikiran besar akhirnya perdebatan perdebatan publik hanya berkisar pada harga harga di pasar bukan perdebatan geopolitik.

Mbah mbah kita dulu, tanpa internet dan hanya dengan basis referensi koran koran dan selebaran politik mampu berpikiran besar, mereka tahu Nefo, Ganefo dan istilahnya keren keren dalam bahasan geopolitik macam Nekolim, Neo Kolonialisme dan Imperialisme, tahukah anda makna dalam Nekolim itu? akronim Nekolim diciptakan Jenderal Yani, artinya itu adalah perebutan Kapital dalam teater geopolitik...

Sekarang generasi kita dididik hanya debat operasi plastik, Tjoet Nyak Dien masa kini, katanya... kita sedang mengalami degradasi keagungan politik, kita tidak mampu membangun glorifikasi politik sebagai alat katalisator pembentukan arah negara...

Entah sampai kapan bangsa ini mundur dalam cara berpikir dan berimajinasi...

***

Anton DH Nugrahanto, Catatan Politik 2018)