“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya,” Soekarno, 10 November 1961.
Sebelum saya tahu wejangan emas Bung Karno tentang bagaimana menghormati para pahlawan—sudah sejak duduk di bangku sekolah dasar di sebuah pulau kecil nun jauh nan tersembunyi di antara hamparan pulau-pulau ternama di Maluku—saya memang amat mengagumi sosok dan kisah para pahlawan.
Lebih khusus, ada dua pahlawan yang amat saya kagumi, keduanya memiliki tautan sejarah dengan kampung halaman saya, Pulau Geser. Saya, semakin mencintai Indonesia karena jatuh hati pada sejarah tanah lahir yang erat kaitannya dengan kedua pahlawan ini, yakni Mayor Abdullah dan Ir. Soekarno.
Tentu saja, banyak dari kita kenal betul dengan Ir. Soekarno, tapi bagaimana dengan Mayor Abdullah? Dari banyak kisah yang dututurkan juga dalam buku “Sedjarah Bataljon Y” tentang Dullah—sapaan akrab Mayor Abdullah—ia merupakan salah satu pahlawan revolusi yang bertempur hampir di banyak wilayah, dari Jawa Timur, Makassar hingga pelosok Maluku, dan pasukan yang dipimpinnya dikenal sebagai Pasukan Badjak Laut.
Ketika SD, di saat lonceng sekolah berbunyi pertanda istirahat jam pertama, saya langsung berlari menuju makam sang mayor. Ini sudah seperti kebiasaan saya. Tapi bukan karena kesurupan roh sang pahlawan, melainkan saya menyukai desain makamnya yang berbentuk kapal perang berwarna hijau yang dipagari pagar berwarna hijau juga.
Dalam beberapa dokumen yang saya baca juga cerita dari orang-orang tua di Geser, mereka selalu kagum dengan perjuangan Dullah beserta para prajuritnya. Pasukan Dullah disebut juga Batalyon Abdullah yang melakukan penumpasan terhadap Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1949-1950 dan menjadikan Pulau Geser sebagai wilayah transit navigasi dan benteng pertahanan.
Jelang akhir tahun 1950, pada 9 September (dokumen lain menyebutkan tanggal 25 September), Sang Komandan Batalyon XVII Divisi Brawijaya, yang dahulu juga seorang penarik becak di Surabaya ini (gratis kalau penumpangnya TNI dengan alasan demi kepentingan negara), putus usia setelah tertembak timah panas milik pasukan RMS.
Lain halnya dengan kekaguman saya pada Soekarno. Semua berawal dari keawaman saya tentang Soekarno yang baru terkuak setelah saya hijrah ke Jawa Barat, tepatnya di Ciamis untuk melanjutkan studi setelah Ambon dihantam konflik SARA tahun 1999. Waktu SD, saya pikir Soekarno-Hatta itu, ya, nama utuh Sang Proklamator (bodok sekali beta.hehehe).
Dalam naskah Proklamasi yang dibacakan bahkan beberapa kali diulang oleh guru di sekolah, sering mengecoh saya lantaran intonasi bacaan yang menyatu, “atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Lah, kalau dibaca Seokarno dan Hatta, mungkin saya yang kinyis-kinyis dulu bisa mbedakan, oh itu dua orang meski yang membacakan naskah di podium proklamasi hanya Soekarno seorang.
Kisah berlanjut, akhirnya “kebodohan” saya menemukan titik betulnya saat saya yang waktu itu duduk di kelas satu Tsanawiyah, dengan pede berorasi di depan kelas saat pelajaran sejarah, “Kita harus meniru semangat kebangsaan Proklamator kita, Bapak Soekarno Hatta.” Lantas setelah itu, guru saya bertanya, “Menurutmu, bagaimana sosok Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta?” Seketika ada kunang-kunang di terbang di atas kepala saya membawa tanda tanya besar, “sadar bos, sadar, antum salah sejak SD.” Ehemmm, batuk sang guru membongkar pikiran saya yang sempat melayang sesaat. Dengan lugu dan tampang polos, saya bertanya, “Soekarno-Hatta itu dua orang bu?” Seketika pecah tawa seisi kelas.
Makam Sang Proklamator tidak pernah sepi diziarahi dan tidak pernah alpa doa-doa terpanjatkan untuk beliau. Saya yang baru tiba di gerbang makam bergaya arsitektur khas Jawa, bangunan Joglo itu, langsung menitikkan air mata. Saya teringat orang-orang di kampung yang begitu mengagumi Soekarno namun tidak pernah melihat langsung makam Sang Bapak Bangsa. Mereka sudah cukup puas ketika di ruang-ruang tamu mereka terpampang foto atau poster Soekarno dengan pakaian “uniform” dan kopiah hitamnya.
Orang-orang di kampung saya, kerap bercerita tentang kunjungan Soekarno ke Pulau Geser. Dari bukti foto-foto serta beberapa penjelasan dari penutur sejarah, Soekarno datang ke Geser di masa-masa pembebasan Irian Barat. Kedatangan Soekarno disambut langsung oleh Raja Geser saat itu Muhammad Kelian (alm) di dermaga Geser dan Soekanro beserta rombongan diantar ke kediaman/tempat istirahat (sekarang menjadi rumah dinas camat). Setelah itu Soekarno menyampaikan orasi di lapangan sepakbola Geser tentang pembebasan Irian Barat yang disambut api semangat masyarakat.
Dalam kisah lain dari penuturan warga yang memang tidak tercantum dalam dokumen sejarah dan hanya menjadi semacam cerita legenda saja, warga menceritakan bahwa Soekarno pernah menghilang beberapa saat setelah beliau masuk ke dalam kamar seorang diri. Pasukan Paspamres yang siaga langsung menginstruksikan penyisiran di Pulau Geser, bahkan diultimatum bahwa tidak aka nada satu pun yang tersisa di Pulau Geser sakalipun itu seekor ayam.
Ternyata, Soekarno dikisahkan melakukan perjalanan spiritual ke tanah Bati, sebuah desa berpenduduk warga Suku Bati yang teramat dihormati di Pulau Seram bahkan seantero Maluku. Kisah mistisnya masih berlanjut, ternyata Paspamres yang mencari beilau pun hilang dan ditemukan di semak belukar karena hilang jalan.
Terlepas dari kisah dan kontroversi kedua sosok pahlawan bangsa ini, saya justru menemukan Indonesia ketika menziarahi makam mereka. Saya merenungi makna pengorbanan saat menemukan cinta yang bertaburan dari doa setiap orang yang berziarah. Saya juga menemukan makna cinta, dimana sejatinya kecintaan adalah cinta yang kita curahkan bagi kemaslahatan orang banyak, untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kini, di saat orang-orang keganjenan mengobarkan anti Pancasila dan ingin menggantikannya dengan sistem yang lain, termasuk sistem berbasis agama, saya malah semakin mencintai Indonesia. Saya kangen menziarahi lagi kuburan kedua tokoh bangsa ini, sebab di sana saya bisa merenungi makna mencintai Indonesia.
Terimakasih Pahlawanku!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews