Menziarahi Keindonesiaan di Makam Mayor Abdullah dan Presiden Soekarno

Selasa, 8 Januari 2019 | 21:33 WIB
0
1656
Menziarahi Keindonesiaan di Makam Mayor Abdullah dan Presiden Soekarno
Mayor Abdullah (Foto: Istimewa)

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya,” Soekarno, 10 November 1961. 

Sebelum saya tahu wejangan emas Bung Karno tentang bagaimana menghormati para pahlawan—sudah sejak duduk di bangku sekolah dasar di sebuah pulau kecil nun jauh nan tersembunyi di antara hamparan pulau-pulau ternama di Maluku—saya memang amat mengagumi sosok dan kisah para pahlawan.

Lebih khusus, ada dua pahlawan yang amat saya kagumi, keduanya memiliki tautan sejarah dengan kampung halaman saya, Pulau Geser. Saya, semakin mencintai Indonesia karena jatuh hati pada sejarah tanah lahir yang erat kaitannya dengan kedua pahlawan ini, yakni Mayor Abdullah dan Ir. Soekarno.

Tentu saja, banyak dari kita kenal betul dengan Ir. Soekarno, tapi bagaimana dengan Mayor Abdullah? Dari banyak kisah yang dututurkan juga dalam buku “Sedjarah Bataljon Y” tentang Dullah—sapaan akrab Mayor Abdullah—ia merupakan salah satu pahlawan revolusi yang bertempur hampir di banyak wilayah, dari Jawa Timur, Makassar hingga pelosok Maluku, dan pasukan yang dipimpinnya dikenal sebagai Pasukan Badjak Laut.

Ketika SD, di saat lonceng sekolah berbunyi pertanda istirahat jam pertama, saya langsung berlari menuju makam sang mayor. Ini sudah seperti kebiasaan saya. Tapi bukan karena kesurupan roh sang pahlawan, melainkan saya menyukai desain makamnya yang berbentuk kapal perang berwarna hijau yang dipagari pagar berwarna hijau juga.

Selian itu, saya penasaran, kerap bertanya-tanya sendiri, mengapa orang ini bisa menutup usia di tanah kelahiran saya dan sebenarnya siapa dia? Sosok Mayor Abdullah memang tidak pernah terungkap identitasnya dengan baik selama saya di bangku SD dulu, begitu pula dengan kisah Soekarno dan sejarah besar Pulau Geser. Saya bahkan baru mengetahui semua itu setelah merantau ke tanah Jawa.

Dalam beberapa dokumen yang saya baca juga cerita dari orang-orang tua di Geser, mereka selalu kagum dengan perjuangan Dullah beserta para prajuritnya. Pasukan Dullah disebut juga Batalyon Abdullah yang melakukan penumpasan terhadap Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1949-1950 dan menjadikan Pulau Geser sebagai wilayah transit navigasi dan benteng pertahanan.

Jelang akhir tahun 1950, pada 9 September (dokumen lain menyebutkan tanggal 25 September), Sang Komandan Batalyon XVII Divisi Brawijaya, yang dahulu juga seorang penarik becak di Surabaya ini (gratis kalau penumpangnya TNI dengan alasan demi kepentingan negara), putus usia setelah tertembak timah panas milik pasukan RMS.

Lain halnya dengan kekaguman saya pada Soekarno. Semua berawal dari keawaman saya tentang Soekarno yang baru terkuak setelah saya hijrah ke Jawa Barat, tepatnya di Ciamis untuk melanjutkan studi setelah Ambon dihantam konflik SARA tahun 1999. Waktu SD, saya pikir Soekarno-Hatta itu, ya, nama utuh Sang Proklamator (bodok sekali beta.hehehe).

Dalam naskah Proklamasi yang dibacakan bahkan beberapa kali diulang oleh guru di sekolah, sering mengecoh saya lantaran intonasi bacaan yang menyatu, “atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Lah, kalau dibaca Seokarno dan Hatta, mungkin saya yang kinyis-kinyis dulu bisa mbedakan, oh itu dua orang meski yang membacakan naskah di podium proklamasi hanya Soekarno seorang.

Kisah berlanjut, akhirnya “kebodohan” saya menemukan titik betulnya saat saya yang waktu itu duduk di kelas satu Tsanawiyah, dengan pede berorasi di depan kelas saat pelajaran sejarah, “Kita harus meniru semangat kebangsaan Proklamator kita, Bapak Soekarno Hatta.” Lantas setelah itu, guru saya bertanya, “Menurutmu, bagaimana sosok Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta?” Seketika ada kunang-kunang di terbang di atas kepala saya membawa tanda tanya besar, “sadar bos, sadar, antum salah sejak SD.” Ehemmm, batuk sang guru membongkar pikiran saya yang sempat melayang sesaat. Dengan lugu dan tampang polos, saya bertanya, “Soekarno-Hatta itu dua orang bu?” Seketika pecah tawa seisi kelas.

Sejak saat itu, saya ingin tahu betul tentang Soekarno dan Hatta beserta ihwal sejarah keduanya. Alhamdulillah, setelah membaca sana-sini tentang keduanya, lebih khusus Soekarno, saya pun punya kesempatan untuk berziarah ke makam Sang Bapak Bangsa, di Blitar. Di sana, saya melihat kerinduan dan cinta yang tumpah ruah dari masyarakat Indonesia yang silih berdatangan.

Makam Sang Proklamator tidak pernah sepi diziarahi dan tidak pernah alpa doa-doa terpanjatkan untuk beliau. Saya yang baru tiba di gerbang makam bergaya arsitektur khas Jawa, bangunan Joglo itu, langsung menitikkan air mata. Saya teringat orang-orang di kampung yang begitu mengagumi Soekarno namun tidak pernah melihat langsung makam Sang Bapak Bangsa. Mereka sudah cukup puas ketika di ruang-ruang tamu mereka terpampang foto atau poster Soekarno dengan pakaian “uniform” dan kopiah hitamnya.

Orang-orang di kampung saya, kerap bercerita tentang kunjungan Soekarno ke Pulau Geser. Dari bukti foto-foto serta beberapa penjelasan dari penutur sejarah, Soekarno datang ke Geser di masa-masa pembebasan Irian Barat. Kedatangan Soekarno disambut langsung oleh Raja Geser saat itu Muhammad Kelian (alm) di dermaga Geser dan Soekanro beserta rombongan diantar ke kediaman/tempat istirahat (sekarang menjadi rumah dinas camat). Setelah itu Soekarno menyampaikan orasi di lapangan sepakbola Geser tentang pembebasan Irian Barat yang disambut api semangat masyarakat.

Dalam kisah lain dari penuturan warga yang memang tidak tercantum dalam dokumen sejarah dan hanya menjadi semacam cerita legenda saja, warga menceritakan bahwa Soekarno pernah menghilang beberapa saat setelah beliau masuk ke dalam kamar seorang diri. Pasukan Paspamres yang siaga langsung menginstruksikan penyisiran di Pulau Geser, bahkan diultimatum bahwa tidak aka nada satu pun yang tersisa di Pulau Geser sakalipun itu seekor ayam.

Ternyata, Soekarno dikisahkan melakukan perjalanan spiritual ke tanah Bati, sebuah desa berpenduduk warga Suku Bati yang teramat dihormati di Pulau Seram bahkan seantero Maluku. Kisah mistisnya masih berlanjut, ternyata Paspamres yang mencari beilau pun hilang dan ditemukan di semak belukar karena hilang jalan.

Terlepas dari kisah dan kontroversi kedua sosok pahlawan bangsa ini, saya justru menemukan Indonesia ketika menziarahi makam mereka. Saya merenungi makna pengorbanan saat menemukan cinta yang bertaburan dari doa setiap orang yang berziarah. Saya juga menemukan makna cinta, dimana sejatinya kecintaan adalah cinta yang kita curahkan bagi kemaslahatan orang banyak, untuk kepentingan bangsa dan negara.

Kini, di saat orang-orang keganjenan mengobarkan anti Pancasila dan ingin menggantikannya dengan sistem yang lain, termasuk sistem berbasis agama, saya malah semakin mencintai Indonesia. Saya kangen menziarahi lagi kuburan kedua tokoh bangsa ini, sebab di sana saya bisa merenungi makna mencintai Indonesia.

Terimakasih Pahlawanku!

Sumber: 1, 2, 3, 4.  

***