Gugatan Jokowi dan Perdamaian, Menimbang Filsafat Hukum dalam Sikap

Persoalannya bukan apakah Jokowi sebaiknya berdamai atau bersidang, tetapi bagaimana ia menunjukkan bahwa di negeri ini, hukum tetap menjadi jalan terang bagi keadilan dan kebenaran.

Kamis, 15 Mei 2025 | 10:49 WIB
0
61
Gugatan Jokowi dan Perdamaian, Menimbang Filsafat Hukum dalam Sikap
Presiden Joko Widodo (Foto: Detik.com)

Di tengah masyarakat hukum modern, pengajuan gugatan ke pengadilan bukan semata-mata tindakan permusuhan, melainkan ekspresi rasional dari konflik yang menuntut penyelesaian. Namun, ketika gugatan itu disandingkan dengan tawaran mediasi damai—sebagaimana terjadi dalam perkara keabsahan ijazah Presiden Ke-7 RI Joko Widodo—muncul pertanyaan mendalam: bagaimana seharusnya seorang tergugat, terlebih kepala negara, bersikap terhadap upaya damai yang disandingkan dalam gugatan formal?

Dalam sistem hukum perdata Indonesia, setiap gugatan yang diajukan ke pengadilan membuka kemungkinan mediasi. Ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dengan demikian, mediasi bukanlah kontradiksi dari gugatan, melainkan kelengkapan etis dan praktis dari upaya penyelesaian sengketa.

Dalam terang filsafat hukum, kita dapat menengok pemikiran Gustav Radbruch yang membedakan tiga nilai dasar hukum: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Gugatan memberikan kepastian dan keadilan formal, sementara mediasi mengedepankan kemanfaatan dan harmoni sosial. Maka dari itu, tawaran mediasi yang menyertai gugatan sejatinya merupakan usaha menjaga nilai hukum secara utuh.

Namun, bagaimana jika pihak tergugat, dalam hal ini mantan Presiden Jokowi, menolak mediasi?

Presiden, sebagai pejabat publik sekaligus warga negara, tidak berada di atas hukum. Ketika digugat, ia berposisi sebagai subjek yuridis yang tunduk pada proses hukum. Namun sebagai kepala negara, ia juga memikul beban simbolik: setiap tindakannya mencerminkan prinsip negara hukum dan etika demokrasi. Itu sebabnya saat menjabat Presiden, Jokowi tidak meladeni gugatan. Sekaranng Jokowi sudah menjadi "rakyat biasa", bukan pejabat publik.

Dari sudut pandang Emmanuel Levinas, tanggung jawab etis terhadap “yang lain” muncul sebelum pertimbangan hukum formal. Dalam konteks ini, tawaran mediasi dapat dilihat sebagai suara dari “yang lain” yang ingin didengar dan diakui. Menolaknya secara langsung tanpa pertimbangan etik bisa dibaca sebagai pengingkaran terhadap tanggung jawab eksistensial seorang pemimpin.

Di sisi lain, jika mediasi digunakan sebagai taktik politik untuk menggiring opini atau memancing legitimasi setengah hati, maka seorang Presiden pun berhak menimbang integritas proses. Artinya, menolak mediasi tidak serta merta berarti menolak perdamaian, melainkan mungkin justru bentuk tanggung jawab terhadap integritas hukum itu sendiri. Terlihat, Jokowi saat ini memegang prinsip ini.

Apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang mantan Presiden ketika menjadi tergugat dalam perkara seperti ini?

Jawaban filsafat hukum adalah: bertindak sebagai manusia hukum yang memiliki integritas moral dan keterbukaan etis. Artinya, ia bisa menerima mediasi sebagai upaya dialog, bukan semata untuk menghindari sidang, tetapi untuk menunjukkan bahwa hukum bukan hanya alat kekuasaan, melainkan ruang pertumbuhan demokrasi.

Namun jika mediasi dianggap tidak membawa kejelasan atau malah dipolitisasi, maka mengikuti proses persidangan secara terbuka dan menghormati forum peradilan justru menjadi jalan yang lebih jujur dan mendidik.

Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak menempuh mediasi harus dinilai bukan dari sikap diam semata, melainkan dari cara beliau memberi penjelasan kepada publik: bahwa hukum ditegakkan melalui pengadilan, bukan kompromi di balik meja.

Dalam filsafat hukum Jürgen Habermas, hukum adalah bagian dari “ruang publik rasional” tempat warga dan negara saling berdialog dalam terang akal. Dengan demikian, gugatan dan mediasi bukanlah medan tempur, tetapi laboratorium demokrasi. Presiden sebagai tergugat bukan hanya bertanggung jawab membela diri, tetapi juga memperkuat kepercayaan terhadap lembaga hukum.

Di sinilah kita melihat: hukum bukan sekadar teks perundangan, tetapi ekspresi nilai. Maka pertanyaannya bukan apakah Jokowi sebaiknya berdamai atau bersidang, tetapi bagaimana ia menunjukkan bahwa di negeri ini, hukum tetap menjadi jalan terang bagi keadilan dan kebenaran.

Lebih dari itu, Jokowi sebagai seorang mantan Presiden ingin menunjukkan bahwa hukum itu ada." It works", kata anak-anak milenial. Senyampang itu, bergeraknya mesin hukum memberi sinyal kepada publik: jangan main-main dengan martabat dan kehormatan orang lain, terlebih lagi kehormatan seorang mantan Presiden.