Memaksakan "Khilafah" melalui AD/ART FPI

Mengapa FPI memasukkan NKRI Bersyariah dalam AD/ART nya? Apakah belum cukup dengan NKRI tanpa embel-embel Bersyariah?

Senin, 2 Desember 2019 | 09:17 WIB
0
479
Memaksakan "Khilafah" melalui AD/ART FPI
Ketum FPI Sobri Lubis (Foto: detik.com)

Beberapa hari yang lalu di media sosial ada tagar #PresidenTakutFPI. Siapakah yang membuat tagar tersebut? Ya, mereka para pendukung presiden Jokowi sendiri atau cebong garis keras-bengkok-lunak.

Memang para pendukung Jokowi banyak yang kecewa, bahkan kekecewaan ini bisa dikatakan sebagai puncak kekecewaan para pendukung Jokowi. Dimulai dari SP-3 untuk kasus Rizieq Shihab, bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan, tidak berani mengeluarkan Perppu dan terakhir tidak berani membubarkan ormas FPI yang dianggap sering membuat aksi kekerasan.

Bahkan ada narasi kalau presiden Jokowi tidak berani membubarkan FPI akan menampar wajah sang presiden.

Para pendukung Jokowi menginginkan, ormas FPI izinya tidak diperpanjang kembali atau dibubarkan saja. Para pendukung Jokowi juga merasa-belum atau tidak dikeluarkan izin ormas FPI karena mereka ramai atau protes di medsos.

Memang Kementerian Dalam Negeri atau Tito Karnavian dan Menkopolhukam Mahfud MD belum mengeluarkan izin perpanjangan FPI karena dalam AD/ART-nya ada kata atau kalimat "Khilafah atau NKRI Bersyariah". Hal inilah yang menjadi sebab izin perpanjangan ormas FPI belum bisa dikeluarkan.

Jadi izin perpanjangan FPI belum dikeluarkan karena permasalahan AD/ART bukan izinya dicabut, apalagi dibubarkan.Kalau FPI mau mengubah AD/ART-nya,bisa saja izin perpanjangannya akan dikeluarkan.

Nah, bagi pihak diluar sistem atau pemerintahan seperti publik atau masyarakat dan para pengamat-biasanya bicaranya keras dan lantang. Karena ide atau gagasannya kalau pun salah atau keliru, tidak ada atau tidak akan berdampak pada ekonomi dan politik atau keamanan negara.

Mereka seperti anak kecil yang belajar menunyusun permainan Lego, sekalipun runtuh atau romboh tapi tidak nyata alias hanya permainan semata untuk melatih otaknya atau keterampilannya. Tidak ada dampak atau pengaruhnya. Apalagi berdampak sistemik.

Sedangkan, bagi orang yang di dalam sistem atau pemerintahan-apa yang dihadapi adalah kasus atau permasalahan adalah sesuatu yang nyata bukan seperti permainan Lego. Salah dalam pengambilan keputusan atau kebijakan,bisa berdampak "sistemik" yang akan menjalar kemana-mana dan akan mengganggu perekonomian atau politik.

Baca Juga: FPI dan Menag

Makanya, ada orang sebelum menjabat atau di luar sistem pemerintahan begitu lantang dan seakan pinter mencari solusi dalam perekonomian atau politik, tapi ketika masuk dalam sistem atau pemerintahan tidak bisa mengaplikasikan ide atau gagasannya sebelum menjadi bagian sistem atau pemerintahan.

Pemerintah dalam pengambilan kebijakan atau keputusan terkait ormas FPI tidak boleh bersumbu pendek seperti kebanyakan publik atau masyarakat. Karena banyak pertimbangannya. Pemerintah punya mata dan telinga dari pemasok informasi seperti badan intelijen. Sedangkan masyarakat atau publik lebih pada opini pribadi berdasarkan secuil informasi dan emosi semata.

AD/ART FPI ini seperti mengingatkan dalam sidang PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu ada usulan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Apalagi dalam AD/ART FPI ada kata Khilafah atau NKRI Bersyariah.

Mengapa FPI memasukkan NKRI Bersyariah dalam AD/ART nya? Apakah belum cukup dengan NKRI tanpa embel-embel Bersyariah?

Mau makar kok malu-malu.

***