Ndhasmu! Ibu Pertiwi Diperkosa....

Delapan sifat kepemimpinan ini bernilai universal dan tidak hanya bisa diterapkan bagi pemimpin Jawa ini bisa menjadi sumber inspirasi.

Minggu, 14 April 2019 | 10:51 WIB
0
927
Ndhasmu! Ibu Pertiwi Diperkosa....
Ilustrasi Ibu Pertiwi (Foto: Lirik Lagu Anak)

Diksi seperti ini sungguh teramat kasar bagi orang Timur. Apalagi bagi wong Solo, Yogyakarta juga sih. Bajingan! Ndhasmu! Apalagi jika dalam percapakan sehari-hari di dua kota budaya ini kata Ndhasmu dibarengi dengan kata pelengkap lain yang setara dengan umpatan itu,  Gundhulmu Amoh! Matamu picek (Kepalamu buluk, matamu buta). Kebetulan sih tidak....!

Diksi “ndhasmu” (dalam percakapan sehari-hari suka diplintir orang Jawa pakai kata-kata yang seolah diperhalus dengan sangat halus, “kagungan ndalem mustaka punika loh...,”) Padahal niatnya justru kasar, tetapi diungkapkan dengan gaya Solo super halus yang nylekit: “kepalamu itu loh, kangmas."

Dan ndhas endhas biasanya diartikan untuk kepala manusia yang tidak dimanusiakan. Lantaran, ndhas atau endhas itu bukan kepalanya manusia. Akan tetapi kepalanya kewan, atau hewan. Hanya binatang yang boleh dilekati dengan ndhas. Kalau dilekatkan pada manusia? Apalagi itu kepala pejabat, atau bahkan ndhas menteri? Artinya, menteri itu binatang. Dan dalam tatakrama Surakarta dan juga Yogyakarta, mereka yang biasa mengungkapkan hal seperti itu lebih pantas diungkapkan oleh anak jalanan. Orang yang adabnya kurang...

Kata umpatan “ndhasmu!” di Solo dan Yogyakarta, tentu sangat tidak teramat pantas diucapkan di panggung terhormat. Apalagi diucapkan oleh orang terhormat, seperti calon menteri, atau bahkan calon raja misalnya. Raja Surakarta Hadiningrat ataupun Ngayogyakarta Hadiningrat, tidak pas bersabda “ndhasmu!” untuk mengumpat orang lain di panggung resmi yang ditonton jutaan pasang mata.

Meskipun ada juga pepatah bahasa Jawa yang menarik, tidak dimaksudkan kasar, menggunakan kata “ndhas manusia”. Yakni, “endhas gundhul dikepeti..,” atau kepala botak dikipasi. Maknanya paradoks dan diucapkan sembari senyum. Kepala yang sudah botak, dikipasi dalam bahasa Jawa bermakna: Orang yang sering menemui sial, cilaka, tetapi pada suatu ketika menemukan posisi wueenak, maka jadi tambah uenaak lah dia jika dikipasi. Bisa juga diartikan, untuk menggambarkan orang yang bekerja dengan penuh kehati-hatian... Pepatah ini memang untuk mengungkapkan situasi yang paradoksal.

Ada juga penggunaan kata “endhas” yang menakutkan. Tawon endhas, atau tawon yang besar hitam berpunggung bulatan kuning, bisa juga tawon yang perutnya panjang meruncing sengat di ekor. Kalau menyengat? Biasanya sasarannya kepala, akan bengkak dan nyeri luar biasa karena upas sengatnya.

Selain dipakai untuk menyebut kepala binatang, ndhas atau endhas juga dipakai untuk menyebut kepala yang menggeret gerbong kereta api. Tetapi harus diucapkan secara repetisi, “ndhas-ndhasan sepur”. Maksudnya tentu saja lokomotif, kepala sepur. Kepala yang menjadi penarik gerbong-gerbong di belakangnya, yang berisi penumpang-penumpang manusia beneran.

Bajingan? Arti harafiahnya dalam basa Jawa sehari-hari adalah orang derajat rendahan yang pekerjaannya menarik gerobak. Semestinya, gerobak itu ditarik binatang. Tetapi di Solo terutama, banyak gerobak dengan roda bekas roda mobil, yang dihela oleh manusia untuk keperluan menarik pasir bangunan, batu bangunan, atau perabot, dan bahan bangunan yang lain. Lain halnya pedati dengan roda berlapiskan besi pelat tebal. Pedati biasanya dihela binatang, tidak pernah dihela oleh orang.

Seorang bajingan adalah orang yang profesinya menarik gerobak setiap hari. Biasanya tidak berkaus, bertelanjang dada ketika menghela gerobaknya. Atau kalau toh pakai baju kaus, maka kausnya lusuh, tanpa lengan. Karena akan percuma rapi, lantaran bahu punggungnya pasti akan kotor, dikotori pelapis karet ban bekas yang dipakai untuk melapisi dhadhung penarik gerobak yang terbuat dari tali tambang. Dhadhung biasa dipakai untuk menambatkan perahu atau sampan di pantai.

Gradasi dalam umpatan Jawa, Bajingan termasuk yang paling tinggi. Gradasi di bawahnya ada Bajingoek, Bajindhoel, Ndladhoek! Amarah sekali? Umpatan yang keluar dengan nada tinggi dari mulut si pemarah dan diucapkan dengan kesungguhan hati, adalah kata Bajingan! Mau lebih telak lagi? Tambahilah Asu! Dengan tanda seru....

Ketika kata “Bajingan” dan “Ndhasmu” ini muncul pada tataran calon pemimpin negeri? Tak urung, berkecamuk komentar luas di lapangan rakyat. Menjadi pembicaraan rakyat dimana-mana. Salah satu contoh, di sebuah kamar ganti sebuah tempat senam bugar di Jakarta Barat akhir pekan lalu, sekumpulan emak-emak yang masih berbebat handuk sehabis mandi usai bersenam, bergunjing tentang ucapan pemimpin yang memakai diksi “ndhasmu”, “diperkosa” dan “bajingan” untuk mengunjuk pada elite politik di Jakarta. Berhari-hari, setidaknya tiga hari ini, pergunjingan tentang diksi “ndhasmu”, “diperkosa” dan “bajingan” ini bisa dibaca di mana-mana di kalangan rakyat maupun obrolan warungan.

“Menurutmu bagaimana, ucapan seperti itu?” ungkap si ibu di Jakarta Barat. Ibu -- atau emak-emak menurut terminologi politik masa kini --  mengatakan sembari sarungan handuk, “Kok kasar ya? Sampai nggebrak meja segala...” (Padahal bukan meja yang digebrak, bu. Itu mimbar, mak).

“Yang saya nggak habis pikir, sekarang semua-mua dibawa ke agama. Pilgub DKI kemaren dibawa-bawa ke agama, Pilpres sekarang juga...,” tukas si emak-emak pesenam. Diksi di panggung politik menjelang Pilpres 2019 kali ini, kata si emak pesenam, kok kasar-kasar.

Di grup-grup WhatsApp? Jangan ditanya. Diskusi soal diksi “ndhasmu” pakai ditambah sharing rekaman YouTube ucapan Bajingan dan Ndhasmu segala. Kelompok pembela Capres Ndhasmu, mengatakan lha nyatanya Capres sono noh nggak bener kok? Negara mau dibawa kemana ini? Ibu Pertiwi sedang diperkosa. BUMN dikorupsi melulu.... (padahal, banyak yang ditangkap karena korupsi lantaran kini memang sedang digiatkan pemberantasan tindak korupsi, tak pandang bulu).

Sementara pendukung Capres lainnya bilang, lha wong mau menjadi pemimpin negeri kok amarah melulu. Iya kalau amarahnya bener? “Ibu Pertiwi kini sedang diperkosa...,” Kekayaan negeri dimiliki segelintir elite Jakarta. (Jangan-jangan malah segelintir itu termasuk do’i, tak hanya menguasai tanah ratusan ribu hektar, tetapi juga warisan kekayaan mertua, komen si pembela Capres sini di WhatsApp grup).

Sontoloyo? Nah, silakan orang asli Solo atau Yogya mengumpat. Repotnya, umpatan Sontoloyo itu sama sekali tidak kasar babar blas. Bahkan, umumnya orang mengungkapkan umpatan Sontoloyo sembari senyum, atau ketawa. Sebuah umpatan yang biasa diucapkan oleh orang yang terkecoh, dalam becanda misalnya. Si Asu misalnya, mengatakan: Sontoloyo! Sembari senyum. Dia tentu becanda... Atau melukiskan orang yang jago mengecoh orang lain (bukan berbohong dalam arti jahat, akan tetapi ‘mbujuki’ kata wong Surabaya), dengan umpatan: “dasar sontoloyo lu....,”

Di zaman Pilpres sekarang ini, yang ngomongnya kenceng menuduh orang lain buruk, jahat, bajingan, malah mengundang sorak membahana. Betuul? Betuuuuuuul..... sahut ribuan penonton. Yang berbuat nyata, dianggap salah. Goblok. Pembohong. Mereka malah dianggap bajingan, perkosa. Nah, maka dari itu terlihat seperti bodo amat. Sehabis membajing-bajingkan, pulang kampanye akbar di Monas naik infrastruktur terbaru buatan bajingan dan kawan-kawan, yakni MRT alias kereta listrik cepat moda angkutan massal terbaru di DKI Jakarta? Ya tidak menjadi soal. Emang dilarang? Kan naik infrastruktur bikinan Gubernur mereka? Yo wis, embuh, sak karepmu (terserah jidat lu).

Semburan-semburan kepalsuan, kebodongan, kebohongan, pemlintiran fakta memang luar biasa hebat menjadi pola kampanye Pilpres 2019 kali ini. Jauh lebih dahsyat ketimbang semburan kebohongan dan kebodongan di Pilpres 2014, yang mempertandingkan dua Capres yang sama, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. (Firehose of falsehood). Mungkin seperti layaknya Pilpres di Amerika sono, yang berakhir dengan kemenangan si penyembur Firehose of falsehood, Donald Trump yang kini banyak bermasalah di dalam maupun di luar negeri. Ketika berkampanye, si penyembur Firehose of falsehood ini memusuhi media mainstream di AS sono, dan justru menunggangi media-media abal-abal yang tak mempedulikan, apakah yang dimediakan itu fakta yang benar atau salah. Yang penting, suaranya kenceng. Dipercaya banyak orang habis perkara.

Nah, menjelang minggu tenang, jelang hari coblosan Pilpres 2019 hari Rabu 17 April 2019, umumnya orang sudah memiliki pilihan mantap gambar siapa yang akan dicoblos paku. Maklumlah, rentang masa kampanye nya kelewat panjang, tiga bulan penuh sejak Oktober 2018 silam. Kampanye terpanjang Pilpres selama ini. Tentu sudah mantap siapa yang dipilih. Coblos saja bro...

Bagi mereka yang suka mengacu pada kepemimpinan Jawa, hampir pasti larinya pilihan mereka akan diukur dengan sosok pemimpin yang mencerminkan sifat Hasthabrata. Konsep Hasthabrata adalah mengunjuk “delapan” sifat ideal -- kalau tak boleh disebut mutlak -- harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam konsep kepemimpinan Jawa.

Seorang pemimpin, atau calon pemimpin, calon raja, sudah seharusnya memiliki delapan sifat baik, sifat utama, atau sifat ideal. Yakni, harus seperti Surya (matahari), Bawana (bumi), Candra (bulan), Kartika (bintang), Tirta (air), Maruta (angin), Dahana (api) dan Samodra (lautan).

Brata pertama adalah Surya atau matahari. Seorang pemimpin harus menerangi alam semesta, ia juga dijadikan sumber energi, dan keberadaannya dibutuhkan oleh seisi planet republik dan pula makhluk-makhluk yang hidup di bumi negeri ini. Ia akan jadi pengarah, pengendali, penerang dan sumber kekuatan pengikutnya dalam mengatasi kesulitannya. Bukan menjerumuskan dalam kesulitan atau kerusuhan, misalnya.

Brata kedua adalah Bawana atau bumi. Seperti sifat bumi, ibu pertiwi, seorang pemimpin harus menjadi tempat sumber kehidupan di samping juga mengayomi, mengasuh, membimbing anak buahnya. Bukan menjlomprongkan.

Brata ketiga adalah Candra atau bulan. Bulan memiliki sifat romantis dan enak, lemah lembut, penuh perhatian. Seorang pemimpin yang ideal harus juga memahami anak buahnya, tidak semena-mena main hantem kromo memaksakan kehendak.

Brata keempat adalah Kartika atau bintang. Dalam tata kelola alam, bintang letaknya tinggi dan jauh di langit. Tetapi dalam perlambangnya, seorang pemimpin adalah tempat gantungan cita-cita, harapan, sumber inspirasi, pemberi arah anak buah yang dipimpinnya. Seorang pemimpin harus memiliki pandangan yang jauh ke depan. Bukan malah kembali ke belakang.

Brata kelima adalah Tirta atau air yang secara alami selalu mengalir ke bawah. Tidak pernah mengalir ke atas. Seorang pemimpin harus mampu menyesuaikan diri, seperti air, menyesuaikan dengan tempat dimana air ditampung. Adaptif, harus memperhatikan pula kebutuhan dan kepentingan pengikutnya. Bukan malah semata-mata bertumpu pada keinginan atasan.

Brata keenam adalah Maruta atau angin. Secara alami angin memiliki sifat kesejukan. Maka seorang pemimpin yang ideal, harus juga bisa membawa suasana kesejukan, bukan kepanasan dan marah-marah melulu tentunya.

Brata ketujuh adalah Dahana atau api. Secara alami api memiliki pula sifat panas, dan dapat membakar dan tidak harus amarah. Tetapi amanah. Seorang pemimpin seyogianya memiliki sifat yang bisa mengobarkan semangat anak buahnya. Ia bisa menjadi motivator pengikutnya. Jangan malah pesimis.

Brata kedelapan adalah Samodra atau lautan. Luas, bahkan lebih luas dari daratan. Seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas, dan juga memiliki kedalaman yang sedalam samudra. Memiliki jiwa yang lapang, mudah memaafkah kesalahan orang lain, tidak pendendam. Aspiratif dan memahami juga kebutuhan anak buahnya, tidak hanya menuruti nafsu berkuasa sendiri...

Nah, semoga kedelapan sifat kepemimpinan yang sebenarnya bernilai universal dan tidak hanya bisa diterapkan bagi pemimpin Jawa ini bisa menjadi sumber inspirasi. Bisa pula jadi salah satu pedoman bagi para pemilih untuk menetapkan pilihan, siapa calon pemimpin yang layak dicoblos untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Semoga tidak salah memilih...

***