Kegiatan belajar mengajar pada homeschooling dinilai cukup rentan terpapar radikalisme. Hal ini mencuat pasca terjadinya Bom bunuh diri di Jawa Timur yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Diduga, orang tua memberlakukan homeschooling agar sang anak mampu dikendalikan.
Basis Pendidikan anak sebetulnya ada pada orang tua. Semua yang berhubungan dengan buah hati tentunya akan dipilih secara maksimal. Hal ini akan memegang peranan atas tumbuh kembang anak termasuk pola pikir.
Rentannya homeschooling yang dipilih orang tua guna mendidik anak kini mulai mencuat, pasca terjadinya bom bunuh diri di Jawa Timur beberapa waktu lalu yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Kegiatan indoktrinasi pelaku bom termasuk memilihkan homseschooling untuk akses pendidikan sang anak dinilai rentan radikalisme. Pelaku Seolah tak ingin anaknya terpengaruh dunia luar atau takut tak menuruti perintah orang tua.
Homeschooling sebenarnya hampir sama dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Hanya saja, pada program Homeschooling ini kemungkinan orang tua akan lebih mudah memantau serta memberikan pengarahan. Jika Homeschooling pada umumnya mempekerjakan guru dari luar, sementara homeschooling yang dinilai mudah terpapar radikalisme ini seringkali diampu oleh orang tua sendiri. Sehingga potensi untuk memasukkan paham-paham yang menyimpang menjadi lebih besar.
Coba kita lihat, tumbuh kembang anak yang bersekolah disekolah umum dan homeschooling, tentunya akan sangat berbeda. Bagaimana cara mereka berkomunikasi, cara bergaul hingga menilai suatu masalah termasuk anak pelaku radikalisme ini biasanya cenderung menutup diri dalam bersosialisasi. Parahnya anak-anak pelaku radikalisme ini sengaja dicetak menjadi kloning pelaku paham radikal.
Sebelumnya, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menyatakan bahwa proses pembelajaran homeschooling (HS) rentan terhadap penyebaran paham radikalisme. Hal ini didasarkan atas pembelajaran yang fleksibel, penjauhan anak-anak dari nilai-nilai umum, serta longgarnya pengawasan pemerintah menjadi celah guna menyuburkan transfer ilmu agama secara radikal.
Arif Subhan selaku Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta menuturkan, hasil penelitiannya bukan lantas menggeneralisasi bahwa HS ini radikal, namun tetap berpotensi menyuburkan paham radikalisme. Dari sebanyak 56 sampel HS yang tersebar di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Surabaya, Solo , Makassar, dan Padang, terdapat sekitar lima HS yang terindikasi telah terpapar radikalisme. Bahkan, Kelimanya merupakan HS yang memiliki basis ajaran Islam yang bersifat eksklusif (spesial).
Jika dilihat dari Permendikbud 129/2014, praktik HS terbagi menjadi dua. Pertama yaitu, HS yang menempatkan orang tua sebagai guru. Kedua, orang tua mengikutsertakan anaknya di komunitas HS atau mengundang guru ke rumah guna mengajar. HS sendiri biasanya diberikan merujuk pada kebutuhan anak, orang tua, maupun ajaran agama.
Kelompok HS yang mempunyai dasar ajaran Islam memaknai ibu adalah sekolah yang utama. Mereka mempercayai model pendidikan al-salaf al-shalih (kaum salaf) merupakan pendidikan yang ideal bagi muslim. Yakni, Menanamkan tauhid dan baca tulis Alquran seperti yang dipraktikkan pada zaman Nabi Muhammad SAW dan juga para sahabat. Motivasinya ialah dengan memberikan pendidikan agama, khususnya akidah yang benar dan kuat.
Sementara itu, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, turut mewaspadai keterlibatan anak dalam aksi terorisme sebagai modus baru dengan cara mendoktrin anak secara terus-menerus oleh pelaku. Arist menambahkan bahwa usia anak-anak ini memang dinilai sangat rawan serta mudah untuk dipengaruhi sebab mereka masih memasuki usia yang sangat peka dan sensitif.
Berkenaan dengan anak-anak pelaku teror bom bunuh diri di wilayah Jawa Timur ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengaku sulit untuk memantau penyebaran paham radikalisme yang berpotensi akan menyebar melalui sekolah informal, khususnya sekolah rumahan atau homeschooling tunggal yang diadakan oleh orang tua dalam lingkup satu keluarga.
Harris Iskandar selaku Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud tak memungkiri bahwa homeschooling tunggal mungkin menjadi sarana baru bagi orang tua mengajarkan radikalisme pada anak mereka.
Pendidikan memang sangat berperan penting dalam proses pembentukan karakter seorang anak. Dari pendidikan anak akan terarah untuk memilih jalan yang mereka yakini benar sesuai ajaran atas pendidikan yang mereka dapatkan.
Yang dikhawatirkan ialah jika cara mendidik dengan beragam doktrin-doktrin yang salah dan menyimpang tentunya akan membuat anak makin terjerumus kedalam pemikiran yang salah. Maka dari itu pemerintah mewanti-wanti agar dapat selektif dalam memilih sarana pendidikan. Apalagi pemerintah tidak pernah mendapatkan data lengkap terkait homeschooling ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews