Sosok "Jaenudin Nachiro" dalam Puisi Fadli Zon

Minggu, 9 Desember 2018 | 23:04 WIB
0
514
Sosok "Jaenudin Nachiro" dalam Puisi Fadli Zon
Fadli Zon (Foto: Mahdaen.TV)

Ulah kritis para politisi zaman now ini memang selalu ada-ada saja. Umumnya, kritik itu ditujukan untuk hal-hal yang bersifat kebijakan, sehingga kritik tentu saja berdampak pada soal kebijakan politik yang mensejahterakan masyarakat.

Namun, para politisi zaman now tentu saja bersikap kritis bahkan seringkali mengada-ada yang ditujukan kepada pribadi seseorang. 

Politisi Gerindra Fadli Zon, memang kerapkali melontarkan kritik yang menyerang kubu lawan politik, terutama menyerang secara pribadi, bukan pada bentuk dalam hal mengkritisi sebuah kebijakan.

Beberapa waktu yang lalu, puisinya tentang "potong bebek angsa" sempat viral dan kini Fadli membuat puisi yang kurang lebih sama, menyerang pribadi Jokowi dengan sebutan "Jaenudin Nachiro".

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, saat Presiden Jokowi menutup acara Festival Bintang Vokalis Qasidah Gambus Tingkat Nasional di Pondok Gede, Jakarta lalu bersenandung lagu "diin as-salaam" yang dipopulerkan grup gambus milenial Sabyan. Syair yang seharusnya "zainuddin yahtirom" dibaca oleh Jokowi seolah "jaenudin nachiro" karena memang Jokowi tak fasih berbahasa Arab. 

Namun demikian, dalam pidato selanjutnya ketika menjelaskan bait-bait lagu ini, secara fasih Jokowi menyebut "zayinuu addunya ihtiroom" yang jika diterjemahkan kira-kira, "hiasilah dunia itu dengan saling memuliakan".

Jokowi tampaknya memang mengapresiasi keberadaan gambus yang belakangan kian populer setelah grup Sabyan sukses mengemasnya secara baik dan milenialistik.

Hal inilah barangkali yang kemudian menginspirasi Fadli untuk mengunggah sebuah puisi menyoal "keseleo lidah" Jokowi saat mendendangkan lagu "diin as-salam" yang digubah Sabyan.

Fadli tentu saja menolak menyebutkan siapa sosok jainudin yang dimaksud dalam puisinya dan membiarkan publik untuk menelusuri sendiri siapa sosok yang ia maksud. 

Menariknya, soal puisi ini mungkin saja sebagai bentuk aksi politik balasan, karena Prabowo juga pernah disindir soal pidato dirinya di kegiatan Reuni 212 yang menyebut "hulaihi wasallam" padahal seharusnya "shallallahu 'alaihi wa sallam".

Inilah realitas kepolitikan kita yang sesungguhnya, lebih banyak menyerang sisi pribadi setiap kandidat dibanding mengkritisi setiap kebijakan atau visi-misi politiknya.

Diakui maupun tidak, kedua kandidat yang saat ini sedang berkompetisi di Pilpres 2019, memang bukanlah orang-orang yang fasih berbahasa Arab. Tapi seolah-olah, mereka ingin menunjukkan kecakapannya di depan publik, tak peduli jika terjadi kesalahan lidah dalam ucapannya. 

Mereka tentu saja sedang menarik simpati kalangan Islam yang memang mayoritas, bahkan sepertinya kedua kandidat saling klaim dukungan mayoritas yang berasal dari berbagai basis masyarakat muslim.

Kedua kandidat memang sepertinya sedang jor-joran mencari dukungan dari suara umat Islam, sehingga bagaimanapun caranya, jika itu dapat mendongkrak elektabilitas sudah tentu dilakukan.

Suara masyarakat muslim memang tak bisa diabaikan, ditengah polarisasi keagamaan yang belakangan semakin menguat. Itulah kenapa, soal kegiatan Reuni 212 di Monas yang tampak sepi dari pemberitaan media juga membuat kandidat capres nomor urut 2 Prabowo Subianto berang dan memarahi para wartawan. 

Reuni 212 tentu saja memiliki makna politik bagi Prabowo, karena dengan jumlah pesertanya yang lebih dari 10 juta orang, dapat diklaim sebagai suara umat Islam yang mendongkrak elektabilitas dirinya dalam Pilpres mendatang.

Dengan pemberitaan media, Prabowo jelas diuntungkan, karena hampir seluruh peserta Reuni 212 adalah mereka yang menolak Jokowi kembali menang dalam pemilu tahun depan.

Berebut suara mayoritas umat muslim itu merupakan sebuah kenyataan politik, bahkan seperti tak bisa ditawar-tawar.

Asumsi saya, terjadi polarisasi yang sedemikian tajam diantara umat Islam, terutama dalam hal perbedaan ideologis yang kemudian terpecah kedalam dua kubu politik yang saling berlawanan. 

Kedua kubu tampak saling serang, bahkan tak jarang dikooptasi oleh ideologi keagamaannya masing-masing yang jika disederhanakan mungkin tak berlebihan jika disebut sebagai ajang "pertarungan ideologis" antara Islamisme dan Nasionalisme.

Kubu pertama sepertinya terus menyebarkan paham bahwa Islam yang seharusnya mampu menjadi pemenang dalam seluruh kontestasi politik atau minimal yang duduk dalam pusat-pusat kekuasaan adalah mereka yang secara formal mendukung gerakan Islam. 

Yang disebutkan kedua, mungkin mereka yang berideologi nasionalis, atau mereka tak secara formal mengedepankan agama sebagai ideologi, walaupun kenyataannya tetap sebagai seorang muslim yang baik dengan mengamalkan ajaran Islam secara substantif dengan tidak mengedepankan nilai-nilai simbolik. 

Penyederhanaan ini memang tak dapat sempurna menggambarkan perbedaan ideologis yang berkembang di setiap kubu politik, namun sekadar penyederhanaan yang bersifat simplistik.

Saya kira, puisi Fadli Zon juga sedang berupaya merebut simpati pemilih muslim dengan menunjukkan bahwa kubu lawan juga lemah dari sisi agamanya.

Jika Jokowi selalu disebut-sebut sebagai seorang muslim yang baik oleh para pendukungnya, bahkan cawapresnya Ma'ruf Amin pernah berseloroh soal kesantrian Jokowi, seperti sedang "dilawan" oleh puisi Fadli. 

Politik pada akhirnya semakin membuka "kelemahan" masing-masing kubu kontestannya dan hal itu tentu saja melibatkan pribadi seseorang bahkan tingkat kesalehannya yang diukur dari fasih atau tidaknya, salah atau benarnya dalam menarasikan entitas keislaman.

Padahal, soal lagu yang salah diucapkan salah, mestinya tak berpengaruh dibandingkan ketika menyebut nama Rasulullah yang sakral bagi umat Islam.

Itulah resikonya ketika agama terus dijadikan "kosmetikasi" dalam ajang politik, sehingga ukuran-ukuran keagamaan semakin tidak rasional ketika dibenturkan dengan kenyataan politik para kandidatnya. Agama yang seharusnya bersifat individual dan primordial, justru berubah ketika dihadirkan dalam realitas sosial, bahkan mungkin kehilangan kesakralannya ketika ia dijadikan sekadar alat kosmetikasi politik kekuasaan. 

Yang menyedihkan, agama yang semestinya menjadi "tuntunan" kini sekadar "tontonan" bahkan cemoohan banyak orang yang mengaku sebagai pribadi yang beragama.

Bukan tidak mungkin, istilah "jaenudin nachiro" yang dimaksud dalam puisi Fadli juga bentuk cemoohan kepada orang yang beragama sama dengan dirinya. 

Politik kekuasaan ternyata menggerus nilai moralitas keagamaan dan agama sekadar dipergunakan menjadi alat politik untuk saling menjatuhkan, bukan saling mengingatkan dalam hal kebaikan.

***