Persoalannya, apakah PDIP yakin bahwa Puan dapat mendulang suara bagi PDIP pada pemilihan legislatif, dan juga yakin bahwa rakyat mau memilih Puan pada Pilpres 2024.
PDIP akhir-akhir ini gencar menyerang Ganjar Pranowo, kader PDIP yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Berbagai atribut disematkan PDIP pada Ganjar Pranowo yang disebut-sebut beberapa lembaga survei sebagai calon presiden favorit. Mulai dari ”Sudah Kemlinthi (sombong), Tak Menghargai Megawati” hingga ”Selain Main Medsos, Apa Kinerjanya Selama 8 Tahun menjadi Gubernur”.
Tidak jelas apa persis yang diinginkan oleh PDIP dengan serangan gencarnya terhadap Ganjar, apakah untuk menjatuhkan popularitas Ganjar guna memberi jalan kepada Puan Maharani, yang akan menjadi calon presiden yang diusung PDIP? Atau PDIP justru berniat menambah dukungan bagi Ganjar untuk menjadi Presiden 2024-2029? Maksudnya, PDIP sengaja menjadikan Ganjar sebagai ”sasaran tembak” atau sebagai ”orang yang teraniaya”, agar rakyat lebih bersimpati kepadanya.
Ada yang berpendapat bahwa serangan gencar terhadap Ganjar Pranowo adalah untuk menjatuhkannya, mengingat PDIP ingin mengajukan Puan Maharani sebagai calon presiden dari PDIP pada pemilihan presiden 2024.
Persoalannya, apakah PDIP yakin bahwa Puan dapat mendulang suara bagi PDIP pada pemilihan legislatif, dan juga yakin bahwa rakyat mau memilih Puan pada pemilihan presiden 2024.
Memang Puan Maharani pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (2014-2019) dan Ketua DPR (2019-2024), tetapi banyak yang meragukan kemampuannya untuk menjadi presiden.
Namun, jangan lupa pada ujaran Kanselir Otto von Bismark dari Kerajaan Prusia (Jerman), ”politics is the art of the possible”, atau dalam politik, apapun bisa terjadi.
Jika PDIP ingin menjatuhkan Ganjar untuk memberi jalan kepada Puan, maka menyerang Ganjar secara gencar adalah strategi yang keliru. Kita belum lupa apa yang terjadi pada PDIP ketika menyerang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang pemilihan presiden 2004, tepat 20 tahun lalu.
Pada saat itu, SBY adalah Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan pada kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri. SBY secara diam-diam mencalonkan diri sebagai presiden, dan menjadi pesaing bagi Mega yang juga menjadi calon presiden.
Terjadilah ”ketegangan” antara Mega dan SBY, dan PDIP—dalam hal ini, Taufiq Kiemas—menyerang SBY dengan menyebutnya ”SBY Anak Kecil”. Hasilnya, SBY mengungguli Mega dalam pemilihan presiden, padahal Mega adalah petahana. Memang ada banyak contoh bahwa rakyat cenderung membela ”orang yang teraniaya”.
Itu antara lain juga terlihat ketika Megawati Soekarnoputri yang terpilih sebagai Ketua PDI, kemudian ”dilengserkan” oleh Presiden Soeharto dengan menunjuk Soerjadi sebagai Ketua PDI tandingan. Soeharto menjadikan Mega sebagai ”orang yang teraniaya”.
Akibatnya, dalam pemilihan umum 1997, rakyat menghukum PDI hingga hanya meraih suara 3 persen, turun 11 persen dari perolehan suara PDI pada pemilihan umum 1992.
Baca Juga: "Ngoncek'i" yang Mau Nyapres
Dan, pada pemilhan umum 1999, setelah Presiden Soeharto lengser, PDIP menempati urutan teratas, mengalahkan perolehan suara Golkar yang di masa Orde Baru selalu menempati urutan teratas. Pada pemilihan umum 2004, Golkar kembali menempati urutan teratas, diikuti PDIP di urutan kedua.
Namun, dalam pemilihan presiden 2004, SBY yang partainya berada di urutan kelima, terpilih menjadi presiden dalam pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews