Jangan Mimpi Jadi Walikota Makassar Jika Tak Punya Uang Rp80 Miliar!

Dalam perspektif ini, pernyataan Rudal dan Nasran bisa pula dibaca sebagai bentuk kritikan bahkan mungkin sinisme pada partai yang mengabaikan kadernya.

Minggu, 16 Juni 2019 | 07:59 WIB
0
772
Jangan Mimpi Jadi Walikota Makassar Jika Tak Punya Uang Rp80 Miliar!
Rusdin Abdullah (Foto: Rakyatku News)

"Jika calon tak punya uang Rp80 miliar maka jangan bermimpi jadi Wali Kota Makassar," kata Rusdin Abdullah politisi Golkar yang juga seorang pengusaha.

Saya kira Rudal, demikian Rusdin Abdullah akrab disapa tidak sedang bercanda. Pengalamannya sebagai Paslon Wali Kota Makassar pada periode sebelumnya membuatnya pahami betul apa yang diucapkannya.

Untuk bisa ditetapkan sebagai Paslon Wali Kota Makassar anda harus mengantongi minimal 10 dari 50 kursi yang tersedia. Bagaimana dengan mahar politik untuk setiap kursi yang tidak gratis alias mahal?

Masalahnya belum selesai sampai di situ, untuk bisa dilirik partai, seseorang harus memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Untuk itu bakal calon membutuhkan sosialisasi yang intens dan terukur, idealnya sejak awal dikawal lembaga survei yang kredibel dan profesional untuk hasil yang maksimal.

Lagi-lagi masalahnya harus tersedia fulus yang memadai. Belum lagi kita bicara biaya kampanye pasca penetapan sebagai Paslon dan seterusnya, dan seterusnya. Seluruh variabel tersebut ikut diperhitungkan Rudal hingga sampai pada kesimpulan dengan angka yang fantastis.

Meskipun tidak diakui secara vulgar, kelihatannya perspektif Rudal diamini Nasran Mone, koleganya di Golkar. Dibanding Rudal, Nasran lebih spekulatif. Ia bahkan berani memprediksi 3 nama yang bakal mencapai tahap Paslon.

Selain Moh. Ramdhan Pomanto (Danny) dan Munafri Arifuddin (Appi), dua nama yang pada Pilwalkot kemarin dinyatakan lolos sebagai Paslon meski pada akhirnya Danny harus tersingkir karena didiskualifikasi penyelenggara, Nasran juga menyebut nama Sukriansyah S Latief, mantan jurnalis, Staf Khusus Mentan dengan segudang prestasi.

Lantas, mengapa Nasran menyingkirkan Irman YL dalam daftarnya padahal Pilwalkot sebelumnya None, panggilan akrab Irman YL merupakan lawan terkuat Danny? Apa karena SYL kakaknya tak lagi bertengger di posisi puncak perpolitikan Sul-Sel. Pertanyaan yang sama berlaku terhadap mantan Wawali Syamsu Rizal (Dg Ichal) serta calon lainnya.

Melihat jumlah kursi yang tersedia, pemilihan Wali Kota Makassar berpeluang melahirkan hingga 4 Paslon, meski sulit. Sementara dari jalur independen publik berhak mengajukan 2 Paslon bahkan lebih dengan perhitungan syarat dukungan untuk maju independen membutuhkan sebanyak 7,5 persen dari jumlah pemilih yang tercantum pada DPT Kota Makassar sebesar 1 juta lebih.

Namun prilaku borong partai di antara Paslon untuk menutup ruang bagi calon lain merupakan hal yang jamak bahkan dianggap prestasi. Padahal pilihan yang banyak serta beragam memungkinkan masyarakat menyalurkan aspirasinya tanpa merasa didikte oleh pilihan yang terbatas.

Meski tidak berharap sesemarak pemilihan Wali Kota Makassar 2013 yang meloloskan hingga 10 Pasangan Calon, publik merindukan suasana segar dan tidak monoton.

Kolaborasi uang dan kekuasaan sebagai penentu dalam kontestasi politik di Kota Makassar menjadi wacana dominan di Warkop.

Baca Juga: Pasangan Appi-Cicu di Kota Makassar Ini Kalah Lawan Kotak Kosong

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari pernyataan Rudal maupun Nasran, hanya saja statement itu membuat kita masygul. Jika benar dua variabel di atas yang menentukan warna perpolitikan kita, bisa dipastikan cita-cita reformasi untuk menghadirkan iklim perpolitikan yang lebih kondusif telah ditelikung sedemikian rupa bahkan oleh mereka yang ikut memperjuangkannya.

Satu hal yang pasti ikut berkontribusi terhadap amburadulnya perpolitikan tanah air adalah partai politik sendiri. Peran partai yang seharusnya menyiapkan kader terbaiknya sebagai calon pemimpin gagal karena terjebak dalam pusaran uang dan kekuasaan.

Partai politik yang seharusnya menjadi kawah candradimuka lahirnya politisi tangguh dan berkarakter justru seringkali lebih memprioritaskan orang luar atau relatif baru di partai karena alasan finansial. Akibatnya, politisi muda berbakat yang meniti karir panjang di partai menjadi apatis karena kehilangan orientasi.

Terhadap kader terbaiknya, seharusnya selain menyiapkan kendaraan politik dan finansial, partai juga berkewajiban menyiapkan seluruh infrastruktur partai untuk mendukung kemenangan kadernya.

Bukan malah sebaliknya memberi peluang yang sama pada siapa saja, termasuk mereka yang tak berkeringat dan tak memahami idiologi partai untuk ikut berkompetisi memperebutkan dukungan partai.

Bahkan sulit dipungkiri kebijakan partai politik, terutama terkait penentuan usungan dalam kontestasi berada ditangan ketua umumnya dan seringkali mengabaikan mekanisme penjaringan yang disepakati bersama di internal partai.

Dalam perspektif ini, pernyataan Rudal dan Nasran bisa pula dibaca sebagai bentuk kritikan bahkan mungkin sinisme pada partai yang mengabaikan kadernya.

Satu hal yang mesti diberi penekanan, bahwa cara pandang yang menempatkan uang dan kekuasaan sebagai penentu segalanya dalam kontestasi politik tanpa sadar menjebak publik dalam wacana yang sempit dan menyesatkan. Publik digiring pada situasi seakan tanpa pilihan kecuali terhadap mereka yang dipersepsi memiliki atau disokong uang dan kekuasaan.

Rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan 'dipaksa' menerima tanpa boleh protes, mengapa dan untuk kepentingan siapa?

***

Keterangan: Judul asli tulisan ini adalah "Pilwakot Makassar dalam Diskursus Warung Kopi".