Pilihan "terburuk" Demokrat mau tidak mau berlabuh ke Nasdem-PKS. Jika PKS tidak ngotot mencawaspreskan kadernya, duet Anies Baswedan-AHY jadi sangat memungkinkan.
Demikianlah koalisi dalam politik terjadi, mengulang adagium lama, "tidak ada musuh abadi, melainkan kepentingan". Tentu tidak layak dipersalahkan, sebab mekanisme dan ketentuan mensyaratkan para partai politik itu harus saling berkoalisi.
Kolisi dan koalisi sesuatu yang berbeda. Mungkin antara satu parpol dengan parpol lainnya pernah berkolisi (bertabrakan atau bertikai), tetapi jelang hajat demokrasi seperti pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), berkoalisi lebih penting.
Itu pulalah yang tercermin dari "sinyal kuat", istilah yang dikemukakan Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra, saat bersama-sama Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mendaftarkan partai mereka masing-masing sebagai peserta Pemilu 2024 ke KPU.
Di sudut lain, ada koalisi yang sudah terbentuk sajak awal, yaitu koalisi "kuning-hijau-biru" yaitu Golkar, PPP dan PAN. Mereka sudah lumayan solid.
Bagaimana dengan posisi "merah" alias PDIP yang diketuai Megawati Soekarnoputri?
Dengan perolehan suara 19 persen pada pemilu lalu, tinggal satu partai saja yang bisa diajak serta.
Menjadi pertanyaan, siapa partai yang kelak akan diajak itu?
Jelas, kemarin lewat pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, partai banteng itu menampik berkolisi dengan Nasdem. Alasannya, partai yang diketuai Surya Paloh itu sudah menjalin koalisi dengan PKS, yang bagi PDIP "harga mati" untuk tidak berkoalisi.
Mengapa? Surya Paloh terlalu "pethakikan" mencalonkan Anies Baswedan sejak dini, meski dengan embel-embel mencapreskan kader PDIP lainnya, Ganjar Pranowo, tetap saja itu membuat PDIP bermuram durja.
Pasalnya, PDIP sendiri tengah menyiapkan putri mahkotanya, Puan Maharani, sebagai bakal capres, eh... Surya Paloh malah menyebut Ganjar yang di internal PDIP adalah rival Puan. Ini sangat sensitif buat PDIP.
Ganjar memang merajai elektabilitas sejumlah survei, tetapi Puan masih berkubang di "baskom", barusan satu koma, padahal pemasangan baliho raksasa di sejumlah lokasi sudah disiapkan. Meski elektabilitas juara, Ganjar tidak dilirik di kandang banteng sendiri.
Celaka memang, pemasangan baliho bergambar puan itu seperti tidak ada pengaruhnya, mulai dari "kepak sayap kebhinekaan" sampai penegasan Puan sebagai cucu Bung Karno dan anak biologis Megawati Soekarnoputri. Mungkin perhatian publik lebih tertarik pada fenomena Roy, Jeje dan Bonge di Citayam Fashion Week
Tetapi, koalisi Nasdem-PKS tidak cukup memenuhi Presidential Threshold 20 persen, ia harus menggaet satu partai lain. Dan, satu partai tersisa yang tampak masih anteng-anteng saja itu adalah Demokrat yang diketuai Agus Harimurti Yudhoyono.
Pertanyaannya, diam atau pasifnya Demokrat itu sebuah strategi "wait and see something" atau malah "did not see anything". Tentu hanya bisa dijelaskan Susilo Bambang Yudhoyono atau AHY sendiri. Sebab, wajib hukumnya bagi Demokrat untuk berkoalisi dan segera mencari teman.
Pilihan Demokrat memang bisa ke PDIP, PIB atau Nasdem-PKS. Tetapi partai berlambang "mercy" ini harus segera menentukan sikap. Telat bersikap, ujung-ujungnya mengambangkan lagi; partai oposisi bukan, partai berkuasa apalagi.
Jika PDIP mengharuskan berkoalisi, partai yang tersisa memang cuma Demokrat. Artinya Megawati harus menurunkan egonya untuk bisa menerima SBY sebagai rival utamanya dalam berpolitik jika PDIP tidak cukup memenuhi ambang batas presiden.
Bergabung dengan Gerindra, jelas sudah disalip Cak Imin dan posisi tawar sebagai cawapresnya Prabowo yang sempat digadang-gadang menjadi berantakan bahkan tertutup. Tentu Cak Imin merasa lebih berhak sebagai cawapresnya Prabowo dibanding AHY.
Pilihan "terburuk" Demokrat mau tidak mau berlabuh ke Nasdem-PKS. Jika PKS tidak ngotot mencawaspreskan kadernya, duet Anies Baswedan-AHY jadi sangat memungkinkan.
Tetapi untuk sementara, sinyal kuat saat ini masih berada di area Gerindra dan PKB.
Suka atau tidak suka.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews