Jokowi kini berada dalam titik kritis: antara menjadi politisi yang memperpanjang pengaruhnya atau negarawan yang menata warisan sejarahnya. Kedua jalur memiliki risiko dan potensi.
Setelah lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI dua periode, nama Joko Widodo (Jokowi) kembali hangat diperbincangkan media, baik media massa arus utama maupun media sosial. Kali ini bukan soal pembangunan IKN yang diusukan mangkrak atau hilirisasi nikel yang membuat geram Eropa, melainkan soal kemungkinan besar dirinya akan memimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
PSI selama ini dikenal sebagai partai anak muda yang pro-Jokowi. Dalam Pemilu 2024 lalu, PSI mendapat 2,8% suara, gagal lolos ke DPR. Namun jika Jokowi benar-benar menjadi Ketua Umum, bukan tak mungkin elektabilitas PSI bisa melonjak. Survei LSI (Desember 2023) menunjukkan bahwa Jokowi adalah tokoh politik paling dipercaya publik dengan tingkat kepercayaan di atas 70%.
Jika kemungkinan ini terjadi, PSI bisa menjadi “rumah baru” bagi Jokowi sekaligus kendaraan untuk mengawal program-programnya pasca-pemerintahan. Ia bisa melanjutkan narasi keberlanjutan—baik untuk IKN maupun agenda ekonomi lainnya—tanpa harus terikat oleh struktur pemerintahan.
Setelah menjabat dua periode sebagai Presiden Republik Indonesia, Jokowi seolah berada di persimpangan jalan sejarah. Isu yang menyebut bahwa ia akan bergabung atau bahkan memimpin PSI, terutama setelah hubungannya dengan PDI Perjuangan—partai yang mengusungnya sejak Wali Kota Solo hingga Presiden—retak dan berujung pada pemecatan, semakin santer terdengar dan tidak terbendung lagi.
Pertanyaannya kini bukan sekadar apa yang akan Jokowi lakukan, melainkan apa yang sebaiknya ia lakukan: apakah tetap di ranah politik praktis atau naik kelas menjadi seorang negarawan?
Dalam filsafat politik, distinction antara politician dan statesman sangat fundamental. Seorang politician mencari kekuasaan demi perubahan jangka pendek dan kalkulasi elektoral. Sebaliknya, seorang statesman berpikir dalam skala waktu sejarah, memandang kekuasaan bukan sebagai tujuan, melainkan alat untuk mewariskan nilai dan arah bagi bangsa. Abraham Lincoln, Nelson Mandela, dan Soekarno di masa akhir hidupnya adalah contoh klasik dari negarawan.
Jokowi telah mencapai puncak karier politik elektoral: dari wali kota, gubernur, hingga presiden. Dari sudut pandang politik klasik Aristoteles, fase selanjutnya bagi seorang pemimpin ideal adalah “bios theoretikos”—hidup kontemplatif untuk kebaikan bersama.
Namun realitas Indonesia pasca-2024 tidak sesederhana dikotomi itu. Ada tarik menarik antara loyalitas keluarga, warisan politik, dan institusionalisasi kekuasaan.
Berdasarkan survei Litbang Kompas (Mei 2024), Jokowi tetap menjadi tokoh dengan tingkat kepercayaan publik tertinggi, dengan approval rating sebesar 72,3% bahkan menjelang akhir masa jabatannya. Citra “pemimpin yang bekerja” masih kuat melekat, terutama di kalangan pemilih muda dan warga luar Jawa.
Namun, elektabilitas PSI—partai yang kini dikaitkan dengannya—belum pernah menembus ambang batas parlemen 4% sejak Pemilu 2019. Bahkan di Pemilu 2024, PSI hanya meraih sekitar 2,8% suara nasional (KPU). Ini berarti Jokowi akan mengawali perjuangan dari titik rendah, bukan dari kursi empuk.
Jika Jokowi benar-benar menjadi Ketua Umum PSI, maka ia akan memberi bobot elektoral dan jaringan kepada partai yang masih muda dan cair. Ini bisa mempercepat regenerasi partai dan mencegah stagnasi elite.
Dengan tetap aktif di politik, Jokowi bisa memastikan keberlanjutan program-program strategisnya: Ibu Kota Nusantara, hilirisasi industri, digitalisasi layanan publik, dan reforma agraria.
Di tengah kemungkinan kuatnya dominasi satu koalisi dalam parlemen 2024-2029, kehadiran Jokowi bisa menjadi kekuatan penyeimbang agar demokrasi tidak jatuh ke dalam otoritarianisme elektoral.
Di luar kebaikan itu, tersimpan pula keburukan jika Jokowi terjun lagi ke politik, salah satunya merusak imajinasi negarawan. Keterlibatan aktif dalam politik praktis pasca-presiden bisa menghapus bayangan Jokowi sebagai figur pemersatu. Ia bisa dicitrakan sebagai pemimpin yang tak rela melepaskan kuasa.
Dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih 2024, keterlibatan Jokowi dalam partai politik juga bisa menimbulkan tuduhan nepotisme struktural. Ini melemahkan etika demokrasi dan meritokrasi.
Di beberapa wilayah, basis pemilih Jokowi adalah kelompok nasionalis moderat yang juga pendukung PDI-P. Perpecahan antara Jokowi dan PDI-P bisa mengancam konsistensi suara nasionalis dan menciptakan polarisasi baru.
Jalan Tengah: Menjadi Kingmaker Bijak
Ada opsi ketiga, yakni menjadi kingmaker tanpa jabatan struktural. Dengan reputasi publik yang masih tinggi, Jokowi bisa menjadi penentu arah kebijakan melalui pengaruh moral, bukan otoritas formal. Ini seperti peran Lee Kuan Yew di Singapura pasca-pemerintahan, atau Barack Obama dalam ekosistem politik Demokrat AS.
Bahkan, Jokowi dapat mendirikan sebuah “lembaga negarawan” seperti The Jokowi Institute untuk riset kebijakan publik, pengembangan kepemimpinan muda, dan diplomasi informal. Ini akan menegaskan dirinya bukan sekadar mantan presiden, tapi founding figure dari sebuah generasi kepemimpinan baru.
Jokowi kini berada dalam titik kritis: antara menjadi politisi yang memperpanjang pengaruhnya atau negarawan yang menata warisan sejarahnya. Kedua jalur memiliki risiko dan potensi. Namun dalam bingkai sejarah Indonesia, mereka yang menolak kekuasaan di saat mereka bisa meraihnya, justru dikenang lebih lama dalam hati rakyat.
Atau seperti kata filsuf Lao Tzu, "When the best leader's work is done, the people say: 'we did it ourselves'."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews