Budi Pekerti

Hidupkan kembali tradisi di setiap desa yang memicu keguyuban dan kegotongroyongan sekaligus keselarasan dengan bumi - seperti merti desa, sedekah bumi, dan sejenisnya.

Rabu, 9 Oktober 2019 | 08:08 WIB
0
374
Budi Pekerti
ILustrasi budi pekerti (Foto: ciputraceo.net)

Dinamika yang terjadi belakangan ini, terkait dengan demonstrasi yang berujung kerusuhan, menyadarkan kita kurangnya satu hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: Budi Pekerti. Ini menegaskan apa yang pernah diungkapkan sebagian pemerhati pendidikan, bahwa sudah saatnya kita kembali menguatkan budi pekerti.

Pada era 90 ke sini, trend di dunia pendidikan kita adalah menguatkan pendidikan agama. Tak hanya dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam pendidikan informal, agama menjadi menu yang semakin dominan. Hasilnya, bangsa kita semakin agamis - yang paling mudah menandai adalah dari gaya busana dan makin intensnya terminologi agama dipergunakan dalam berbagai tanah kehidupan termasuk politik.

Namun kita temukan fakta bahwa menjadi agamis tidak mesti berkorelasi dengan bertumbuhnya budi pekerti. Bahkan ada satu ironi, semakin agamis bangsa kita, semakin gaduhlah bangsa kita.

Dimana letak akar masalahnya? Trend beragama yang kini dominan adalah beragama pada tataran konsep dan pikiran - pada tataran kulit dan asesoris, bukan pada tataran esensial. Identitas dan pola hidup agamis dibangun dengan menjejalkan konsep bahkan ilusi di dalam pikiran, bukan dengan mengembangkan jalan keheningan.

Maka menjadi unik, orang merasa makin a agamis tetapi sekaligus jadi makin tidak humanis, sekaligus makin tidak nasionalis.

Namun, jangan gegabah bahwa solusinya adalah hanya dengan kembali memberikan pelajaran budi pekerti di sekolah, atau menghidupkan lagi PMP dan Penataran P4. Pendekatan verbalistik tak mengubah apapun. Menyebarluaskan teori budi pekerti dan Pancasila, tak akan menghasilkan transformasi jiwa dan membentuk karakter baru bagi bangsa Indonesia.

Budi Pekerti, adalah tentang kesadaran luhur/spiritual yang berada di tataran lebih tinggi ketimbang kesadaran ragawi/rasional, yang terekspresikan dalam keseharian lewat tindakan yang serba humanis dan harmonis. Budi Pekerti ini muncul secara spontan saat seseorang sudah terhubung dengan Sumber Kesadaran Luhur dan Kasih Murni di dalam dirinya.

Mereka yang punya budi pekerti adalah yang bertindak mengikuti gerak Sang Hidup di dalam dirinya, mengambil keputusan dan tindakan dalam tuntunan Sang Guru Sejati di dalam diri. Menjadi cerdas secara rasional atau punya IQ tinggi, punya gelar akademik berderet, pandai menyusun kalimat manis, sama sekali tidak berkorelasi dengan budi pekerti sebagaimana arti esensialnya. Budi pekerti muncul dari jiwa bersahaja yang jujur pada diri sendiri, setia kepada Yang Maha Agung di dalam diri.

Budi Pekerti tak akan tumbuh di dalam diri seseorang yang masih terjebak ilusi, masih penuh luka batin, masih terhalangi tirai tebal dengan Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam dirinya. Basis dari budi pekerti adalah revolusi kesadaran atau bangkitnya kesadaran spiritual - tak mungkin ada budi pekerti tanpa keheningan.

Maka, cara untuk membuat bangsa ini kembali ke jalur pencapaian cita-cita luhurnya yang dimulai dengan tumbuhnya budi pekerti di kalangan pemimpin dan rakyat, adalah dengan revolusi pendidikan yang menyeluruh.

Para tokoh agama perlu kembali terlebih dahulu menemukan api dari setiap agama - berupa sikap berserah diri kepada Tuhan yang Maha Esa yang nyata ada di dalam diri dan sikap kasih sayang tanpa diskriminasi kepada seluruh keberadaan. Inilah yang diajarkan kepada para pemeluk agama lewat praktik keheningan. Ajak para pemeluk agama untuk menyelami keheningan, bukan mencekkoki mereka dengan konsep dan cerita yang tak pernah dialami.

Berikutnya, beri ruang kebudayaan luhur bangsa ini bangkit. Biarkan api Pancasila menyala di dalam sanubari seluruh warga bangsa. Ini hanya bisa terjadi melalui gerakan mentradisikan hening cipta secara masif, membuat setiap orang terhubung kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam diri.

Hidupkan kembali tradisi di setiap desa yang memicu keguyuban dan kegotongroyongan sekaligus keselarasan dengan bumi - seperti merti desa, sedekah bumi, dan sejenisnya. Lalu - adopsi kembali kebijaksanaan masa lalu dengah membangun mandala-mandala untuk menyebar energi kasih murni yang membangkitkan kesadaran luhur dan melebur angkara murka.

Kita Indoneaia. Kita Pancasila. Jaya!

***