Sekitar 70 ribu tahun lalu, sekumpulan homo sapiens, nenek moyang awal manusia modern, tak banyak berbeda dengan komunitas hewan Bonobo dan Simpanze. Berdasarkan riset mutakhir, homo sapiens memiliki kemiripan DNA dengan dua hewan itu hingga 99 persen. (1)
Saat itu, 70 ribu tahun lalu, manusia masih berkeliaran telanjang di hutan. Melompat- lompat di pohon. Bersembunyi di gua. Berkomunikasi seadanya. Tak banyak beda dengan hewan Bonobo dan Simpanze.
Ketika menghadapi bencana alam dan penyakit, daya tahan manusia ketika itu juga tak banyak beda. Bahkan jika terlibat perkelahian antara sekelompok awal homo sapiens dengan Simpanze, besar kemungkinan nenek moyang kita yang punah.
Tapi mengapa 70 ribu tahun kemudian, Homo Sapiens begitu berubah. Manusia kini menjadi penguasa bumi. Sementara hewan Bonobo dan Simpanze tetap telanjang berkeliaran di hutan.
Kini manusia menciptakan gedung pencakar langit, pabrik frozen food, hingga pesawat luar angkasa. Namun hewan Bonobo dan Simpanze masih sembunyi di belukar. Kadang mereka berjingkrak- jingkak.
Dimana beda asasi homo sapiens dengan Hewan Bonobo dan Simpanze yang memiliki 99 persen kesamaan DNA? Perbedaan 1 persen DNA itu ternyata membuat beda segala. Ternyata 1 persen ini asal muasal peradaban.
Sejarahwan dan pemikir soal Yuval Noah Harari mengatakan. Kemampuan fundamental manusia yang tak dimiliki hewan lain, yang menciptakan peradaban adalah kemampuan membuat narasi. Homo Sapiens is an animal capable of making a narative.
Nenek moyang kita berkemampuan bercerita, berkisah, mengarang masa silam, berfantasi masa depan, mendongeng, dan menciptakan fiksi.
Individu yang paling unggul di zamannya adalah yang mampu memberi narasi penjelasan. Siapakah kita? Dari mana kita berasal? Kita menuju kemana? Apa yang harus kita lakukan?
Maka datanglah era Shaman, sejenis dukun sakti. Ia membawa narasi, bercerita. Nenek moyang manusia berasal dari ular Piton. Karena itu ular Piton harus disembah.
Muncul para Nabi yang diyakini pemeluknya mendapat wahyu Tuhan. Para Nabi membawa narasi yang berbeda.
Bahwa asal manusia itu Adam. Ia satu satunya nenek moyang manusia. Adam berasal dari Garden of Eden, semacam taman surga. Ia dibuang dari sana karena melanggar perintah Tuhan. (2)
Kini muncul ilmu pengetahuan. Ilmu membawa narasi yang berbeda. Ilmu membantah kisah Adam. Manusia tak berasal hanya dari satu nenek moyang. Homo sapiens ini berevolusi dari mahluk lainnya, bukan dari Garden of Eden.
Kemampuan membuat narasi, kemampuan meyakinkan komunitasnya untuk percaya, lalu mengubah prilaku, itulah keunggulan asasi manusia.
Awalnya kemampuan narasi itu diekspresikan secara lisan, turun temurun. Lalu datang teknologi tulisan. Narasi itu diekspresikan ke dalam tulisan di batu, di kulit hewan, di kertas papirus, hingga kini direkam di video.
Lahirlah era buku. Lahirlah para penulis.
Baca Juga: Kunci Menulis di Medsos, Jangan Baper!
Menjadi penulis, itulah cita cita pertama saya ketika tumbuh remaja. Tumbuh sebagai remaja yang sering kesepian, introvert, jarang gaul, senang menyendiri, saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca.
Saya ingat masa remaja itu. Berjam jam saya menghabiskan waktu berdiri di antara rak di toko buku. Saya ingin mengesankan sedang memilih-milih untuk membeli buku. Ini agar tak diusir penjaga toko.
Padahal saya tak punya uang. Berdiri di sana hanya karena ingin membaca bab pengantar dan kesimpulan buku secara gratis.
Betapa senang saya ketika teman menceritakan soal perpustakan Idayu di Kwitang, Jakarta. Seharian saya bisa menghabiskan waktu di sana. Hanya dengan menjadi anggota perpustakaan, saya akhirnya bisa membaca banyak buku secara gratis.
Tak lagi saya harus membaca sambil berdiri seperti di toko buku. Tapi bisa membacanya sambil duduk santai.
Buku biografi tokoh dunia, renungan filsafat, novel terjemahan, kisah agama, sejarah, itu menjadi topik favorit.
Di masa mahasiswa, sayapun dipaksa menjadi penulis yang mengharapkan honor. Ibu saya bercerita tak punya dana yang cukup untuk biaya kuliah hingga selesai. Kadang saya diminta Ibu menjual sisa perhiasan emasnya untuk biaya kuliah dan hidup.
Sayapun bertekad membantu Ibu. Saya harus mencari uang, setidaknya membiayai kuliah dan hidup saya sendiri. Satu satunya kemampuan yang saya miliki saat itu hanyalah menulis.
Dimulailah era hidup saya menjadi penulis koran. Menjadi kolumnis. Menulis kolom itu sebuah corak menulis yang berbeda. Umumnya, Ia merespon isu yang sedang aktual dan dibicarakan.
Begitu banyaknya saya menulis kolom. Pada semua koran dan majalah populer, saya pernah menulis kolom di sana.
Di satu masa, semua kolom saya di koran dibukukan. Ditambah dengan kerja saya menjadi host talk show di TV dan radio juga dibukukan. Total menjadi 20 judul buku.
Apapun topik tulisan, tapi saat itu motifnya sama. Saya menulis untuk mencari nafkah, untuk membayar uang kuliah, untuk hidup, dan ingin juga terkenal.
Zaman berubah. Hidup saya juga berubah. Kini saya menulis tak lagi untuk mencari nafkah. Menulis bagi saya justru untuk berderma.
Saya mendermakan pengetahuan dan pengalaman melalui tulisan. Jika dibukukan, saya memilih membagikannya secara gratis.
Sudah hampir empat puluh tahun saya menulis. Terasa terjadi evolusi yang mendasar dalam dunia saya selaku penulis.
Dimulai dengan menulis untuk mencari nafkah hidup. Lalu berevolusi menjelma menulis untuk berderma. Dimulai dari menulis berharap imbalan financial. Lalu berevolusi menjadi menulis dan menolak mendapatkan imbalan financial dari tulisan.
Terima kasih saya ucapkan kepada Anick HT. Dengan tekun dan bagus, Anick meringkas 20 judul buku dari total 55 buku karangan saya. Anick juga meringkaskan 4 buku tambahan yang merespon buku saya atau buku bunga rampai.
Hasil kerja Anick HT adalah buku yang unik. Ia buku kumpulan ringkasan buku. Kumpulan ringkasan buku pun dapat dikemas menjadi sebuah buku yang lain.
Dari 55 buku yang pernah saya tulis, (20 buku diringkas dalam buku ini), ada tujuh buku yang saya utamakan. Ia utama karena rekaman batin saya yang lebih dalam. Atau ia utama karena kandungan informasinya.
Pertama, buku Spirituality of Happiness, Spiritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan.
Buku ini renungan 40 tahun pengalaman saya hidup di dua dunia. Agama dan spiritualitas begitu dalam menyentuh. Saya berkelana mendalami Islam, Kristen, Budha, Hindu. Juga saya sampai pada Khrisnamurti, Osho, Swami Vivakananda, Ade Melo, Dada J Vaswani, Theosophy, Subud hingga Ki Ageng Suryamentaram.
Di sisi lain, saya pun terpesona dengan filsafat, arkeologi, postive psychologi dan Neuroscience. Aneka samudera pengetahuan ini acapkali membongkar mitos dan ilusi sebagian paham agama.
Buku Spirituality of Happiness menjadi semacam sintesa. Pentingnya hidup bermakna dan bahagia. Namun psikologi positif dan neuro science sudah menyeleksi mindset dan habit yang membuat kita bahagia.
Apapun agama, asal negara, etnis, gender, tingkat pendidikan, status ekonomi, semua individu dapat hidup bermakna dan bahagia jika menerapkan mindset dan habit 3P + 2S.
Itulah intisati buku Spirituality of Happiness. Prinsip 3P + 2S itu, kita akan hidup bermakna dan bahagia jika memiliki Personal Relationship (hubungan personal yang hangat). Positity (hidup yang selalu melihat sisi positif). Passion (berkerja dengan cinta). Small Winning (menciptakan kemenangan kecil). Dan Spiritual Blue Diamond (hidup dengan kebajikan, power of giving dan merasa satu dengan alam semesta).
Kedua, buku Membangun Legacy: 10 P untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek.
Buku ini refleksi pengalaman 17 tahun menjadi konsultan politik. Setelah ikut memenangkan 4 kali pilpres berturut-turut (2004, 2009, 2014, 2019), 36 gubernur di seluruh pulau, 86 bupati/walikota, saatnya saya membagi pengetahuan.
Saya pun menyusun ulang marketing politik dalam formula 10 P. Sebagian pakar menyebut ini sebagai Denny JA’s Law of Political Marketing.
10 P itu Pro-Innovation, Public Opinion, Polling, Profiling, Positioning, Product, Push Marketing, Pull Marketing, Post Election dan Political Legacy.
Buku itu membawa isu penting. Bahwa target tertinggi seorang pemimpin bukan terpilih dalam pemilu/pilkada. Target tertinggi seorang tokoh, Ia harus membangun political legacy.
Ia harus meninggalkan legacy, warisan, perubahan untuk perbaikan hidup masyarakat.
Baca Juga: Penulis Sukses Adalah Mereka yang Terus Menulis
Ketiga, buku Jalan Demokrasi dan Kebebasan Untuk Dunia Muslim.
Buku ini mulai dengan menghindari dua kesia siaan dalam studi Islam. Tak ada gunanya mempertanyakan apakah Islam sesuai, compatible, dengan demokrasi dan kultur kebebasan.
Agama itu masalah interpretasi. Kaum Taliban meminta para muslimah menutup tubuh hingga hanya nampak mata. Progresif Muslim membiarkan wanita sholat dengan memakai jeans dan rambut terurai.
Di beberapa negara Islam, kaum LGBT dapat dipidana dan dihukum mati. Di Eropa ada masjid yang menikahkan kaum LGBT.
Semua mengaku menjalankan perintah Islam. Semua memiliki ulamanya.
Tak ada gunanya pula mendiskusikan apakah demokrasi dan kebebasan dapat tumbuh di wilayah Timur Tengah, misalnya. Sekitar 3000 tahun lalu, semua wilayah di bumi tak ada yang mengenal demokrasi dan hak asasi. Toh, kini di barat dapat tumbuh itu demokrasi dan hak asasi.
Ini semata pilihan politik. Apapun latar kulturnya, melompat saja tapi kerjakan secara bertahap sesuai dengan hukum besi politik.
Buku ini membawa proposal. Masa depan dunia Muslim adalah Hijrah menuju demokrasi dan kebebasan. Namun tak bisa langsung menuju pada demokrasi dan kebebasan. Negara Muslim perlu melewati rute seperti Indonesia. Yaitu melewati Pos dan Stasiun “Iliberal Democracy” dulu. Melewati Demokrasi Tak Liberal dulu.
Lalu dari sana bertahap menumbuhkan kultur kebebasan. Iliberal Democracy atau Demokrasi Tak Liberal hanyalah tempat singgah sementara. Ujungnya harus bermuara pada demokrasi dan kebebasan.
Di sanalah tumbuh peradaban modern. Rangking 10 negara yang paling membuat warga bahagia, semua itu negara demokrasi dan kebebasan, dengan kesejahteraan rakyat yang tinggi.
Bahkan dalam Islamicity Index, negara yang paling membuahkan nilai islami, ternyata bukan negara Islam. Tapi negara Barat lah yang paling Islami. Negara yang memadukan demokrasi, kebebasan, ilmu pengetahuan dan kesejahteraan.
Ke sanalah negara yang mayoritasnya Muslim harus menuju.
Keempat, buku Atas Nama Cinta. Ini buku sastra pertama yang saya tulis.
Selaku aktivis, sungguh saya prihatin dengan perkembangan politik pasca tumbangnya Pak Harto. Era reformasi menyisakan diskriminasi warga negara. Untuk beberapa kasus, kekerasan atas warga Ahmadiyah dan Shiah bahkan bertambah.
Sayapun berniat mengekspresikan sisi batin isu diskriminasi. Peristiwa sebenarnya saya fiksikan. Ini semacam historical fiction. Lebih tepatnya, true story yang didramatisasi.
Tapi format puisi yang ada tak memuaskan. Saya pun menciptakan format puisi yang lebih sesuai. Saya menyebutnya puisi esai. Ini puisi sangat panjang, berbabak, layaknya cerpen atau novel singkat. Namun di sana sini penuh catatan kaki, layaknya paper ilmiah.
Catatan kaki menempati fungsi sentral dalam puisi esai. Catatan kaki itulah ibu dari kisah yang kemudian dipuisikan.
Format puisi esai pun kemudian meluas. Sebanyak 176 penyair, penulis dari 34 provinsi mengisahkan local wisdom provinsi masing masing dalam puisi esai. Penyair dari negara ASEAN dan Australia mulai pula menulis puisi esai.
Bersama Hanung Bramantyo, lima puisi esai saya dalam buku Atas Nama Cinta dibuatkan film pendek. Acapkali dalam banyak kegiatan sosial, dan kelas soal kebhinekaan, film pendek ini diputar sebagai pemantik diskusi.
Di tahun 2020, puisi esai resmi masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Puisi Esai didefinisikan sebagai ragam sastra berisi kisah moral dan sosial dengan catatan kaki.
Buku Atas Nama Cinta penting karena ia memulai genre baru puisi esai. Ia juga menyumbang lahirnya kata baru puisi esai untuk masuk dalam kamus bahasa.
Baca Juga: Rahasia Bupati Malinau Produktif Menulis Buku
Kelima, buku Atas Nama Derita. Ini kumpulan cerpen esai jeritan batin di era Virus Corona.
Secara jenaka, cerpen esai dapat dikatakan keponakan dari puisi esai. Ia sama persis. Bedanya, yang satu berbentuk puisi. Yang lainnya berbentuk cerpen.
Fungsi catatan kaki dalam cerpen esai juga sentral. Ia peristiwa nyata, awal dari kisah yang dicerpenkan. Tentu ada fiksi. Ada dramatisasi.
Di samping bentuknya, buku ini istimewa karena saya melahirkannya di era badan terkurung di rumah. Virus corona memaksa semua menghindari ruang publik.
Lahirlah delapan cerpen esai, sebagai dokumen jeritan batin banyak kisah di era virus corona. Ada aktivis agama yang dikarantina di mesjid. Ada kisah dokter yang wafat menolong pasien.
Ada kisah pedagang kecil yang bangkrut. Ada kisah warga yang mati kelaparan. Pula ada cerita soal satu komunitas dikarantina karena mayat penderita virus corona dibawa pulang. Juga ada kisah warga yang menolak jazad korban virus untuk dikubur di wilayahnya.
Pandemik melahirkan banyak drama. Saya memulai merekam aneka kisah ini dalam cerpen esai.
Delapan cerpen itu dibuatkan film pendek. Christine Hakim, Reza Rahadian, Lukman Sardi, Ine Febriyanti, dan lain lain, bermain untuk film pendek.
Buku ini penting sebagai rekaman batin era pandemik. Dua puluh tahun dari sekarang, 8 film pendek dari 8 cerpen esai itu akan menjadi saksi zaman.
Keenam, buku Renungan Peradaban. Catatan Perjalalam Lima Benua.
Satu hobi saya adalah melancong, melihat, merasakan suasana peradaban besar, kuno, unik, di luar sana.
Selama 20 tahun belakangan, tak terasa saya sudah melancong ke semua benua. Total saya menyusuri sekitar 30 negara. Sayapun membuat catatan dan renungan.
Saya pun napak tilas mulai dari peradaban tua, Piramid di Mesir. Melihat jazad Mao Tse Tung di Cina, dan Lenin di Rusia. Kedua jazad itu awet dibekukan dengan bahan kimia.
Saya mengunjungi Korea Utara, menyaksikan bagaimana diktator dipuja. Tak lupa mengunjungi teater William Shakespeare, museum Winston Churchil, Nelson Mandela hingga Museum Seni nomor satu dunia: Lovre Museum.
Banyak kontroversi dalam buku itu. Mulai dari kisah Nabi Musa yang sangat mungkin Ia bukan tokoh sejarah. Nabi Musa adalah tokoh yang diciptakan untuk kisah moral. Juga penguasa tertinggi di Korea Utara dijabat oleh orang yang sudah mati.
Begitu kaya bumi Tuhan. Banyak keunikan, keragaman, yang dapat diambil hikmah. Makanan batin yang lezat.
Ketujuh, buku Nabi Baru Atau Penjahat Rohani. Ini buku kumpulan resensi film.
Hobi saya yang lain menonton film. Saya memiliki perpustakaan yang sangat saya banggakan. Koleksi semua film pemenang oscar sejak tahun pertama (1929), hingga lima tahun lalu (2015).
Juga saya kumpulkan koleksi film pemenang festival Cannes. Juga pemenang festival film Berlin.
Juga saya mempunyai koleksi film yang masuk dalam 100 top box office. Tak lupa 100 film terbaik pilihan AFI (American Film Institute).
Saya berhenti mengoleksi film ketika internet menyediakan banyak sekali web film yang bisa ditonton. Kini hadir pula Netflix, Disney Plus dan Amazon Prime.
Saya menonton 73 Episodes dari Series Film House Of Cards. Ini intrik di dalam istana yang sangat dramatik. Jika setiap episode durasinya 50 menit, total sekitar 68 jam saya habiskan waktu tenggelam di dalam serial ini.
Saya tuliskan di buku. Pengetahuan soal kekuasaan jauh lebih banyak saya peroleh dengan menonton 73 episodes film ini dibanding 5 tahun saya kuliah Ph. D dibidang politik.
Saya lebih menyukai film yang berlandaskan true story. Di samping tetap dapat menghayati drama dan katakter para tokoh, juga saya belajar mengenai sepotong sejarah di dalamnya.
Total ada sekitar 40 judul film yang saya review. Tentu saja saya tidak mereviewnya dengan standard umumnya reviewer film yang menguasi teknis film. Saya lebih mengutamakan sisi gagasan dan lessons to learn.
Menonton film membuat kita hidup berkali- kali. Belajar kearifan berulang-ulang. Dengan menonton film, kita masuk seolah menjadi karakter utama di film itu. Sekaligus kita mengalami drama seolah kisah itu kita alami sendiri.
Kita marah. Menangis. Takut. Berani. Melompat penuh harapan.
Selesai film, kitapun keluar dari layar. Terdiam. Mengambil hikmah. Dan kembali menjadi diri sendiri dengan wawasan yang bertambah.
Baca Juga: Keras Kepala dan Egois Itu Penting Saat Menulis
Di samping tujuh buku itu, ada 13 buku lain yang juga memiliki kisah sendiri. Buku saya yang lain, misalnya, Democatization From Below membangun teori jatuhnya sebuah rezim, untuk mengawali transisi demokrasi.
Ini buku tesis Ph.D saya di Ohio State University, Amerika Serikat. Jatuhnya Suharto dijelaskan dengan empat variable yang harus hadir seketika: krisis ekonomi, perpecahan elit, delegitimasi pemimpinn tertinggi yang berkuasa, dan konsolidasi oposisi dengan dukungan rakyat banyak.
Ada pula kumpulan puisi esai Roti untuk Hati. Ini lebih ekspresi filsafat hidup dan kritik atas ortodoksi paham agama.
Semua buku itu, 24 buku, ditambah buku saya yang lain, akan disimpan di perpustakaan digital. Ditambah pula dengan 62 video animasi dan film yang memvisualkan karya sastra. Ditambah lagi dengan rekaman pidato saya soal politik, filsafat hingga sastra.
Sebagian dari karya di atas sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Siapa saja, kapan saja, dimana saja, karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dapat mengaksesnya.
Perpustakaan digital dalam bahasa Inggris kini menjadi mata air informasi di era global.
Apa sebenarnya pekerjaan saya? Itu pertanyaan teman karena melihat saya aktif di banyak bidang: menjadi konsultan politik, pengusaha, aktivis, penyair dan lain lain.
Dengan jenaka tapi serius saya menjawab. Konsultan politik itu hanya hobi. Menjadi pengusaha itu hanya sampingan. Pekerjaan saya adalah penulis.
***
Oktober 2020
(Ini pengantar Buku: Menari di Alam Gagasan: Ringkasan 24 Buku Denny JA)
Denny JA
***
CATATAN
1. Dari sisi DNA, homo sapiens dengan hewan Bonobo dan Simpanze memiliki kesamaan hingga 99 persen
https://www.sciencemag.org/news/2012/06/bonobos-join-chimps-closest-human-relatives
2. Buku Yuval Noal Harari menjelaskan mengapa Homo Sapiens unggul menjadi penguasa bumi karena kemampuannya membuat narasi
Payne, Tom (26 September 2014). "Sapiens: a Brief History of Humankind by Yuval Noah Harari, review: 'urgent questions'". The Telegraph. Retrieved 29 October 2014.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews