Keras Kepala dan Egois Itu Penting Saat Menulis

Di sini pendapat Barry menemukan kebenarannya, bahwa selain keras kepala, kamu juga harus bersikap egois, harus mementingkan dirimu sendiri sebelum tulisanmu benar-benar selesai.

Senin, 31 Agustus 2020 | 08:42 WIB
0
353
Keras Kepala dan Egois Itu Penting Saat Menulis
Ilustrasi (Foto: baca.co.id)

Mari sejenak kita simak wejangan Kevin Barry, penulis Irlandia. Menurut dia, bakat menulis, khususnya yang bernapaskan sastrawi, tidaklah langka. Mereka bukanlah orang-orang yang lahir dengan bakat main catur yang bisa dihitung jari. Setiap manusia sesungguhnya lahir dengan bakat menulis. Persoalannya, mereka kurang keras kepala dan egois saja dalam melahirkan karya tulis.

"Lucunya, bakat sastra tidaklah langka. Banyak orang bisa menulis cerita bagus dengan karakter bagus dan kalimat bagus. Yang langka adalah sikap keras kepala dan pragmatis yang memberi tahu dirimu, 'Kamu harus menulis setiap hari, bahkan ketika kamu tidak ingin melakukannya'," kata Barry.

Menurut Barry, disiplin yang dikombinasikan dengan bakat sangat jarang. Ia bahkan berani bertaruh bahwa beberapa penulis paling brilian yang pernah hidup tidak pernah dipublikasikan, karena mereka tidak siap untuk mengerjakannya.

"Kamu harus berkorban dan menjadi sangat egois. Segala sesuatu yang lain dan orang lain adalah nomor dua setelah tulisanmu, sebelum tulisanmu kelar," kata Barry lagi.

Sebentar, jangan sampai salah kira. Jangan sampai karena saya memberi judul dengan kata-kata "keras kepala" dan "egois" yang konotasinya negatif, seolah-olah saya mengajak kamu malakukan hal-hal negatif. No way...

Keras kepala yang dimaksud Barry adalah kemauan untuk menulis setiap hari, tekad kuat untuk menyelesaikan satu tulisan sampai selesai. Persoalannya, banyak gangguan saat menulis, baik gangguan dari dalam maupun dari luar.

Gangguan dari dalam, misal, kurangnya motivasi dalam menulis, seolah-olah tidak ada titik terang di ujung lorong, gelap semua. Juga matinya ide di kepalamu.

Padahal, bintang itu tidak menghasilkan panas, tetapi ia menciptakan keindahan tersendiri di malam gelap. Situasi sederhana ini saja tidak cukup memberimu ilham, padahal kamu bisa bercerita apa saja tentang bintang yang kesepian dalam bentuk prosa maupun puisi.

Bulan purnama yang indah kemerahan di langit tidak cukup menyentuh perasaanmu untuk menggerakkan pena atau jarimu di atas papan ketik virtual di ponselmu, untuk mengabadikannya dalam sebuah tulisan. Padahal jika kamu mengerat sepotong bulan, membungkusnya dengan syalmu untuk diberikan kepada kekasihmu yang menunggu di sana, maka jadilah sebuah tulisan.

Saya tidak tahu kamu mau menuliskannya dalam bentuk puisi atau fiksi. Bagaimana kalau sepotong bulan itu sudah kehilangan cahayanya saat kekasihmu menerimanya. Apa reaksi kekasihmu? Dia marah atau sebaliknya menghargai usahamu? Akhir cerita, terserah, kamulah penentunya.

Gangguan dari luar buaaanyak banget, saya tidak harus menyebutnya satu persatu. Satu contoh saja, saat kamu menulis, tiba-tiba kamu teringat jadwal penayangan drakor (drama korea) yang harus kamu tonton di televisi.

Atau selagi kamu terhanyut saat menulis, ponsel berdering dan kekasihmu mengajakmu makan malam. Jika kamu tidak punya sikap keras kepala untuk menyelesaikan tulisanmu dan lebih menyerah kepada drakor atau ajakan makan kekasihmu, kamu sulit untuk berhasil menjadi seorang penulis hebat.

Di sini pendapat Barry menemukan kebenarannya, bahwa selain keras kepala, kamu juga harus bersikap egois, harus mementingkan dirimu sendiri sebelum tulisanmu benar-benar selesai.

***