Asal Muasal Kompas [24] Pola Jawilan

Pendidikan untuk tenaga nonwartawan umumnya menggunakan sistem learning by doing. Pendidikan diberikan setelah mereka menjadi karyawan dengan mengikuti pendidikan manajemen,

Rabu, 21 Agustus 2019 | 22:02 WIB
0
672
Asal Muasal Kompas [24] Pola Jawilan
Logo Harian Kompas (Foto: Kompas.id)

Pada tahun 2000 dari status staf pemimpin umum, saya balik ke Redaksi Kompas. Walaupun pernah menduduki jabatan eselon satu, (setingkat direktur kelompok) tetapi saya masuk ke jajaran redaksi Kompas sebagai staf redaktur nasional (daerah), setahun kemudian saya ditawari jabatan wakil direktur SDM tapi saya menolak.

Saya melihat, selama hubungan redaksi dengan bagian SDM tidak harmonis, jabatan itu hanya akan menjadi “neraka” bagi saya. Akhirnya saya ditetapkan sebagai wakil sekretaris redaksi  hingga pensiun pada tahun 2004.

Jabatan sebagai wakil sekretaris redaksi cukup menyenangkan bagi saya. Fungsi saya sebagai “jembatan” atau laison officer antara redaksi dan bagian SDM pun berjalan dengan baik sehingga konflik ataupun kesalahpahaman kedua pihak bisa terselesaikan. Pada era saya ini banyak perubahan dilakukan, paling tidak dalam sistem rekrutmen wartawan. Kali ini redaksi terlibat perekrutan sejak awal sehingga tidak muncul lempar kesalahan.

Dalam jabatan inilah saya bisa mengumpulkan bahan kemudian  merenungkan perjalanan karir  dan kaderisasi yang selama ini berjalan di Kompas.

**

Pada dasarnya koran Kompas dimotori para guru dan orang-orang yang berjiwa pendidik. Maklum Pak Jakob dan Pak Ojong adalah juga guru selain wartawan. Sikap pendidik ini  jelas tercermin dalam penyiapan kader-kadernya yang dilakukan secara evolusi, bukan tergesa-gesa. Bahkan Pak Ojong jelas memberi arahan untuk merekrut calon pimpinan.

Orang itu harus berwatak baik, artinya jujur, sederhana, rasional, berinisiatif, bersedia menerima pendapat orang lain, seimbang, adil dalam memperhatikan kepentingan bawahan, pandai membagi pekerjaan. Kecerdasan dan kepandaian merupakan syarat berikutnya.

Untuk menjaring karyawan berwatak baik, pada awalnya referensi merupakan syarat utama.   Pertanyaan: siapa yang memberitahu kamu dan siapa yang kamu kenal di sini adalah pertanyaan standar atau bisa dikatakan pertanyaan wajib. Bahkan ketika bagian personalia terbentuk dan sudah ada petugas khusus untuk mewawancara calon karyawan, kedua pertanyaan tersebut tetap disampaikan. Intinya, pola “jawilan” menjadi dasar untuk mendapatkan karyawan.

Alasan kenapa menggunakan pola itu,  sederhana saja. Kompas diawali dengan tenaga-tenaga yang sudah saling kenal terutama karakternya. Dengan demikian diasumsikan, rekan yang baik memiliki lingkungan yang baik dan akan membawa kawan yang baik juga ke dalam lingkungan kerjanya.

Dampak ikutannya, bisa terjadi dalam satu keluarga terdapat dua-tiga bersaudara yang bekerja di Kompas, bahkan kalau dihitung dengan keluarga garis horisontal (tak langsung) ada yang lebih dari lima orang.

Tentu saja hipotesa karyawan yang baik tentunya akan membawa keluarga atau rekannya yang baik pula, tidak selalu benar. Paling tidak, pola itu membatasi jumlah karyawan yang tidak baik. Dari perjalanan sejak lahir hingga usia 40 tahun, hampir setiap tahun ada saja karyawan yang kena sanksi karena berperilaku tidak baik.

Dalam jumlah kecil, ada beberapa karyawan yang diterima tidak berdasarkan jawilan tetapi karena tekad yang bersangkutan begitu besar untuk bergabung dengan Kompas. Mengingat pimpinan Kompas ini kebanyakan berlatar belakang profesi guru, tekad yang kuat sangatlah dihargai. Tentu saja pantauan kinerja dan perilaku calon karyawan kelompok ini walau tersamar tetapi dilakukan lebih ketat.

Pola jawilan ini berlangsung sejak Majalah Intisari  terbit tahun 1963 hingga sekitar tahun 1981. Memang  sedikit demi sedikit diperbaiki, misalnya menyertakan surat lamaran (pelamarnya biasanya anggota keluarga karyawan yang sudah ada), disaring melalui tes bidang, tes kesehatan, dan wawancara yang antara lain menyertakan  dua pertanyaan “wajib” di atas.

Watak baik, itu yang jadi landasan pemilihan. Dalam berbagai kesempatan baik Pak Jakob Oetama maupun Pak Ojong selalu mengingatkan, orang kurang pandai bisa diajar agar pandai tetapi watak tidak baik tidak gampang mengubah menjadi baik.

Dalam tes calon wartawan Kompas,  paling tidak hingga tahun 2004,  watak baik  masih menjadi syarat yang ketat. Jika dalam tes psikologi ditetapkan rentang nilai 1-8 maka watak baik minimal harus mencapai angka 7. Bahwa kelak dalam perkembangannya ternyata hasil itu tidak sesuai, tentulah alat tesnya yang harus dipertanyakan.

**

Begitu Pak Ojong dan Pak Jakob mendapat tugas menerbitkan koran, urusan Majalah Intisari pun diserahkan kepada Irawati dan Adisubrata. Daftar nama teman, bekas murid, dan kenalan yang kira-kira bisa diajak menerbitkan koran pun diingat-ingat dan dicari.

Hal sama dilakukan Frans Seda dan para pimpinan ormas partai, mereka ikut mencari siapa yang kira-kira cocok menjadi wartawan dan pantas direkomendasikan. Saat itu memang hanya wartawan yang dicari, urusan non-Redaksi (bisnis) akan diserahkan kepada PT Kinta di mana Pak Ojong saat itu juga menjadi salah satu pengurusnya.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Semua yang mau bergabung dengan Kompas  bertemu Pak Ojong terlebih dahulu untuk wawancara singkat. Beliau jugalah yang kemudian memberikan tugas kepada yang bersangkutan dan kemudian juga memutasi sesuai kebutuhan perusahaan. Mutasi itu begitu cepat sesuai perkembangan perusahaan, sehingga banyak wartawan yang kemudian bertugas di bagian bisnis atau percetakan.

Kebiasaan itu diawali  ketika pada tahun 1969 Kompas mengurus sendiri urusan bisnisnya di kantor Jalan Gajah Mada 104, terlepas dari PT Kinta.   Mereka yang semula menjadi wartawan kemudian dipindahkan  ke bisnis atau percetakan antara lain Gerald Tunggono, Leo Hadisuseno, Haditjahja Indra (alm), Al. Sugito, Bernard Sudarmara Hadiwarman, dan Indra Gunawan.

Rekrutmen wartawan secara massal dan bersistem pertama kali diadakan tahun 1981. Pencarian dilakukan dengan memasang iklan di Kompas namun dalam pelaksanaannya juga masih mempertimbangkan rekomendasi dari karyawan lama. Artinya ketentuan yang semula dimuat dalam iklan, bisa saja dilanggar manakala ada pertimbangan lain.

Mohamad Sudarto yang masuk tahun 1982 misalnya, ketika itu berusia 30 tahun dan sudah beranak dua, walau ketentuannya usia maksimal 25 tahun dan masih bujangan, namun karena ia biasa menulis opini di Kompas, ia diperkenankan ikut tes dan lolos.

Pada tahun itu menurut Sudarto, pelamar yang dites berjumlah sekitar 40 orang namun yang lolos hanya enam orang. Materi tesnya meliputi mengarang (bahasa Indonesia), menuliskan kembali berita BBC yang disiarkan dalam bahasa Inggris, psikotes, tes kesehatan, dan terakhir wawancara dengan pimpinan redaksi. Setelah itu mereka dilepaskan di lapangan bersama wartawan senior, jadi sistem pendidikan yang dipakai learning by doing.

Dari tahun ke tahun sistem rekrutmen dan pendidikan ini diperbaiki. Beberapa angkatan wartawan dididik “instan” dua minggu di ruang rapat redaksi. Baru pada tahun 1986 Kompas menyelenggarakan pendidikan calon wartawan secara serius. Mereka dididik setahun penuh sebelum dilepaskan ke lapangan. Pada akhir pendidikan mereka membuat dummy koran yang isinya mereka rencanakan dan garap sendiri.

“Rektor” pertama adalah  J. Widodo dibantu Luwi Ishwara, kemudian juga Rum Hardjono (alm). Tempat pendidikan di lingkungan  kantor Palmerah, saat itu  disebut dengan Kampus Anggrek. Salah seorang lulusan angkatan pertama kampus ini adalah Suryopratomo yang mulai tahun 2000 menjadi  Pemimpin Redaksi Kompas.

Mulai tahun 2000 rekrutmen melibatkan redaksi, sebelumnya rekrutmen sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban bagian SDM. Redaksi baru dilibatkan pada tahap akhir dengan melakukan wawancara kepada calon yang sudah lulus tes-tes sebelumnya. Dalam sistem yang baru itu, setelah direktorat SDM  memilih berdasarkan kelengkapan administrasi, Redaksi ikut mewancarai pelamar sebelum mereka mengikuti tes-tes selanjutnya.

Setelah lolos wawancara awal, barulah mereka dites bahasa Indonesia, Inggris, psikotes, kesehatan, dan terakhir wawancara bersama para pimpinan Kompas. Dalam hal ini digunakan sistem gugur, artinya jika seorang peserta gugur dalam suatu tes maka ia tidak berhak mengikuti tes berikutnya. Dalam pengalaman, dari seluruh peserta yang lolos administrasi, calon yang lolos tes hingga akhir tak lebih dari tiga persen.

Cara mendidiknya pun diubah. Para calon wartawan itu dididik di kelas selama tiga bulan, setelah itu dimagangkan di Redaksi selama tiga bulan pula. Jika yang bersangkutan lolos magang, mereka dikirim ke luar kota untuk praktek selama enam bulan. Mereka ditempatkan di kantor-kantor biro Kompas baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa untuk diuji kreativitas dan kemampuannya di lapangan. Jika lolos barulah diangkat menjadi wartawan Kompas dengan status karyawan tetap.

Umumnya pada tahun-tahun awal mereka tetap ditempatkan di luar Jakarta. Mereka baru ditarik ke Jakarta manakala tenaganya dibutuhkan.

**

Kompas sebagai koran berskala nasional, tentunya harus memiliki wartawan di banyak daerah. Ketika baru terbit, kebutuhan itu tidak begitu terasa apalagi hubungan dengan daerah sangat susah dilakukan. Yang dilakukan hanyalah minta kepada para penulis di luar Jakarta menyampaikan gagasannya dalam bentuk naskah opini.

Bahannya boleh gagasan sendiri atau terkadang mendapat pesanan dari pimpinan redaksi. Kalaupun ada peristiwa yang terjadi di daerah, Kompas mengambil dari LKBN Antara, KNI,  atau PAB. Maklum korannya pun masih terbit 4 (empat) halaman dan peredarannya pun masih terbatas.

Pada tahun 1968 mulai nampak munculnya koreponden yang berasal dari para aktivis di beberapa daerah. Mereka melaporkan apa yang terjadi di daerahnya dan untuk itu mereka dapat imbalan. Salah seorang yang diangkat menjadi koresponden pada tahun itu adalah Max Margono yang pada tahun 2002 lalu pensiun.

Koresponden sebagai salah satu kelompok kerja tetap di Kompas baru digunakan lewat tahun 1970. Hal ini seiring dengan kemajuan Kompas yang saat itu bisa terbit 8-12 halaman. Ketika itu berita-berita dari daerah dihimpun dalam satu kelompok berita bertajuk Daerah Sekilas.

Ketika Kompas memiliki percetakan sendiri pada tahun 1972, tirasnya pun makin banyak dan peredarannya meluas termasuk ke daerah-daerah. Dengan situasi seperti itu, berita daerah menjadi mutlak ada sehingga  koresponden pun menjadi kebutuhan mendesak.

Berita-berita dari daerah pun semakin banyak dimuat, institusinya pun dibuat dengan menunjuk wartawan yang khusus menangani berita dari daerah (Redaktur Daerah). Redaktur Daerah yang pertama dijabat August Parengkuan.

Dalam perkembangannya, apalagi setelah pemerintah tidak ikut campur dalam penerbitan pers, koresponden bagi Kompas menjadi ujung tombak penyebaran ke daerah-daerah. Jika Kompas ingin terus memperluas wilayah edarnya maka faktor kedekatan dengan pembacanya (proximity) harus dipenuhi dengan menghadirkan berita di daerah-daerah. Akhirnya urusan berita daerah jadi berkembang sehingga jumlah korespondennya pun bertambah terus.

**

Rekrutmen karyawan nonwartawan, pada awal pertumbuhan diambil dari para wartawan Kompas. Jika melihat generasi pertama jajaran pimpinan di Kelompok Kompas Gramedia (KKG) hingga sekitar tahun 2000, hampir semua diambil dari wartawan Kompas.

Nama-nama Indra Gunawan, J. Adisubrata, Irawati, Alfons Tarjadi, Gerald Tunggono, Bernard Sudarmara, Evi Fajari, Widi  Krastawan, dan banyak lagi yang lain adalah para mantan wartawan Kompas yang kemudian memegang jabatan teras di berbagai kelompok usaha KKG.   

Demikian juga karyawan nonwartawan Kompas, banyak yang kemudian dipercaya untuk mengawali suku usaha baru. Dengan demikian bisa dikatakan, Kompas merupakan persemaian tenaga calon pimpinan untuk memperluas unit usaha di lingkungan KKG. Dan Kompas-lah yang akhirnya menjadi tonggak paling diandalkan dan paling dikenal di antara puluhan unit usaha di lingkungan KKG.  Jika Majalah Intisari disebut sebagai Sang Pemula usaha KKG maka Kompas merupakan Sang Pengibar bendera KKG.

Rekrutmen tenaga nonwartawan Kompas, dilakukan sejak tahun 1967 ketika Kompas bersiap menangani sendiri urusan bisnisnya, terlepas dari PT Kinta. Sistem rekrutmennya tak banyak beda dengan  wartawan. Ojong selalu merekomendasi orang yang sudah dikenalnya atau orang yang direkomendasi orang lain.

Johanes BW (tahun 2004 menjabat Dirkel Percetakan) misalnya, tahun 1967 menghadap Pak Ojong untuk melamar bersama kakaknya yang sudah lama dikenal Pak Ojong.

Cecil Dian yang terakhir menjabat sebagai Direktur PSDM KKG, membawa secarik kertas yang diberikan seseorang yang dikenalnya di pesawat terbang. Begitu melihat nama yang tercantum dalam kertas tersebut, lamarannya langsung diproses. Begitulah kebiasaan yang berlaku pada awal Kompas hingga tahun 1980-an.

Pendidikan untuk tenaga nonwartawan umumnya menggunakan sistem learning by doing. Pendidikan diberikan setelah mereka menjadi karyawan dengan mengikuti pendidikan manajemen, baik yang dilakukan di kantor (in house training) maupun mengikuti kursus di lembaga luar.

Baru pada tahun 2000 calon karyawan bagian Litbang harus mengikuti pendidikan dalam kelas yang diselenggarakan  Bagian Diklat SDMU.  Beberapa kali pendidikan dilakukan bersama para calon wartawan.

Dalam hal rekrutmen tenaga,  bagian bisnis lebih maju lagi. Pada tahun 2003 mereka sudah  “membajak”  atau istilah yang digunakan “merekrut mid-career” tenaga ahli dari lembaga di luar Kompas. Walaupun pelaksanaannya tertatih-tatih karena sistem remunerasi yang berbeda, cara ini sungguh sudah menjadi kiat yang berbeda dengan budaya yang selama itu dijalankan Kompas. 

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [23] Pembenahan Redaksi