Asal Muasal Kompas [23] Pembenahan Redaksi

Untuk mempermudah dan melancarkan komunikasi, meja kerja Pak Jakob selalu terletak di tengah ruang Redaksi atau di dekat pintu masuk utama.

Jumat, 9 Agustus 2019 | 07:49 WIB
0
644
Asal Muasal Kompas [23] Pembenahan Redaksi
Jakob Oetama menulis berita (Foto: Kompas.com)

Kepergian Pak Ojong untuk beberapa saat menggoyahkan harapan karyawan akan kelangsungan hidup perusahaan. Namun karena setiap pimpinan sudah dilatih untuk mandiri, kekhawatiran tersebut akhirnya menghilang dan roda perusahaan pun berjalan lancar. Apalagi setiap orang selalu siap dimutasi sesuai kebutuhan perusahaan.

Begitu banyak wartawan yang kemudian memegang kendali binis di anak-anak perusahaan.

Kepergian Pak Ojong ini mengubah tatanan redaksi. Pak Jakob yang semula fokus pada urusan redaksi, kini harus memikirkan urusan nonredaksi. Padahal sejak terbit pertama kali, titik sentral pergerakan redaksi ada pada Pak Jakob selaku pemimpin redaksi. Dialah yang merancang dan memberikan penugasan kepada setiap wartawan. Dialah yang menjadi kuasa tunggal atas isi dan personalia redaksi. Bahkan seringkali malam-malam masih ke percetakan untuk mencek isi koran terbitan esok harinya.

Ketika pada akhir tahun 1966 Mas Swantoro masuk dan menjabat sebagai wakilnya, tugas langsung dibagi. Pak Jakob bisa dikatakan sebagai koordinator liputan sedangkan Mas Swantoro koordinator bidang produksinya. Itu berarti kantor tidak pernah kosong pimpinan, pagi hingga menjelang malam Pak Jakob yang mengendalikan, sore hingga pagi Mas Swantoro yang bertanggung jawab.

Bahkan ketika kantor Redaksi pindah ke Palmerah pada tahun 1972 dan kemudian Pak Jakob menunjuk empat redaktur sebagai koordinator, liputan komando menyeluruh tetap berada padanya. Keempat redaktur pertama Kompas tersebut menangani bidang politik (Rb. Sugiantoro), bidang ekonomi (Sumarkotjo Sudiro), bidang luar negeri (J. Widodo), dan bidang olahraga (Th. Budi Susilo).

Untuk mempermudah dan melancarkan komunikasi, meja kerja Pak Jakob selalu terletak di tengah ruang Redaksi atau di dekat pintu masuk utama. Ketika redaksi Kompas sudah memiliki ruang kerja yang lega di Palmerah Selatan pun, Pak Jakob tetap duduk di tempat terbuka dekat pintu masuk. Di situ ia bisa langsung memanggil untuk berdiskusi dengan wartawan, memberi penugasan, dan juga langsung menegur mereka.

Kebiasaan Pak Jakob ini kemudian menurun kepada para pimpinan selanjutnya. Walaupun sudah disediakan ruang kerja tersendiri, mereka tetap memiliki dan duduk di meja kerja di tengah para wartawan. Bukan karena risih tetapi demi memperlancar komunikasi dengan para wartawan.

Setelah kepergian Pak Ojong pada 20 Mei 1980, sebulan kemudian untuk pertama kali dibentuklah lembaga redaktur pelaksana yang dibantu para redaktur bidang. Redaktur Pelaksana pertama adalah Alfons Tarjadi (masuk tahun 1966). Namanya pertama kali muncul di boks pada terbitan tanggal 02 Juli 1980 dengan wakil Rb. Sugiantoro (masuk 1969) dan Raymond Toruan (1969). Mereka bertiga itulah yang menjalankan tugas sehari-hari menggantikan Pak Jakob di redaksi.

Satu hal yang menarik dalam struktur jabatan di Redaksi adalah adanya jenjang profesional dan struktural. Semua wartawan diarahkan menjadi orang yang profesional di bidangnya.

Dalam perjalanan, manakala ada wartawan yang menonjol dalam kinerjanya, ia akan ditarik menduduki jabatan struktural, apakah itu kepala biro, kepala desk, redpel, dan sebagainya. Namun jika perusahaan menganggap perlu, orang tersebut bisa ditarik kembali ke jalur profesional. Dan bisa saja orang yang sama ditarik lagi ke struktural untuk jabatan lain.

Kebijakan ini bisa membingungkan kalangan di luar Redaksi. Bagaimana mungkin seseorang yang semula menjadi pimpinan dalam waktu tak lama menjadi anak buah yang dipimpin. Dan itu terjadi berulang-ulang untuk orang yang sama. Namun itulah dinamika di kalangan Redaksi Kompas.

Prinsip utamanya, seorang wartawan manakala ia tetap berkarya (menulis) maka ia tetap disebut sebagai wartawan. Seorang Pemred tetap wartawan, demikian juga jabatan-jabatan lain di lingkungan Redaksi yang masih bersinggungan dengan jurnalistik, tetaplah wartawan.

Dengan demikian jika seorang yang duduk di jabatan struktural ditarik menjadi wartawan lapangan, status orang tersebut tidak berubah: wartawan. Hanya tunjangan strukturalnya saja yang hilang atau berubah. Mengingat kebijakan tersebut sudah berlangsung sejak lama, kehilangan jabatan di lingkungan kerja Redaksi menjadi hal biasa.

Strukturisasi di lingkungan redaksi pada tahun 1980 tersebut berimbas juga pada saya. Dalam struktur baru muncul jabatan koordinator tata wajah, dan karena saya peñata wajah yang pertama di Kompas maka saya pun ditarik kembali ke produksi menduduki jabatan tersebut. Itu berarti saya sudah tidak di lapangan lagi meliput berita. Ditilik dari jabatan memang kenaikan namun dari segi kebebasan berkespresi tentunya jadi berkurang.

Dalam jabatan baru tersebut saya mengkoordinasi para penata wajah dan proof reader yang jumlah keseluruhannya 15an orang. Jabatan itu diperlukan karena jumlah halaman Kompas terus bertambah dan redaktur malam kewalahan jika harus mengawasi proses produksi di percetakan. Untuk itu dibutuhkan tangan lain untuk membantu mereka.

Pada saat saya kembali menggeluti bidang produksi sebagai koordinator tata wajah di bawah redaktur malam, di percetakan sedang terjadi perubahan proses produksi. Untuk itu mereka membutuhkan jembatan atau semacam penghubung, “liaison officer” dengan redaksi. Dan itulah antara lain tugas saya.

Ketika percetakan Gramedia pertama kali dioperasikan, dalam proses pracetak digunakan dua sistem: menggunakan mesin timah panas (linotype) dan komputer. Jika mesin timah dioperasikan dengan mengetik yang kemudian mengeluarkan cetakan dari timah panas lalu di-proof, maka komputer ini langsung mencetak (print). Salah seorang pengetik di komputer adalah Lenny Tjahjadi yang kini (2010) menjadi salah satu pimpinan di percetakan PT Gramedia.

Hasil keduanya disatukan dalam bentuk printout satu atau dua koloman yang ditempel di sebuah kertas selebar koran. Kertas itulah yang kemudian difoto, negatifnya digunakan untuk mencetak plat yang akhirnya dijadikan sarana untuk mencetak koran. Cara mencetak seperti ini diistilahkan sebagai photo offset.

Perkembangan oplah Kompas memang di luar dugaan, apalagi setelah dibreidel. Kemajuan ekonomi juga sangat berpengaruh karena jumlah iklan makin lama makin banyak sementara pemerintah mengatur bahwa iklan koran tidak boleh lebih dari 30% jumlah halaman. Perubahan atau penambahan halaman sungguh merepotkan percetakan karena kemampuan mesin terbatas dan tidak mudah untuk menambah mesin.

Untuk itu setiap perubahan jumlah halaman harus dibicarakan dengan redaksi untuk menentukan jadwal cetaknya. Bagi redaksi membahas hal-hal teknis pastilah hanya merepotkan, di sinilah dibutuhkan “liaison officer” yaitu koordinator tata wajah.

Sejak dicetak di percetakan sendiri, PT Gramedia di Palmerah Selatan, oplah Kompas melesat. Ini membuktikan kebenaran pendapat Pak Ojong bahwa percetakan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan bagian redaksi maupun bisnis. Apalagi ketika itu mesin cetaknya menggunakan teknologi offset (cetak datar) yang hasilnya jauh lebih rapi dibandingkan hasil mesin cetak teknologi letterpress (cetak tinggi).

Pada akhir tahun 1977, tepatnya mulai 19 November, Kompas mengawali terbit 16 halaman. Awalnya jika banyak iklan atau esoknya tidak terbit karena libur nasional, Kompas terbit 16 halaman. Namun mulai tahun 1978 tanpa pemberitahuan apa pun setiap hari Kompas terbit 16 halaman. Pada tahun itu pula diterbitkan edisi Minggu yang dipimpin August Parengkuan dan Roestam Afandi.

Pengumuman resmi kenaikan halaman menjadi 16 dan terbit seminggu tujuh kali dimuat pada terbitan 02 Januari 1979 bersamaan dengan pemberitahuan kenaikan harga. Ketika itu harga langganan naik cukup banyak, dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.150 sedangkan oplahnya rata-rata 277.500 eksemplar. Harga dolar AS ketika itu Rp. 632.

Pembatasan halaman dan volume iklan yang ditentukan Departemen Penerangan merupakan satu-satunya kendala perkembangan bisnis Kompas. Paling tidak, pembatasan itu menyebabkan pendapatan iklan tidak bisa berkembang seiring dengan perkembangan oplah. Padahal harga kertas dan ongkos cetak terus naik. Akibatnya, pendapatan iklan tidak bisa mensubsidi biaya kertas dan ongkos cetaknya sehingga penerbit harus menaikkan harga langganan agar biaya bisa tertutup.

Perkembangan oplah Kompas sangat mempengaruhi pengadaan mesin cetak PT Gramedia. Jika ditilik dalam catatan, antara pengadaan mesin dan oplah selalu berkejaran. Mengingat pengadaan mesin cetak memerlukan waktu cukup lama dan biasanya tidak ready stock, begitu mesin cetak yang baru dipasang untuk memenuhi oplah, Kompas sudah bertambah lagi oplahnya.

Menurut Gerald Tunggono (alm), bekas wartawan Kompas yang sebelum pensiun menjabat sebagai direktur kelompok percetakan, ketika diresmikan tahun 1972 PT Gramedia menggunakan mesin cetak web offset merk Pacer buatan Inggris. Mesin lingkar tunggal berjumlah dua rangkai itu masing-masing terdiri atas 4 unit yang berkapasitas 20.000 eksemplar/jam. Pada saat digunakan, tiras Kompas sekitar 96.000 eksemplar, masing-masing setebal 12 halaman.

Tahun 1975 oplah Kompas sudah mencapai 200.000 eksemplar sehingga mau tak mau percetakan harus menambah mesin. Saat itu terdapat empat pilihan merk: Solna, LM Linotype, Pacer, dan Goss Urbanite. Semula manajemen percetakan merekomendasikan mesin Pacer, mungkin karena sudah familiar. Namun akhirnya dipilih Urbanite yang kapasitasnya lebih tinggi dan ketika itu sudah banyak digunakan di banyak negara.

Ketika pada tahun 1976 PT Gramedia mulai menggunakan tambahan dua rangkai mesin lingkar ganda (masing-masing 4 unit) merk Goss Urbanite buatan Amerika, oplah Kompas sudah melewati kapasitas. Untuk mengatasinya, dipesan satu rangkai mesin tambahan dan dipasang pada tahun 1981.

Empat tahun kemudian (1985) ketika Kompas beroplah mendekati setengah juta eksemplar. PT Gramedia memasang dua rangkai mesin cetak merk Solna buatan Swedia. Setiap rangkaian terdiri atas 4 unit untuk cetak satu warna dan satu unit untuk mencetak tiga warna.

Pada tahun 1990 dioperasikan satu rangkai mesin Goss HO yang bisa mencetak ganda (sekali cetak dua copy) dan tahun 1996 dipasang lagi tiga rangkai mesin Goss HT yang dipasang vertikal dengan kapasitas 60.000 eksemplar/jam untuk koran 24 halaman. Itu berarti mesin ini dalam satu jam bisa mencetak 120.000 eksemplar. Di sini teknologi yang digunakan pun berubah dari sistem kontrol manual ke kontrol elektronik dan komputer.

Teknologi selalu berubah makin canggih, kini proses menjadi lebih singkat dan memotong banyak pekerjaan yang tentu saja juga pekerjanya. Saya ikut mengawalinya di redaksi, dan itu mengganggu nurani.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya : Asal Muasal Kompas [22] Pak Ojong Pergi