Asal Muasal Kompas [22] Pak Ojong Pergi

Ketakutan karyawan dan predeksi banyak pihak di luar Kompas bahwa sepeninggal Pak Ojong Kompas-Gramedia akan kolaps, tidak terbukti.

Sabtu, 3 Agustus 2019 | 12:40 WIB
0
870
Asal Muasal Kompas [22] Pak Ojong Pergi
PK Ojong (Foto: Boombastis.com)

Siang itu saya sedang berada di Taman Ismail Marzuki ketika Salim Said menyatakan ikut berduka cita kepada saya atas kepergian Pak Ojong. Begitu mendengar kabar tersebut, saya pun langsung ke rumahnya di Kompleks Permata Hijau. Beliau terbaring di kamarnya, rumah menjadi ramai oleh isak tangis dan kebingungan. Berita itu memang sangat mengejutkan.

Menjelang akhir hayatnya, 31 Mei 1980, Pak Ojong yang tampaknya sehat-sehat saja seperti berkemas-kemas. Pagi itu, sosok yang dikenal teguh memegang prinsip, hemat, cermat, berdisiplin keras tapi sangat peduli pada nasib banyak orang itu, merasa “tidak enak badan” sehingga tinggal di rumah.

Kira-kira pukul 09.45, ketika Catherine Ojong masuk ke kamar, didapatinya suaminya sudah meninggal. Pak Ojong terbaring seperti sedang tidur nyenyak di ranjang berukiran Cina, tetapi berseperai batik. Di meja sebelah ranjang tergeletak buku The Birth of the Messiah karangan Raymond Brown dalam keadaan terbuka dengan kacamata baca di atasnya.

“Begitulah cara orang baik meninggal,” komentar almarhum Mr. Mohammad Roem, mantan diplomat RI, mantan menteri dalam negeri dan tokoh Masjumi yang merupakan salah seorang pelayat pertama.

Ketika dibawa ke makam, saya melihat iring-iringan yang mengantarkannya panjang sekali. Orang-orang yang melayatnya berasal dari pelbagai golongan. Ada pejabat yang masih berkuasa, mantan menteri, duta besar, politisi, mantan tahanan politik, aktivis hak-hak asasi manusia, presiden direktur, tukang sapu, cendekiawan, pengusaha, mahasiswa, pensiunan, seniman, tokoh pelbagai agama, wartawan, dan banyak lagi yang lain.

Pak Ojong lahir di Bukittinggi pada 25 Juli 1920 dengan nama Auw Jong Peng Koen (kemudian ditulisnya Auwjong Peng Koen), anak seorang pengusaha tembakau. Ketika ada himbauan pemerintah untuk mengindonesiakan nama China pada tahun 1968, namanya pun berubah menjadi Petrus Kanisius Ojong yang sering disingkat menjadi PK Ojong. Dan ketika Pak Jakob sering menulis di Kompas dengan inisial JO maka Pak Ojong pun di kalangan Kompas diinisialkan PKO.

Menurut buku biografi PK Ojong yang disusun Helen Ishwara, Pak Ojong melewatkan masa kecil dan remajanya di Payakumbuh, tempat ayahnya, Auw Jong Pauw, menjadi saudagar tembakau. Semula ia bercita-citanya ingin menjadi sarjana hukum, tetapi karena ayahnya meninggal saat ia baru berumur 13 tahun, ia terpaksa memilih belajar di Hollandsch Chineesche Kweekschool di Meester Cornelis (Jatinegara).

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Cuma beberapa tahun menjadi guru di Jakarta, ia berganti profesi menjadi wartawan. Hal itu selain disebabkan oleh kekagumannya kepada H.C, Zentgraaf dari koran Java Bode, terutama juga akibat pengaruh Khoe Woen Sioe, direktur Penerbit Keng Po yang menerbitkan majalah mingguan Star Weekly dan koran Keng Po.

Khoe adalah seorang mantan wartawan yang berani membela kebenaran dan menentang fasisme, sehingga di zaman Belanda pernah diborgol karena delik pers dan di zaman Jepang dijebloskan ke kamp interniran. Khoe kelak menjadi semacam “bapak spiritual” bagi Pak Ojong, yang mempengaruhi banyak kebijakannya dalam mengemudikan perusahaan, setelah ia menjadi salah satu dari dua pimpinan puncak Kompas Gramedia.

Sambil bekerja, Pak Ojong kuliah di Rechts Hogeschool yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah lulus, menjelang pertengahan 1951 ia diangkat menjadi pemimpin redaksi Star Weekly. Saat itu sudah 5 tahun ia menjadi wartawan di majalah prestisius itu, merangkap sebagai wartawan koran Keng Po.

Tidak kurang dari Sutan Sjahrir dan Moh. Hatta menulis di majalah umum itu. Namun, menjelang akhir 1961 Star Weekly diberangus pemerintah Soekarno karena dianggap tidak sejalan dengan penguasa masa itu. Sementara itu “adik” Star Weekly, koran Keng Po yang dipimpin Inyo Beng Goat sudah lebih dulu dibungkam.

Tentang perkenalannya dengan Pak Ojong, Pak Jakob melukiskan, “Perkenalan pertama kami pada sekitar tahun 1958. Saya bekerja di Mingguan Penabur, Ojong pemimpin redaksi mingguan yang bermutu dan populer, Star Weekly. Saya datang berguru kepada dia. Masih selalu saya ingat pikirannya yang jernih dan beruntun, dengan tutur bahasa sederhana yang mudah dimengerti. Masalah apa yang menarik untuk ditulis? Dia langsung mengemukakan, masalah yang menjadi bahan pembicaraan masyarakat.”

Selanjutnya keduanya sering bertemu dalam organisasi Iska, berdiskusi dan saling menjajaki pendapat masing-masing. Kedua sosok ini lama-lama sudah satu hati satu jiwa sehingga ketika bersama-sama menerbitkan media termasuk Harian Kompas, mereka tidak perlu lagi merumuskan bagaimana bentuk produknya.

“Sebetulnya agak aneh, Ojong sebagai publisher, saya sebagai editor, sama sekali tidak pernah membicarakan policy dasar koran kami. Mungkin karena dia tahu, pendapat kami selalu sama mengenai moralisme, mengenai koran sebagai forum dialog. Bahwa perbedaan pendapat harus dihormati, tetapi manusia harus bisa bekerja sama untuk kebaikan, dan bahwa nilai-nilai manusia mesti disublimir…,” begitu pengakuan Pak Jakob.

Pak Ojong dan Pak Jakob bisa dikatakan sebagai dua sosok satu jiwa, hal inilah yang menyebabkan proses pertemuan mereka pada awal tahun 1962 yang melahirkan Majalah Intisari, begitu lancar. Ketika itu Pak Ojong ke Jogya menemui Pak Jakob yang baru saja menyelesaikan studi tingkat doktoral bidang sejarah. Setelah makan ayam Mbok Berek, keduanya menonton sendratari Ramayana di Candi Prambanan.

Dalam pertemuan itu Pak Ojong menyampaikan idenya untuk menerbitkan media pendobrak. Dasarnya, saat itu Indonesia menjalankan politik isolasi, menutup informasi dari luar. Untuk mendobraknya perlu dibuat media yang memuat artikel-artikel yang bisa membuka mata-telinga masyarakat. Semua artikel dibuat dengan menarik bergaya human story, mencontoh Majalah Reader’s Digest. Keduanya pun terlibat dalam curah pendapat yang dalam.

Pengalaman Pak Ojong sebagai sekretaris direksi PT Kinta, secara otomatis membagi wilayah kerjanya dengan Pak Jakob. Walaupun Pak Ojong juga wartawan bahkan selama 10 tahun menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly, situasi politik ketika itu membuatnya sadar diri untuk tidak terlalu ikut campur kebijakan redaksional Kompas. Apalagi ia pernah tercatat sebagai pemimpin redaksi dari sebuah koran yang dibreidel. Dengan demikian seolah secara otomatis pula, Pak Jakob-lah yang menjalankan dan bertanggung jawab atas isi koran.

Akhirnya kedua pendiri Kompas ini pun berjalan seiring. Pak Jakob mendalami bidang jurnalistik, Pak Ojong bergerak dalam bidang bisnis dan kemasyarakatan. Mereka saling isi, walau Pak Ojong menangani bidang nonredaksi namun dalam keseharian masih berdiskusi dengan Pak Jakob tentang bagaimana nasib bangsa dan situasi negara saat itu.

Bahkan sempat menulis rubrik tetap bertajuk Kompasiana yang disajikannya dengan kocak dan mengena, berisi keadaan masyarakat terutama di Ibukota. Sejak tahun 1966 hingga 1971 Pak Ojong menulis sekitar 500 Kompasiana dalam Kompas dan sempat diminta pihak-pihak yang terkena sentilannya agar rubrik tersebut dihentikan.

Pak Jakob pun walau bertanggung jawab pada isi koran tetapi tetap dilibatkan oleh Pak Ojong dalam kepengurusan perusahaan. Tidak ada keputusan strategis, termasuk penerimaan karyawan baru, tanpa sepengetahuan Pak Jakob. Itu sebabnya ketika Pak Ojong meninggal mendadak pada tahun 1980, perusahaan tetap berjalan dan berkembang.

Ketakutan karyawan dan predeksi banyak pihak di luar Kompas bahwa sepeninggal Pak Ojong Kompas-Gramedia akan kolaps, tidak terbukti.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [21] Wartawan Berkarakter Kompas dan Keteladanan PK Ojong