Asal Muasal Kompas [21] Wartawan Berkarakter Kompas dan Keteladanan PK Ojong

“Karyawan sudah menginvestasikan hidupnya pada perusahaan, jadi perusahaan juga harus memikirkan jaminan masa tua mereka,” kata Pak Ojong sebagaimana dikutip Pak Jakob.

Rabu, 24 Juli 2019 | 08:29 WIB
0
719
Asal Muasal Kompas [21] Wartawan Berkarakter Kompas dan Keteladanan PK Ojong
PK Ojong (Foto: Boombastis.com)

Ketika Kompas terbit, bisa dikatakan semua wartawannya masih bujangan. Pak Jakob dan Pak Ojong memang sejak awal merekrut anak muda sebagai wartawan agar mereka bisa dibentuk sebagai wartawan yang berkarakter sebagaimana mereka inginkan. Maklum pada tahun 1965 semua koran berbau politik karena Orla memberlakukan ketentuan, media cetak harus berafiliasi pada partai politik tertentu. Dan Kompas lahir karena ada tententuan tersebut.

Darah segar inilah yang membuat lingkungan redaksi Kompas bersemangat dalam bekerja. Angkatan ini bekerja keras tanpa hitung-hitungan hingga purnatugas. Sifat dan sikap angkatan ini terdapat pada mereka yang direkrut sebelum tahun 1980an, saat belum dilakukan rekrutmen tersistem dan teratur. Hingga masa itu rekrutmen dilakukan secara “jawilan”, antarteman, antarsaudara.

Pandangan tentang posisi wartawan beberapa kali disampaikan Pak Jakob bahwa dalam bisnis penerbitan koran, sosok wartawan memiliki peran sentral. Oleh karena itu, sejak mulai merintis berdirinya Harian Kompas, Pak Jakob telah mensyaratkan perlunya orientasi wartawan yang mempunyai komitmen terhadap perjuangan, terhadap cita-cita. Sebuah komitmen, akan mampu membangkitkan inspirasi dan motivasi, sekaligus memberi kekuatan serta sentuhan warna kepada karya jurnalistik.

Meskipun demikian, komitmen tersebut harus tetap dilandasi sikap kritis agar masih bisa memelihara jarak. Oleh karena wartawan dan berita yang ditulis, termasuk dengan segala macam sumber berita, harus punya jarak. Tanpa menjaga jarak dan sikap kritis, dari wartawan yang seyogyanya bertindak selaku pengamat, bakal berubah menjadi pelaku. Sasaran obyektivitas yang subyektif, sesuai dengan cita-cita ideal wartawan, dengan demikian akan gampang jatuh menjadi subyektivitas.

Khalayak boleh berargumen tentang sebuah pilihan. Tetapi Pak Jakob sejak awal telah merumuskan, peranan wartawan akan bisa lebih optimal, jika mereka setia tetap menempatkan dirinya sebagai pengamat, dengan dilandasi komitmen kepada kesejahteraan rakyat, kepada keadilan sosial, kepada demokrasi, kepada kemanusiaan.

“Kompas sebuah harian, selalu terikat sifat-sifat jurnalistik yang wajib dipenuhi, agar tugasnya berhasil baik. Sesuai kecerdasan rakyat yang terus meningkat, maka bentuk jurnalistik yang diajukan Kompas adalah dialog, wawancara berdasar sikap saling menghargai. Dialog yang bisa menggugah pikiran, dan semangat yang mampu meneguhkan sikap, serta sanggup menyegarkan perasaan, dengan gaya yang hendaknya mudah dipahami, dan bisa enak dibaca…”

Penggugatan diri, menjadi bagian dari sikap hidup surat kabar yang tidak boleh surut. Tiada tempat bersikap arrive bagi mereka yang telah memilih profesi wartawan sebagai panggilan hidup. Selalu menggoyang-goyangkan diri agar tidak mapan, adalah sikap intelektual sekaligus kultural, sebagai bagian mutlak pekerjaan wartawan. Demikian kira-kira sikap wartawan berkarakter Kompas.

PADA saat HUT Kompas ketiga, tahun 1968, Pak Ojong menulis dalam Kompasiana yang diasuhnya, bahwa saat itu jumlah karyawan (termasuk Majalah Intisari) sudah 65 orang, rata-rata usia 27 tahun tapi ada dua di antaranya punya pengalaman di bidang pers yang bila dijadikan satu mencapai 37 tahun!

Dari 65 karyawan itu kira-kira 16% pendidikan SD, 11 persen SMP, 20 persen SMA, dan 53 persen lulusan universitas atau perguruan tinggi. Tahun 1965 hanya ada seorang yang menikah, tahun 1966 empat orang, 1968 diperkirakan enam orang. Tapi pasaran tidak menjadi sepi, “persediaan” masih banyak, begitu ia menulis.

Dari saat terbit tahun 1965 hingga tahun 1975an, tidak banyak wartawan yang mendapat jodoh. Maklum, awalnya kebanyakan wartawan Kompas berlatar belakang jebolan seminari. Pak JO mengajak Mas Adisubrata, Mas Swantoro, Roestam Afandi yang semua jebolan seminari. Mereka masing-masing mengajak atau menampung teman, adik kelas atau bahkan ada yang mantan pastor untuk bergabung menjadi satu. Jadilah lingkungan itu satu tipe, pasif terhadap wanita.

Pada tahun 1975 mulailah satu per satu mendapatkan jodohnya tapi ya itu kebanyakan adalah rekan-rekan sekantor saja. Makanya Pak Ojong menyebut “persediaan” masih banyak. Jadi bak berburu di kebon binatang!

Ada juga yang di luar kantor tetapi berdasarkan kegiatan kantor. Misalnya ketika Kompas menerbitkan Majalah Muda yang kemudian berubah menjadi Hai, dalam salah satu rubriknya terdapat semacam kontak jodoh. Jika ada pengirim memberikan foto dan datanya (sebagai persyaratan sebagai anggota) maka dalam waktu singkat foto itu beredar dari satu tangan ke tangan yang lain. Akhirnya beberapa watawan berhasil mendapatkan jodohnya dari rubrik ini.

**

Pak Ojong memang masuk kelompok sosialis, ia mempunyai lingkungan seperti itu. Ketika Mochtar Lubis dan kawan-kawannya ditahan Orla maupun Orba, dialah yang memasok buku-buku untuk bacaan mereka. Jiwa sosialis ini ia terapkan di lingkungan perusahaan dengan memberi jaminan kesejahteraan kepada karyawan secara memadai.

Seorang wartawan yang baru masuk tahun 1970 gajinya Rp 9.500 padahal saat itu sebuah celana Levis asli hanya Rp5.500, satu dolar setara Rp400. Jika konduitenya bagus, mendapat sepeda motor dinas plus bensin semaunya. Selain itu ada uang makan yang dibagikan semingggu sekali, beras, uang susu bagi yang punya bayi, uang jas hujan atau payung kalau musim hujan dan lain-lain. Intinya, semua kebutuhan pokok terpenuhi.

“Karyawan sudah menginvestasikan hidupnya pada perusahaan, jadi perusahaan juga harus memikirkan jaminan masa tua mereka,” kata Pak Ojong sebagaimana dikutip Pak Jakob.

Sebagaimana saya utarakan dalam tulisan terdahulu, saya tidak begitu mengenal Pak Ojong karena dalam tugas tidak berhubungan langsung dengan almarhum. Yang pasti, dalam beberapa kali perjumpaan ia tampak begitu sederhana, selalu berkemeja lengan pendek yang dikeluarkan dan membawa tas kulit hitam besar. Bingkai kacamata dan sepatunya ketinggalan zaman.

Kalau ia nongkrong makan sate di tepi jalan seperti yang kadang-kadang dilakukannya, orang yang tidak mengenalnya tidak akan menyangka ia salah seorang pendiri/perintis dan pemimpin perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan lebih dari seribu orang. Katanya, sebagai pemimpin, orang harus menjadi teladan kesederhanaan, supaya para bawahannya tidak ikut-ikutan konsumtif.

Sebagai ilustrasi saya kutipkan penuturan Maryono, salah seorang mantan karyawan bagian sirkulasi angkatan pertama:

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Pada suatu malam sekembali mengajar dari Universitas Indonesia, Pak Ojong mampir ke kantor Jalan Pintu Besar Selatan dengan membawa banyak buku. Ia nampak kebingungan bagaimana membawa buku sebanyak itu ke mobilnya. Sebenarnya ia bisa minta tolong anak buahnya membawa ke mobil namun itu tidak dilakukan.

Akhirnya ia memanggil saya, “Saudara Maryono, apa boleh saya pinjam tali rami untuk mengikat buku-buku ini agar tidak berantakan?” Saya pun bergegas memotong tali rami pengikat zetsel kira-kira sepanjang tiga meter dan membantu mengikat buku-buku itu kemudian memasukkannya ke mobil Opel Caravan Pak Ojong.

Keesokan malamnya Pak Ojong datang mencari saya. “Saudara Maryono, ini tali rami yang kemarin malam saya pinjam, saya kembalikan. Terima kasih ya.” Kami yang ada di ruang itu jadi terkejut dengan sikap Pak Ojong itu. Itulah cara Pak Ojong menanamkan arti kejujuran kepada anak buahnya.

Pada malam hari Pak Ojong sering datang ke Jalan Pintu Besar Selatan dengan membawa kue-kue, sisa rapat di tempat lain. Kue tersebut dibagikan kepada para korektor dan zetter, tidak begitu berharga namun sangat menyentuh.

Sikap hemat ditunjukkan terus terang kepada karyawan. Kue sisa rapat, makanan yang tak habis dimakan ketika makan di restoran, diopeni. “Ini semua kan sudah dibayar, sayang kalau dibuang, masih banyak orang yang membutuhkan,” begitu selalu dikatakan. Sikap hemat ini menjadi bagian sikap hidupnya.

Menurut Frans Seda, yang pernah berulang-ulang menjadi menteri itu, “Ojong itu bonafide”, bisa dipercaya. Ketika keuangan mereka masih sempit sampai-sampai Pak Ojong harus menjaminkan rumah pribadinya untuk kepentingan perusahaan. Dan setelah memiliki cukup dana, Kompas Gramedia selalu bisa dipercaya dalam bidang keuangan, sebab menurut Pak Ojong, nama baik merupakan modal yang berharga.

Menurut Pak Jakob, semasa hidupnya Pak Oyong berkeyakinan, “Dalam memilih seorang pemimpin, syarat pertama ialah watak yang baik: jujur, rajin, sederhana, rasional, berinisiatif, bersedia menerima pendapat orang lain, seimbang, adil dalam memperhatikan kepentingan bawahan, pandai membagi pekerjaan kepada pembantu-pembantunya dan mengawasinya. Kecerdasan, kepandaian, merupakan syarat berikutnya. Pada hakekatnya setiap karyawan dalam kelompok perusahaan kita dapat mencapai kedudukan yang tinggi asal memenuhi syarat-syarat di atas, karena seperti terbukti, tidak ada rintangan kesukuan, keturunan, agama, tidak berdiploma universitas, drop-outs, untuk menjabat jabatan tinggi.”

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [20] Amplop dan Wartawan Kompas