Asal Muasal Kompas [20] Amplop dan Wartawan Kompas

“Budaya amplop"” makin meluas, bahkan ada wartawan yang menerima amplop bukan karena diberi tetapi minta, lalu menjurus ke pemerasan, munculllah istilah “wartawan bodrex”.

Kamis, 18 Juli 2019 | 17:04 WIB
0
891
Asal Muasal Kompas [20] Amplop dan Wartawan Kompas
Ilustrasi sogokan (Foto: Tempo.co)

Beberapa waktu lalu Kompas memberitakan telah memecat wartawannya yang terlibat dalam jual-beli saham padahal ia wartawan yang tugasnya memang mengamati pasar saham. Menurut kode etik jurnalistik yang bisa dikatakan berlaku internasional, hal itu jadi pamali. Para pelanggar itu bisa dikategorikan sebagai “wartawan amplop”, wartawan yang menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan sendiri.

Saya tidak bermaksud masuk ke ranah yang diberitakan Kompas tersebut tapi ingin mereview kembali asal muasal ketentuan “amplop wartawan” di Kompas. Wartawan yang meliput suatu kejadian kemudian mendapat amplop (berisi uang), baru terjadi ketika ekonomi di Republik ini mulai menggeliat , tahun 1970-an. Asal muasalnya jelas, ada pabrik atau toko launching produk, tentunya mereka punya budget promosi, daripada pasang iklan mendingan dibagikan ke wartawan dengan demikian bisa diberitakan lebih luas.

Kemudian menjalar ke para pejabat (biasanya yang korup), membagikan “amplop” ke wartawan agar figurnya lebih dikenal untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi atau mempertahankannya. Kemudian meluas ke pengadilan terutama perkara perdata dan ini berkembang hingga ikut membantu kemenangan perkara , muncullah istilah mafia pengadilan yang kini semakin luas gerakannya.

“Budaya” ini semakin meluas, bahkan ada wartawan yang menerima amplop bukan karena diberi tetapi minta, selanjutnya menjurus ke pemerasan yang kemudian memunculkan istilah “wartawan bodrex”.

Jika secara logika, sah-sah saja, satu pihak “membeli” informasi, di lain pihak secara sengaja atau tidak “menjual” informasi. Jadi dua-duanya untung. Namun karena wartawan harus selalu independen, perbuatan tersebut menjadi haram hukumnya.

Ketika “amplop wartawan” tersebut semakin meluas, penerbit koran pun membuat barikade dengan kode etik. Setiap koran mempunyai kode etik sendiri tapi dalam penerapannya ada macam-macam.

Kompas sebagai koran terbesar di republik ini, menegakkan kode etiknya secara tegas. Sejak saya jadi wartawan tahun 1974, sudah ada kebiasaan kalau terima amplop dan tidak bisa mencegahnya (pemberi kenal baik atau menjaga harmoni dengan wartawan lain) maka amplop beserta isinya itu diserahkan ke sekretariat redaksi yang kemudian mengirimkannya kembali kepada pemberi dengan imbauan agar lain kali jangan dilakukan lagi.

Bahwa masih terjadi beberapa wartawan Kompas tetap terima amplop dan dimasukkan kantung sendiri, itu bukanlah hal mustahil. Institusi Kompas memang lebih mengandalkan kepada kepercayaan, budi baik, dan punya sikap Kompas.

Pelarangan terima amplop bagi wartawan maupun karyawan Kompas diimbangi dengan pemberian kesejahteraan yang memadai. Selain gaji yang cukup (untuk yang bersangkutan dan anak-istrinya), jaminan kesehatan, juga ketentuan-ketentuan yang membuat wartawan tidak perlu menerima amplop menyesatkan itu.

Misalnya jika pergi dinas luar kota, dibuat tarif berbeda antara atas undangan (berarti ditanggung pengundang) dan pergi atas inisiatif sendiri/kantor. Bahkan kalau wartawan tersebut dalam tugas menginap di rumah family, masih diganti 50% dari tarif hotel yang sudah ditentukan. “Untuk beli oleh-oleh,” begitu istilahnya.

Dalam berbagai kesempatan Pak Jakob mengingatkan, perusahaan selalu berusaha mensejahterakan karyawan dan keluarganya. Namun “keluarga” di sini hendaknya diartikan anak dan istri, bukan ayah-ibu, dan saudara-saudara yang lain. Perusahaan seberapa besar pun tidak bakal kuat menanggung beban seperti itu. Maklum, budaya Timur, siapa yang kuat ekonominya jadi gantungan bagi yang lemah sehingga banyak karyawan yang juga menghidupi orangtua dan adik-kakak di rumahnya.

**
Wartawan Kompas tidak terima amplop, sudah menjadi citra yang meluas di kalangan pebisnis maupun birokrat. Ini sering disalahgunakan para pelaksana di lapangan, utamanya staf humas yang membagikannya. Begitu mengisi daftar hadir dalam suatu liputan maka jumlah amplop sudah disiapkan sesuai daftar tersebut.

Seringkali beberapa rekan wartawan yang kenal baik dengan saya, terang-terangan minta izin agar amplopnya buat dia saja daripada “dimakan” staf humas, dan dialah yang menandatangani tanda terima amplop itu. Daripada ambil amplop kemudian menyerahkan ke sekretariat redaksi (yang kemungkinan masih dicurigai kok hanya segitu atau tidak dilaporkan) lebih baik secara fisik tidak terima. Itu sikap yang saya ambil dan juga banyak rekan lain.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Seiring dengan kemajuan zaman, konon “amplop wartawan” sudah tidak berbentuk amplop lagi. Isi amplop bisa ditransfer, bisa berbentuk barang yang dikirim langsung ke rumah, bisa fasilitas misalnya membeli mobil atau rumah dengan diskon khusus. Tapi masa itu tidak pernah saya alami karena saya sudah tidak di lapangan lagi.

Yang saya masih ingat, ketika ada kawan yang dipecat terlibat kasus amplop, muncul gugatan bisik-bisik, bagaimana dengan para pimpinan yang minta diskon gede-gedean ke Subronto Laras, bos mobil Suzuki. Gugatan macam itu tahun 2010 ini saya dengar muncul lagi.

Yah sebagaimana seringkali disampaikan Pak Jakob pada saat saya masih di lapangan, “Semua kembali pada hati nurani kalian, saya percaya kalian punya sikap sebagai orang Kompas.”

Apakah saya tidak pernah dapat amplop?

Pada saat Pemilu bulan Mei 1977, saya masih bertugas di Departemen Dalam Negeri. Saat itu Golkar menang mutlak dan pimpinan Depdagri usai pemilu memberikan tanda terima kasih kepada semua wartawan yang bertugas di departemen itu, uang masing-masing sebesar Rp 100.000. Jumlah yang sungguh banyak bagi saya ketika itu, hampir 4 kali lipat gaji saya.

Hadiah itu diberikan pada bulan Agustus 1977, celakanya bulan Oktober tahun itu saya mau menikah, amplop itu jadi godaan tersendiri bagi saya. Apalagi Kepala Humas Depdagri, Feisal Tamin, mendesak agar segera diambil, karena tinggal Kompas yang belum ambil. Kalau tersisa ia akan dimarahi menteri karena pemberian hadiah itu atas usulannya.

Akhirnya amplop tersebut saya ambil, dan siang itu saya langsung menghadap Pak Jakob untuk melaporkannya. Beliau tercenung, di depannya ada segepok uang dalam amplop. Akhirnya, “You itu bikin susah saya! Kalau gini-gini you putusin sendiri, jangan orang lain suruh ikut mikir,” katanya dengan nada jengkel di depan banyak orang. Saat itu meja Pak Jakob memang dikeliling meja-meja redaktur dan wartawan.

Pada saat saya berdiri untuk menyerahkan amplop ke sekretariat, Pak Jakob memanggil. “Saya dengar you mau kawin ya? Ya sudah you ambil saja buat hadiah tapi sekali ini saja ya!” Bisa saya bayangkan, betapa berat Pak Jakob mengambil keputusan itu. Kemudian hari saya semakin sadar bahwa kebijakan terkadang harus bertentangan dengan aturan.

SATU lagi bentuk kebijakan Kompas yang “njawani”  saya  alami pada tahun 1976. Ketika itu malam hari Pak JO ke ruang redaksi mengeluh, sebagai ketua panitia Lomba Penulisan tentang Taman Mini Indonesia Indah (TMII) , beliau risi karena Kompas belum memasukkan tulisan untuk lomba. Bisa dimaklumi kenapa tidak ada yang menulis tentang TMII yang waktu itu HUT pertama, karena Kompas adalah media yang menentang kehadiran TMII tersebut. Sungguh sulit menuliskannya, mau “membantai” pasti berkibat fatal.

Saat itu saya sedang menulis berita, langsung dipanggil dan diminta agar membuat tulisan tentang TMII dan lusa harus sudah dimuat di Kompas. Kepada Mas Swan (P. Swantoro) beliau berpesan agar besok tulisan tersebut diprioritaskan, maklum lusa adalah hari terakhir pemuatan.

Esoknya seharian saya mengelilingi TMII dan sorenya menuliskannya. Inti tulisan itu, TMII masih gersang tapi proyek toh sudah jalan, baiknya segera dipikirkan bagaimana kelanjutannya. Saya menuliskannya dalam gaya ringan dan dimuat malam itu juga untuk besok. Tulisan itu mendapat hadiah kedua.

Pada malam setelah pengumuman, Pak Jakob datang menemui saya, “Mas, sebenarnya mayoritas juri memilih tulisan you, tapi lomba ini kan kontroversial, sikap kita pun kan jelas mendukung mahasiswa. Jadi ya kita nomor dua saja.”

Awalnya saya kecewa namun kemudian sadar pada kepentingan yang lebih besar. Apa jadinya kalau Kompas menjadi nomor satu dalam hal penulisan TMII tetapi setiap hari ikut “menghantam” proyek itu? Sikap Pak Jakob tersebut menjadi pelajaran paling berharga bagi saya. dan sangat bermanfaat ketika saya di kemudian hari memimpin koran-koran di daerah.

Apalagi peristiwa atau kebijakan tersebut tenyata bukan yang pertama kali. Jimmy Wp, wartawan kepolisian pernah memberitakan tentang anak pejabat Departemen Keuangan yang terlibat dalam perampokan. Jimmy meliput langsung penangkapan tersebut namun pejabat itu menekan Kompas agar meralatnya, tentu saja dengan berbagai ancaman. Pada zaman Pak Harto itu, hukum yang berlaku adalah kekuasaan sehingga Pak JO memerintahkan membuat koreksi atas berita yang dibuat Jimmy WP tersebut.

Tentu saja Jimmy kecewa berat, ia telah berbuat yang benar tapi seolah disalahkan. Namun Pak JO menghiburnya, “Jim, kita mengalah untuk menang.” Dan beberapa hari kemudian terdengar kabar, pejabat itu dipecat oleh Menkeu Ali Wardhana, sahabat Pak Jakob. Itulah politik Kompas, mengalah untuk menang.

Puncak contoh terjadi saat Kompas tahun 1978 dibreidel rezim Orba. Untuk bisa terbit kembali, pimpinan Kompas harus menandatangani pernyataan minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi. Di sini terjadi perbedaan sikap di antara pimpinan. Ketika akhirnya Pak JO mengalah dengan menandatangani pernyataan tersebut, seorang wartawan, Yus Sumadipradja (dulunya wartawan Indonesia Raya) protes dan akhirnya keluar dari Kompas. Dalam perjalanan sejarah, Orba yang tumbang, Kompas tetap terbit dan semakin besar.

Dan di kemudian hari saya pun jadi mahfum ketika pada tahun 1994 Pak Jakob menolak usulan para pimpinan Majalah Jakarta-Jakarta untuk mengubah format majalahnya dari majalah metropolitan menjadi majalah berita. Usulan itu disampaikan untuk menggantikan kekosongan Majalah Tempo yang baru dibreidel. Dari segi bisnis, hal itu merupakan kesempatan baik, namun Pak Jakob tetap tidak setuju. “Kita jangan menari di atas penderitaan orang lain,” itu yang dikatakan Pak Jakob dalam suatu rapat Redaksi Kompas.

Siapa pun yang menyimak apa yang diputuskannya, bisa mendapatkan pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai seorang Kompas.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [19] Kena Bredel Rezim Soeharto