Asal Muasal Kompas [19] Kena Bredel Rezim Soeharto

Kompas yang berpihak kepada mahasiswa boleh terbit dengan syarat meminta maaf kepada pemerintah dan berjanji tidak mengulanginya. Pak Jakob menandatanganinya dengan berat hati.

Rabu, 10 Juli 2019 | 23:48 WIB
0
679
Asal Muasal Kompas [19] Kena Bredel Rezim Soeharto
P. Swantoro (Foto: Dok. Pribadi)

Kompas selama terbit telah dibreidel dua kali, tahun 1965 dan 1978. Pada pembreidelan pertama, saya belum masuk sehingga yang paling saya ingat adalah pembreidelan kedua, saat itu saya bergabung di Desk Sosial Politik.

Saat itu pukul 20.25 hari Jumat 20 Januari 1978, Redaksi menerima telepon dari Kepala Penerangan Laksusda Jaya, Letkol Anas Malik. Intinya, Kompas besok tidak boleh terbit demi terciptanya situasi yang aman. Saat itu negara memang sedang genting, demonstrasi mahasiswa meluas dan terjadi bentrok dengan aparat keamanan.

Kompas sendiri sebelumnya terus-menerus memberitakan perjuangan para mahasiswa yang memperingati 12 Tahun Tritura. Dimotori mahasiswa UI, para mahasiswa berdemonstrasi menuju Istana. Namun karena gerakan mereka tidak didukung ABRI, usaha itu kandas dan Kompas menjadi salah satu “tumbalnya”.

Mas Swantoro yang malam itu mengomandani Redaksi, minta agar pekerjaan diteruskan. Berita yang masuk tetap diset, yang sedang menulis berita diminta menyelesaikan, semua dikerjakan seolah besok Kompas tetap terbit. Berita-berita tetap ditempel (paste-up) dan kemudian dijadikan film.

Mengingat suasana menjadi begitu kelabu, masing-masing sibuk membicarakan pembreidelan, tidak semua halaman terisi sehingga ketika menjadi film nampak beberapa kolom masih kosong. “Ini sejarah,” begitu komentar Mas Swantoro yang malam itu menjadi penjaga gawang bersama Luwi Ishwara.

Malam itu kantor Redaksi dipenuhi wartawan dan nonwartawan Kompas, termasuk mereka yang berdomisili di Depok, 30 kilometer sebelah selatan Jakarta. Semua ingin mencari tahu apa yang terjadi. Keadaan ini berlanjut pagi harinya. Hari itu para simpatisan berdatangan bahkan ada yang mengirimkan bunga sebagai tanda keprihatinan.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [1] Pintu Besar Selatan

Dalam keadaan seperti itu Pak Jakob minta agar para karyawan tetap tenang dan menjalankan tugasnya. Beberapa wartawan diminta tetap memantau perkembangan politik dan menggarap topik-topik hangat di masyarakat. Alasannya agar siap manakala sewaktu-waktu diizinkan terbit. Saya pun mendapat tugas untuk menulis tentang angkutan kota di Jakarta.

Pekerjaaan membuat laporan tentang angkutan kota ini tidaklah mudah. Setiap orang yang saya ajak bicara begitu tahu saya wartawan Kompas lalu bertanya, “Untuk apa? Koran sudah ditutup kok cari berita?”

Namun yang paling saya rasakan menjadi hambatan adalah dari diri sendiri: kurang percaya diri. Apalagi saat itu saya baru tiga bulan menikah dengan karyawati di perusahaan yang sama pula. Bagaimana masa depan kami nanti?

Selama tiga-empat hari setelah pembreidelan, semangat wartawan untuk mencari berita dan mencari bahan feature masih tinggi. Rasa bangga bak pahlawan pembela rakyat/mahasiswa masih menggembung di dada.

Namun ketidakpastian membuat semangat itu semakin kendur. Para karyawan termasuk wartawan mulai mengisi waktu dengan bermain gaple, main gitar, dan merubung siapa saja yang dinilai memiliki informasi terbaru tentang perkembangan keadaan politik, terutama nasib Kompas.

Genap seminggu, semangat semakin kendur, apalagi bagi beberapa wartawan yang dulu pernah berhenti kerja karena korannya dibreidel. Mereka pernah merasakan akibatnya. Pak Ojong yang juga pernah merasakan pembreidelan medianya, Keng Po dan Star Weekly, menggambarkan penderitaan itu dalam tulisannya yang dikutip dalam Buletin Kita bulan Maret 1980.

Apa artinya kematian suatu perusahaan? Pintunya ditutup, mereknya diturunkan, karyawannya menjadi penganggur. Terutama bagi yang sudah lama bekerja dan masa itu sudah lanjut usia dan mulai sakitan, ini suatu malapetaka yang mempunyai akibat berantai: anak yang sedang sekolah harus berhenti…….

Menginjak minggu kedua, perusahaan mulai menata kemungkinan terburuk manakala Kompas tidak diperkenankan terbit selamanya. Walaupun Pak Jakob berkali-kali menegaskan bahwa Kompas masih sanggup menggaji karyawannya hingga tiga tahun, perusahaan toh mulai menata diri.

Dari notulen rapat pemegang saham PT Gramedia 7 Agustus 1979 yang kemudian hari saya dapatkan terungkap bahwa sebenarnya perusahaan sejak bulan Desember 1977 sudah menyiapkan langkah darurat manakala Kompas tidak boleh terbit. Hal ini dipersiapkan karena situasi politik saat itu tidak menentu dan kekuasaan ABRI sangatlah dominan. Beberapa langkah yang dipersiapkan:

• Gaji akan jalan terus tetapi peminjaman kepada karyawan dihentikan
• Manager Keuangan dan Manajer Kontrol diminta menyusun skala gaji baru.
• Tidak diperkenankan ada pemutusan hubungan kerja karyawan tetapi gaji semua karyawan (termasuk non-Kompas) akan dipotong. Pemotongan dilakukan secara progresif, karyawan bergaji rendah dipotong lebih kecil dibandingkan yang bergaji tinggi
• Karyawan Kompas yang menganggur karena pembreidelan akan disalurkan ke perusahaan-perusahaan lain sekelompok. Karyawan Redaksi ke penerbitan buku dan majalah (Hai dan Bobo), lainnya ke toko buku.

Pada akhir Januari 1978 ketika pembreidelan tengah berlangsung, pembuatan sistem pemotongan gaji dan rencana pemindahan karyawan sudah siap diterapkan. Sementara itu semangat kerja karyawan terutama wartawan semakin runtuh hingga akhirnya berita gembira itu pun datang pada tanggal 4 Februari 1978.

Kompas yang berpihak kepada mahasiswa boleh terbit dengan syarat meminta maaf kepada pemerintah dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Pak Jakob menandatanganinya dengan berat hati semata demi kelangsungan hidup Kompas.

Keputusan Kompas tersebut diambil melalui diskusi panjang antara Pak Jakob dan Pak Ojong. Almarhum Pak Ojong sulit menerima syarat tersebut namun Pak Jakob mengingatkan, daripada Kompas digantikan media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat tersebut dipenuhi. Akhirnya keputusan diambil dan sejak itu Pak Ojong tidak lagi aktif di Redaksi.

Pak Ojong dalam tulisan tentang Falsafah Perusahaan Kita no. 17 menulis: Manusia mesti mati. Meskipun begitu, kita sedih bila ada yang mati. Perusahaan tidak usah mati. Perusahaan bisa hidup berabad-abad lamanya. Oleh karena itu kita lebih sedih lagi, bila suatu perusahaan mesti mati.

Tulisan Pak Ojong tersebut menunjukkan bahwa keputusan Pak Jakob Oetama di atas akhirnya bisa ia mengerti. Dan Kompas pun pada hari Senin, 06 Februari 1978 terbit kembali. Dengan separo melongok, Oom Pasikom membuka salamnya: Selamat Pagi ……

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

.***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [18] Lahirnya Litbang Kompas